Rindu yang Terbayar Tuntas
Sebagai negeri yang kaya tempat wisata, Indonesia semestinya bisa belajar dari Tokyo maupun kota-kota di dunia yang sukses menyelenggarakan acara maraton dengan mendatangkan ribuan, bahkan puluhan ribu peserta.
Hajatan lomba maraton terbaik di Benua Asia, Minggu 5 Maret 2023, lalu bagi para pelari yang berdatangan dari seluruh dunia ibarat ajang melepas rindu. Tiga tahun mendendam rasa sejak Tokyo Marathon 2020 ditunda, mereka yang sudah terdaftar sebagai peserta akhirnya menapaki jalanan kota megapolitan Tokyo yang modern, perpaduan supermegah dan tradisional dengan nilai-nilai warisan leluhur.
"Saya terbang dari London hingga 15 jam untuk tiba di Tokyo. Perang mengakibatkan, pesawat ke sini harus memutar enggak lewat Rusia" kata seorang pelari dari London, saat bersama dalam satu lift di Citadines Shinjuku.
Jeanette, cewek pelari dari Hongkong, berbinar-binar antusias saat kami mengobrol menyusuri trotoar Shinjuku menuju garis start. Dia akan masuk di Gate 5, dan saya di Gate 2 tetapi searah karena lokasi start di kawasan Tokyo Government Building. "Rasanya sudah enggak sabar untuk segera berlari di Tokyo," katanya. Sepanjang jalan tak henti dia bercerita, tentang pengalamannnya berlari maraton.
Di kelas elite, pelari Ethiopia, Deso Gelmisa finish pertama dengan waktu 2 jam 5 menit 22 detik setelah main gaspol dengan rekan senegaranya, Mohamed Esa beberapa meter jelang garis finish. Di kelas putri, pelari Kenya, Rosermary Wanjiru, melesat di tempat pertama dengan waktu finis 2 jam 16 menit 28 detik.
Cuaca Tokyo, Minggu (5/3/2023) pagi memang sangat bersahabat, Minggu pagi itu. Suhu pun sangat nyaman, sekitar 4 derajat Celcius. Walaupun bendera start dikibarkan pukul 09.10, gerbang masuk pelari dibuka sejak pukul 07.00 pagi. Sebanyak 38.000 pelari menyemut tetapi tertib memasuk kawasan lomba (race village) dengan ratusan volunter yang cekatan mengarahkan atau menjawab pertanyaan peserta.
racepack
Baca juga: Berlari dan Bahagia di Tokyo Marathon
Selanjutnya pelari diberi dua set test antigen. Pelari harus lolos dua hari test antigen yg juga diunggah ke sistem. Saat memasuki gate race village, pengecekan diulang kembali. Pemeriksaan ketat juga dilakukan untuk kepentingan keamanan. Bahkan, membawa botol air di atas 250 ml pun dilarang.
Menurut CEO Tokyokaan, Marathon Foundation Shizuo Ito, tema “One Step Ahead” Tokyo Marathon yang telah terselenggara untuk ke-16 kali itu untuk menandakan keinginan kuat, untuk terus dapat bergerak maju, selangkah demi selangkah. Tertundanya Tokyo Marathon sejak 2020, tidak menghalangi 38.000 peserta termasuk 12.000 pelari di antaranya dari luar Jepang.
Meriah
Ini untuk kedua kalinya saya ikut berlari sejauh 42, 195 kilometer di Tokyo Marathon, 4 tahun sebelumnya saat Kompas akan menangani Borobudur Marathon (Reborn), sambil “studi banding” saya menyelesaikan salah satu maraton utama dunia ini dalam waktu 5 jam 2 menit 28 detik. Tahun ini lumayan bisa finish dengan waktu yang lebih baik 4 jam 48 menit 43 detik.
Buat pelari telat dan tertatih-tatih (“pelatih”) – seperti saya-- berlari maraton dalam waktu di bawah 5 jam adalah pencapaian tersendiri. Di kalangan pelari, banyak yang mengupayakan agar dapat berlari maraton di bawah 5 jam, half marathon dengan waktu 2 jam, 10 kilometer ditempuh 60 menit atau 5 kilometer dalam 30 menit.
