Vonis Para Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Dianggap Menjauhi Keadilan
Vonis bebas dan hukuman ringan kepada terdakwa Tragedi Kanjuruhan dianggap jauh dari rasa keadilan bagi korban. Para pemerhati sepak bola kecewa dengan keputusan itu. Mereka mendorong agar investigasi lanjutan dilakukan.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemerhati sepak bola kecewa dengan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis para terdakwa Tragedi Kanjuruhan dengan hukuman ringan, bahkan bebas. Mereka menilai putusan itu jauh dari rasa keadilan bagi 135 korban serta keluarga yang ditinggalkan. Vonis tersebut dinilai menjadi preseden buruk bagi sepak bola Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ilmiah bertajuk ”Pasca Kanjuruhan, Quo Vadis Fanatisme Fans Sepak Bola Indonesia” yang dilaksanakan di Universitas Bung Karno, Jakarta Pusat, Jumat (17/3/2023). Beberapa pembicara yang hadir adalah Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) Ignatius Indro, mantan Deputi Sekjen Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Fanny Riawan, dan Direktur Pusat Studi Komunikasi Olahraga Bung Karno Meistra Budiasa.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan beberapa vonis yang berbeda kepada lima terdakwa dalam Tragedi Kanjuruhan. Vonis 1 tahun 6 bulan dijatuhkan kepada eks Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Hasdarmawan; dan mantan Ketua Panitia Pelaksana Arema FC, Abdul Haris. Adapun vonis 1 tahun penjara dijatuhkan kepada bekas petugas keamanan Arema FC, Suko Sutrisno.
Dua terdakwa lainnya, yakni eks Kasat Samapta Polres Malang, Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi; dan eks Kabag Ops Polres Malang, Wahyu Setyo Pranoto; divonis bebas. Kelima terdakwa tersebut dijatuhi hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sementara satu tersangka lain, mantan Direktur PT Liga Indonesia Bersatu (LIB) Ahmad Hadian Lukita, belum menjalani sidang karena berkas perkaranya masih dilengkapi.
Vonis majelis hakim dalam sidang tersebut dinilai Ignatius sebagai hal yang menyakitkan dan mengecewakan. Menurut dia, keputusan yang dijatuhi hakim tidak sebanding dengan kerugian atas hilangnya ratusan nyawa dalam tragedi tersebut. Ia mengatakan, vonis itu dapat menjadi preseden buruk dan melukai citra persepakbolaan Indonesia.
”Bagaimana bisa vonis seperti ini? Padahal kesalahannya sudah jelas. Hal ini malah menujukkan ketidakberpihakan Pengadilan Negeri Surabaya kepada korban dan keluarganya sehingga tampak seperti mengabaikan kemanusiaan. Menetapkan jumlah tersangka yang hanya enam orang saja sudah aneh. Harusnya, yang bertanggung jawab lebih dari itu,” ujarnya.
Indro menyampaikan, perlu ada penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan baik oleh pemerintah, PSSI, dan publik, untuk menelisik lebih dalam soal Tragedi Kanjuruhan ini. Menurut dia, masih banyak hal yang belum dibahas dalam proses hukum yang sedang dilaksanakan. Misalnya, soal gas air mata, ia mempertanyakan terkait statuta dari FIFA yang melarang penggunaan benda tersebut kepada massa.
Seharusnya, kata Indro, PSSI menyampaikan peraturan itu kepada pihak kepolisian dan apatur pengamanan stadium. Jika terbukti tidak ada komunikasi, PSSI seharusnya juga bertanggung jawab soal dampak penggunaan gas air mata tersebut. Untuk itu, Indro mendorong Ketua Umum yang baru, Erick Thohir, untuk mengadakan kembali investigasi Tragedi Kanjuruhan ini demi membongkar pihak-pihak lain yang bisa saja bertanggung jawab.
”Semoga keputusan hukum yang menyakiti hati ini bisa mengentak kesadaran berbagai pihak untuk membuka kembali investigasi lanjutan agar dapat membuka tabir yang lebih besar lagi. Harapan kami, investigasi dapat menambah jumlah tersangka dengan orang-orang yang benar-benar bertanggung jawab,” tutur Indro.
Fanny Riawan menambahkan, Tragedi Kanjuruhan seharusnya dapat diantisipasi, baik oleh PSSI maupun otoritas keamanan. Ia menjelaskan, sudah ada banyak kasus kekerasan suporter dalam persepakbolaan Indonesia sebelum Tragedi Kanjuruhan. Harusnya, hal tesrebut dianalisis dan dipahami pihak-pihak otoritas supaya dapat membentuk manajemen mitigasi dan penanganannya.
Kata Fanny, beberapa hal seperti edukasi pengamanan massa, strategi mengurai kericuhan, dan protokol saat suporter bertikai harus diimplementasikan dalam aparatur keamanan. PSSI, sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia serta pemangku kebijakan pelaksaan pertandingan, juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan hal itu terlaksana.
Semoga keputusan hukum yang menyakiti hati ini bisa mengentak kesadaran berbagai pihak untuk membuka kembali investigasi lanjutan agar dapat membuka tabir yang lebih besar lagi. (Ignatius Indro)
PSSI harus memastikan terciptanya keamanan dan kenyamanan suporter saat menyaksikan pertandingan. Alasannya, suporter merupakan pemangku kepentingan yang besar dalam industri sepak bola. Fanny berpendapat, PSSI mesti mulai memberikan edukasi anti-anarkis kepada suporter guna menekan potensi kericuhan antarsuporter yang selama ini sering terjadi.
”Menurut saya, suporter bola itu ada tiga macam, yakni suporter pasif, aktif, dan hiperaktif. Yang pasif adalah yang datang menonton bola untuk hiburan saja. Aktif adalah mereka yang bersemangat memberikan dukungannya pada klub, misalnya bersorak-sorak. Sedangkan hiperaktif adalah mereka yang penuh gairah, sampai bisa chaos kalau klub kalah,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Meistra Budiasa mengatakan, penanganan suporter saat kejadian ricuh perlu dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Ia sepakat dengan Fanny bahwa pengelolaan keamanan yang lebih mutakhir perlu dibentuk oleh pihak keamanan. Antisipasi kericuhan sebelum dan sesudah pertandingan pun harus menjadi perhatian bagi para penanggung jawab.
”Penonton sepak bola bukan hanya pembeli tiket, melainkan juga komunitas yang pelu dihargai. Mereka bisa terdiri dari lintas suku, agama, dan ras. Bahkan, dari orangtua sampai anak-anak. Mereka hadir di lapangan untuk menikmati pertandingan dan juga mendukung klub yang mereka banggakan. Saat kericuhan, mereka juga harus jadi orang-orang yang dipastikan keamanannya,” kata Meistra.