Barca menggadaikan filosofi permainan indah demi memberikan kekalahan pertama untuk Madrid di kandang pada musim ini.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
MADRID, JUMAT – Pengkhianatan Barcelona terhadap ciri khas permainan menyerang berujung manis di markas Real Madrid, Stadion Santiago Bernabeu, pada Jumat (3/3/2023). Barca sukses mencuri kemenangan dalam semifinal pertama Piala Raja Spanyol hanya dengan modal bertahan solid sepanjang laga.
Barca seolah berkhianat pada edisi teranyar el clasico. Ciri khas mereka sebagai salah satu tim paling ofensif dan mendominasi penguasaan bola sama sekali tidak terlihat. Bersama pelatih yang pernah menjadi otak permainan ofensif itu, Xavi Hernandez, Barca justru lebih banyak menunggu dan bertahan dengan blok rendah.
Xavi melakukan itu karena tidak punya pilihan lain. Mereka bertamu tanpa tiga pemain andalan, yaitu Ousmane Dembele, Pedri, dan Robert Lewandowski. Kehilangan kreator dan eksekutor gol, sang pelatih memilih lebih bertahan agar tidak tertinggal jauh pada semifinal kedua di Stadion Camp Nou.
“Kami pasti ingin mendominasi lewat penguasaan bola lebih. Namun, laga hari ini tidak seperti yang kami harapkan (dengan keterbatasan skuad). Lawan kami adalah Madrid. Bagaimana Anda merebut bola dari (Toni) Kroos dan (Luca) Modric. Itu sangat sulit. Kami dipaksa bertahan,” kata Xavi kepada AS.com.
Namun, berkat filosofi berbeda, tim tamu justru pulang dengan memberikan kekalahan pertama Madrid di Stadion Santiago Bernabeu dalam seluruh kompetisi musim ini. Barca menang 1-0 berkat gol bunuh diri bek Eder Militao pada menit ke-27.
Gelandang Barca Frank Kessie mampu memanfaatkan kesalahan pemain muda lawan, Eduardo Camavinga, di lini tengah. Momen satu kedipan mata tersebut berubah menjadi serangan balik yang berujung gol bunuh diri. Gol itu datang setelah El Real menyerang bertubi-tubi sejak awal laga.
Di el clasico, gol pembuka sudah seperti vonis mati untuk tim lawan. Menurut Opta, tim yang unggul dulu dalam laga terpanas di Spanyol itu berakhir sebagai pemenang dalam 14 dari 16 laga terakhir. Adapun dua laga sisanya berujung imbang.
Madrid yang tampil dengan skuad terbaik pun harus mendaki gunung yang terlalu tinggi setelah gol tersebut. Mereka terpaksa berhadapan dengan tumpukan seluruh pemain Barca yang berkumpul di sepertiga pertahanan sendiri. Tim tamu praktis hanya mengandalkan serangan balik dalam laga yang berlangsung keras tersebut.
Ketika tidak bisa mengontrol permainan, Anda harus bertahan dan rela menderita. Kami nyaman dengan situasi itu.
Karim Benzema dan rekan-rekan unggul jauh dalam penguasaan bola, 65 persen, dan dilengkapi 13 tembakan, yang empat diantaranya mengarah gawang. Namun, mereka sama sekali tidak efektif. Tidak satu pun tembakan berujung gol. Gelandang cadangan Rodrygo dimasukkan pada paruh kedua untuk menambah daya gedor, tetapi tidak berpengaruh besar.
“Tidak, itu sudah jelas,” kata Ancelotti saat ditanya apakah Barca pantas menang. “Cukup aneh melihatnya (Xavi) bermain dengan cara ini. Namun, memang mereka bertahan dengan sangat solid, kolektif, dan penuh komitmen. Kami menjadi kurang efektif di sepertiga akhir,” lanjutnya.
Xavi, selain mengubah filosofi bermain, juga mengganti formasi di lini pertahanan. Jules Kounde dan Marcos Alonso yang biasa ditempatkan di sayap, berduet sebagai bek tengah. Sementara itu, Ronald Araujo digeser ke kanan. Formasi ini seperti saat mereka ditahan imbang 2-2 oleh Manchester United di Stadion Camp Nou dalam playoff Liga Europa.
Bedanya, strategi itu sukses kali ini. Pertahanan Barca, terutama Kounde, bermain sangat tenang untuk membatasi ekplsosivitas duet “El Real”, yaitu Benzema dan Vinicius Jr. Adapun Kounde berhasil mencatatkan 11 sapuan, 2 intersepsi, 100 persen kemenangan duel udara, dan 1 blok.
Madrid yang bermain dengan garis pertahanan sangat tinggi, justru lebih dekat dengan kebobolan lagi daripada mencetak gol. Barca bisa unggul dua gol pada paruh kedua jika tendangan Kessie di dalam kotak penalti tidak terbentur rekannya sendiri, Ansu Fati.
Alonso berkata, mereka akan melakukan cara indah atau buruk sekalipun demi kemenangan. Apalagi laga tersebut melawan rival abadi mereka. “Ketika tidak bisa mengontrol permainan, Anda harus bertahan dan rela menderita. Kami nyaman dengan situasi itu,” ujarnya.
El Clasico sudah terjadi dua kali pada musim ini, sebelum dini hari tadi. Salah satunya adalah pertandingan Liga Spanyol yang berlangsung di Stadion Santiago Bernabeu. Ketika itu, Barca menunjukkan wajah asli mereka dengan mendominasi penguasaan bola, 56,6 persen, dan jumlah tembakan 18-8. Namun, mereka justru kalah 1-3.
Kemenangan pada semifinal pertama menjadi modal berharga bagi Barca. Laga penentu akan berlangsung di depan publik mereka sendiri. Adapun Barca sebagai peraih gelar Piala Raja terbanyak (31), memiliki sejarah lebih baik ketimbang Madrid yang tidak pernah lolos ke final sejak 2014.
Barca sekaligus mengakhiri krisis tren buruk setelah kalah dua kali beruntun di laga sebelumnya. “Kemenangan ini mengubah narasi. Kami lebih diunggulkan saat ini. Kami akan kembali bermain di depan para pendukung dan itu akan sangat positif. Namun, saya sendiri masih melihat Madrid sebagai favorit,” jelas Xavi. (AP/REUTERS)