Suasana kota saat pelaksanaan Tokyo Marathon sangatlah luar biasa. Rute yang “clear” bebas dari lalu lintas kendaraan adalah pengalaman luar biasa. Jalanan yang digunakan lintasan lari sudah ditutup sejak pukul 05.00 pagi. Sudah majunya sistem transportasi yang berbasis angkutan massal, seperti kereta api menyebabkan jalanan pun sangat memungkinkan untuk ditutup menjadi arena lomba maraton. Masyarakat kota Tokyo yang memenuhi sepanjang jalan dari titik start hingga finish memberi dukungan sangat luar biasa kepada para pelari.
Kelompok-kelompok masyarakat, ramai memberikan berbagai atraksi dari kelompok paduan suara, band, kesenian tradisional hingga tetabuhan taiko menggema sepanjang jalan. Banyak juga di antaranya secara sukarela menawarkan minuman atau permen kepada peserta maraton. Sebuah pemandangan yang masih belum mungkin terjadi di Indonesia. Di sejumlah kota Indonesia, jika diselenggarakan sebuah perhelatan lari para pelari seringkali harus berjibaku dengan pengguna jalanan lain. Alih-alih mendapat dukungan seperti di Tokyo, seringkali malah seluruh isi “kebun binatang” yang diteriakan para pengendara mobil atau kendaraan bermotor.
Tidak mudah
Bagi banyak para pelari Indonesia, Tokyo Marathon adalah salah satu impian untuk bisa menjadi salah satu pesertanya. Maraton terbaik di Benua Asia itu, merupakan salah satu maraton utama dunia (world marathon majors/WMM) di antara lima maraton lainnya yaitu, Chicago Marathon, New York Marathon, London Marathon, Berlin Marathon serta Boston Marathon. Untuk bisa mengikuti salah satu WMM itu, peserta harus mengikuti ballot atau undian yang bisa diikuti ratusan ribu pendaftar pemburu slot.
Tidak semua pelari beruntung mendapatkan slot lewat undian. Ada banyak pelari yang hingga 4-5 kali belum juga beruntung
(charity)
Sementara untuk lewat pintu lain yakni program amal atau via biro perjalanan peserta setidaknya harus membayar sekitar Rp 40-50 jutaan, bahkan lebih. Boston Marathon lebih sulit lagi karena peserta harus memenuhi waktu kualifikasi Boston (Boston Qualify) yakni catatan waktu maraton yang harus ditempuh oleh calon peserta sesuai kategori usia. Kalaupun via jalur amal atau charity, seorang pelari harus merogoh kocek setidaknya di atas Rp 100 juta. Sejumlah pelari “sultan” Indonesia berlari di Boston menggunakan jalur tol ini. Hanya sedikit di antaranya saja, yang berhasil lolos berkat Boston Qualified yang mereka raih.
“Tokyo Marathon is the best! Japanese banget. Semua terorganisir dengan baik. Staf dan volunteer sangat helpful. Benar-benar all out. Water station, makanan, minuman, medik, bahkan toilet semua berlimpah,” kata Sylvia Sardy, peserta dari Indonesia. Senior Officer di Sekretariat ASEAN itu, sudah menyelesaikan Berlin Marathon dan Chicago Marathon.
Sementara bagi Shandra Sunaryo, Tokyo Marathon ibarat selebrasi berakhirnya pandemik. “Penantian sejak 2020, akhir bisa lari juga di Tokyo. Pengelaman yang sangat berkesan dalam hidup saya. Apalagi catatan waktu saya lebih baik dibanding tahun 2017,” kata pengusaha kuliner itu.
Bagi banker senior Antonius Ismoyo Jati, yang dua kali mendapat ballot, Tokyo Marathon memberi kesan berlebih. Di antara 10 maraton yang dia ikuti dan setelah delapan tahun berlatih, banker senior itu menorehkan waktu terbaiknya di ajang itu yakni 3 jam 22 menit 45 detik. Catatan waktu potensial BQ yang lebih baik 8 menit dari waktu dia sebelumnya itu tidaklah mudah diraih tanpa latihan yang ketat, terarah dan disiplin.
Baca juga: Menjaga Optimisme dengan Lari Virtual
Di antara pejuang WMM, Adriansyah Chaniago atau yang dikenal sebagai Suhu Aad malah sudah dua kali mendapat Six Stars, dan sekarang sedang mengumpulkan medali untuk putaran ketiga WMM. Six Stars finisher adalah sebutan bagi mereka yang telah berhasil berlari di enam maraton utama dunia. “Catatan waktu saya lebih baik dari Berlin Marathon lalu, tetapi mestinya bisa lebih baik lagi,” katanya. Kesibukannya sebagai Vice President Director di PT Vale Indonesia Tbk membuat dia harus pintar-pintar mengatur waktu berlatih.
