Dari NBA sampai IBL sama-sama berinovasi menciptakan laga All-Star untuk menarik minat penonton. Namun, tidak mudah mengangkat laga yang murni untuk hiburan itu.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Laga All-Star NBA 2023 ternyata bukan saja terburuk dari sisi kualitas pertandingan, seperti yang disampaikan Pelatih Denver Nuggets Michael Malone. Duel ”perang bintang” ternyata juga mengecewakan dari sisi minat penonton yang berada di titik terendah sepanjang sejarah pada musim ini.
Pekan NBA All-Star di kota Salt Lake, Utah, pada 18-20 Februari 2023 tidak mendapat sambutan sesuai ekspektasi. Menurut Sports Media Watch, laga antara Tim LeBron dan Tim Giannis hanya disaksikan 4,5 juta penonton. Jumlah itu merupakan yang terendah sepanjang sejarah liga.
Padahal, NBA sudah menciptakan beberapa inovasi tahun ini. Salah satunya ialah pemilihan pemain oleh kapten tim dilakukan tepat sebelum laga berlangsung. Biasanya, pemilihan tersebut berlangsung beberapa hari jelang All-Star. Tujuannya, pemilihan itu bisa menjadi tambahan hiburan pada hari-H.
Banyak hal yang dinilai berpengaruh terhadap penurunan jumlah penonton. Mulai dari absennya megabintang seperti Stephen Curry dan Kevin Durant, hingga kapten kedua tim, James dan Giannis, yang tidak bermain penuh akibat pencegahan cedera. Mereka adalah wajah terdepan NBA saat ini.
Namun, jika dilihat dari tren dalam dua dekade terakhir, penurunan terjadi justru karena inovasi NBA. Penurunan bermula setelah format Tim Barat versus Tim Timur diganti menjadi duel di antara kapten tim yang dipilih berdasarkan jumlah pemungutan suara terbanyak di dua wilayah pada 2018.
Sejak itu, sebanyak 4 dari 5 All-Star terakhir disaksikan kurang dari 7 juta penonton. Penurunan paling signifikan mulai terjadi pada dua musim terakhir, yaitu pada tahun 2021 (6,1 juta penonton) dan 2022 (6,3 juta). Adapun jumlah penonton tidak pernah kurang dari 7 juta pada era pertarungan wilayah.
Inovasi perubahan format itu tanpa disadari membuat laga jadi kurang bergengsi. Malone, pelatih tim LeBron, menjadi saksi duel tanpa ambisi tersebut. ”Kehormatan untuk berada di sini. Namun, ini adalah laga bola basket terburuk yang pernah dimainkan. Saya tidak tahu apakah ini bisa diperbaiki (pada masa depan),” ucapnya seperti dikutip USA Today.
Dalam 6 edisi All-Star terakhir, tidak ada lagi pertarungan gengsi untuk membela wilayah masing-masing. Biasanya, para pemain beda wilayah tidak bisa bertemu di playoff, kecuali final. Momen ”perang bintang” pun menjadi panggung adu kebintangan mereka. Seperti saat All-Star 1998, ketika megabintang Michael Jordan (Timur) ditantang bintang muda Kobe Bryant (Barat).
Penurunan gengsi terlihat jelas. Dulu, semua pemain bermimpi tampil di gemerlap panggung All-Star. Panggung itu adalah tempat terbaik meraih status kebintangan. Mereka bisa menjadi bintang paling bersinar di antara para bintang. Sementara itu, pada musim ini, Giannis dan James justru keluar dari lapangan demi mencegah cedera.
Pengamat NBA Stephen A Smith mengatakan, minat para pemain unjuk gigi memang berkurang drastis. Mereka lebih ingin fokus meraih prestasi bersama tim, apalagi playoff sudah dekat. ”Tidak ada usaha lebih dari mereka. Hal ini terasa arogan karena tidak menghargai para penggemar,” ujarnya kepada ESPN.
Inovasi IBL
Di Indonesia, industri bola basket memang tidak sebesar Amerika Serikat. Namun, Liga Bola Basket Indonesia (IBL) sebagai kompetisi bola basket tertinggi di Tanah Air sangat serius untuk memberikan hiburan terbaik kepada para pendukung. Mereka berkomitmen menghadirkan kembali laga All-Star 2023 di Knight Stadium, Semarang, Jawa Tengah, pada 19 Maret, dengan berbagai inovasi baru.
Tidak ada usaha lebih dari mereka. Hal ini terasa arogan karena tidak menghargai para penggemar.
IBL, di perayaan ulang tahun ke-20, berencana mengubah total format pemilihan tim. Laga akan mempertemukan Tim Future dan Tim Legacy. Tim Legacy berisi pemain yang sudah tampil di liga lebih dari lima musim, sedangkan Tim Future berisi pemain muda yang pengalamannya di bawah lima tahun.
Pada All-Star edisi terdahulu, laga selalu mempertemukan pemain dari Divisi Putih dan Merah. Skema tersebut tidak bisa dilakukan lagi musim ini. Sebab, sebanyak 16 tim telah digabung dalam satu divisi sama. Perubahan format pun tidak terhindarkan.
All-Star bertema ”Legacy for The Future” bertujuan tetap memberi panggung kepada pemain veteran yang sudah berjasa sekaligus para pemain muda yang mencari eksistensi di liga. Direktur IBL Junas Miradiarsyah berharap kedua sisi itu bisa saling melecut pertumbuhan bola basket nasional.
”Kami berkomitmen memberikan yang terbaik untuk masa depan bola basket dengan terus melanjutkan kontribusi dari era sebelumnya dan memastikan masa depan (dengan pebasket muda),” kata Junas.
Laga All-Star memang terbilang tidak penting dari sisi kompetisi. Namun, ajang itu adalah tolok ukur bagaimana bola basket dan para pemain diterima sebagai murni hiburan. Adapun dalam industri olahraga yang sehat, sisi kompetisi dan hiburan semestinya berjalan beriringan.
Tim Legacy berpotensi diisi pemain veteran, seperti Andakara Prastawa, Kelly Purwanto, dan Kaleb Ramot Gemilang. Mereka bisa bertemu pemain muda yang merupakan calon pemain tim nasional pada masa depan, seperti Yesaya Saudale, Julian Chalias, dan Ikram Fadhil.
Tentunya, skema itu cukup menjanjikan dari sisi gengsi dan persaingan. Para pemain veteran pasti tidak mau dipermalukan begitu saja, sementara para pemain muda ingin menunjukkan kapasitas mereka, terutama pemain dengan posisi sama dan berada dalam satu tim, seperti Prastawa dan Yesaya dari Pelita Jaya Bakrie Jakarta.
Sebaliknya, laga All-Star juga berpotensi tidak menarik minat penonton seperti biasanya mengingat laga itu hampir sama seperti pertandingan IBL biasa yang melibatkan Indonesia Patriots atau timnas muda. Adapun ajang ”perang bintang” selalu menarik karena mempertemukan pemain dengan kualitas terbaik di tiap-tiap tim, bukan soal muda atau tua.
NBA memberikan pelajaran, inovasi justru bisa memperburuk sesuatu yang sudah bagus. IBL bukan tidak mungkin mengulangi kesalahan itu dengan inovasi terbaru musim ini. Meskipun demikian, hal-hal baru layak untuk dicoba. Sebab, itu adalah cara terbaik untuk bergerak maju. Apalagi, jika terdapat tujuan besar di baliknya, seperti yang diharapkan IBL.