Tercatat sebanyak 339 orang pelari Indonesia yang tahun ini mengikuti Tokyo Marathon tahun ini. Mendapat kesempatan langka itu, pelari kantoran atau pelari rekreasional itu mempersiapkan diri hingga minimal 16 pekan sebelumnya. Banyak di antara mereka bahkan berlatih seperti layaknya seorang atlet nasional. Bukan saja didampingi pelatih atau coach dengan menu program latihan yang ketat dan disiplin. Di antara kesibukannya mereka bekerja, para pelari itu juga benar-benar memperhatikan waktu istirahat hingga kebutuhan nutrisi mereka.
Tidak jarang pula, perlengkapan lomba mereka dari sepatu hingga jersey, lebih baik dari yang dimiliki seorang atlet. Di kalangan penggemar olah raga lari, sebutan lari sebagai olah raga murah dan bisa dilakukan siapa saja sering menjadi tidak berlaku lagi. Industri perlengkapan lari dengan segala keunggulan teknologinya (dan tentu saja mahal) mendapat pasar tersendiri.
Dua pasangan pelari dari Kuala Lumpur, Malaysia yang ditemui di Chureito Pagoda termasuk yang beruntung. “Saya enggak pernah maraton, karena suami ikutan ballot Tokyo Marathon, ikut-ikutan undian.. Eh, malah dapet,” kata seorang di antaranya sambil ngakak.
Selain relatif dekat dan marathon terbaik di Benua Asia, Tokyo Marathon memiliki magnet tersendiri bagi para pelari Indonesia. Sebuah produsen minuman isotonik yang menjadi sponsor acara ini mengirimkan sejumlah pesohor untuk hadir di Tokyo. Di antara mereka tampak Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Walikota Bogor Bima Arya dengan menggunakan jaket biru berlogo minuman isotonik itu. Selain menghadiri acara makan malam bersama pelari di kediaman Duta Besar RI untuk Jepang Herry Akhmadi, mereka juga bertemu Gubernur Tokyo Yuriko Koike.
Rekor Guinnes
Tokyo Marathon 2023 tahun ini juga mencatatkan diri di Guinness World Records sebagai maraton yang melahirkan Six Stars finisher terbanyak yaitu sejumlah 3.033 orang. Jumlah itu melengkapi jumlah keseluruhan 11.000 pelari telah “khatam” WMM, termasuk 40 orang pelari yang telah tamat WMM dua kali seperti halnya Adriansyah Chaniago dari Indonesia. Selain medali Six Stars WMM, mereka juga mendapatkan medali khusus Guinness World Records. Wakil Presiden Yayasan Maraton Tokyo Sasaki; bersama CEO Abbott World Marathon Majors Dawna Stone menerima sertifikat rekor dunia itu dari Fumika Fujibuchi dari Guinness World Records Jepang.
Bagaimanapun penyelenggaraan maraton seperti di Tokyo tidak melulu hanya urusan lari. Dampak ekonomi dari sektor sport tourism ini sangatlah luar biasa. Dampak ekonomi Tokyo Marathon 2017 misalnya untuk seluruh Jepang mencapai sekitar 28,42 milyar Yen dan untuk khusus untuk Tokyo sebesar 16,59 miliar Yen.
Baca juga: Berlari Bersama Angin di Chicago
Sebagai negeri yang kaya spot wisata, Indonesia semestinya bisa belajar dari Tokyo maupun kota-kota di dunia yang sukses menyelenggarakan acara maraton dengan mendatangkan ribuan, bahkan puluhan ribu peserta. Para pelari biasanya datang bersama keluarga maupun tim pedukung. Mereka pun tidak hanya datang untuk semata-mata berlari akan tetapi juga berwisata, dan membelanjakan uangnya. Secara tidak langsung hal tersebut menjadi pemasukan devisi bagi negara.
Tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin. Tinggal menyiapkan masyarakat maupun pelaku wisata lainnya. Dan, tentu saya dukungan pemerintah setempat agar penyelenggaraan event lari di sebuah daerah berlangsung dengan baik dan nyaman.
(Agus Hermawan, wartawan Kompas 1989-2019, pelari maraton).
Baca juga: