Angin Perubahan Berembus di Manchester
Duo Manchester berada di persimpangan nasib. Manchester City terancam terdegradasi karena dugaan pelanggaran finansial. MU bakal keluar dari cengkraman keluarga Glazer.
MANCHESTER, RABU – Memasuki bulan kedua di 2023 angin perubahan berembus di kota Manchester, Inggris. Dua tim terbesar kota industri itu, yakni Manchester City dan Manchester United, berpotensi mengalami pergantian nasib di tahun ini.
City tengah dirundung masalah pelik akibat dugaan pelanggaran finansial. Adapun MU berpeluang memasuki era kepemilikan baru seiring ketertarikan grup pengusaha Qatar untuk mengambil alih saham mayoritas klub dari keluarga Glazer asal Amerika Serikat.
Dampak masalah dugaan 113 kasus pelanggaran finansial dalam kurun waktu 2009-2010 hingga 2017-2018, City terancam keluar dari persaingan elite Liga Inggris. Berdasarkan laporan Sky Sports, mayoritas klub Inggris, termasuk klub yang masuk kategori “enam besar”, ingin City tidak hanya mendapat pengurangan poin di musim yang tengah berjalan, melainkan juga dikeluarkan dari Liga Primer atau terdegradasi ke Divisi Championship.
“Klub-klub yang sangat menekan untuk aksi (mengeluarkan City dari Liga Primer) adalah beberapa anggota yang disebut ‘enam besar’. Mereka meliputi MU, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur,” ujar Kepala Redaktur Sky Sports, Kaveh Solhekol, Rabu (8/2/2023) dini hari WIB.
City sejatinya masuk dalam kategori bergengsi itu. Namun, tim-tim terbaik Inggris tidak ingin memberikan simpati terhadap City yang diduga melakukan pelanggaran finansial terbesar di era Liga Primer yang digagas sejak 1992-1993.
Atas dasar itu, lanjut Solhekol, tim-tim Liga Primer berharap komisi independen bentukan Premier League, operator Liga Primer, bisa merampungkan proses penyidikan dan mengeluarkan putusan sebelum musim 2022-2023 berakhir. Berdasarkan aturan Premier League, hukuman pelanggaran finansial berlaku pada musim yang berjalan ketika putusan dikeluarkan.
Sebelumnya, ketika City tengah berhadapan dengan sanksi kasus pelanggaran Financial Fair Play (FFP), 2020 lalu, tim-tim rival City di Liga Inggris juga mendukung langkah Asosiasi Sepak Bola Uni Eropa (UEFA) untuk memberikan hukuman berat bagi “The Citizens”. Hukuman dua tahun larangan tampil di kompetisi antarklub Eropa, yang dijatuhkan UEFA, dianulir oleh Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS).
Menurut Kieran Maguire, pakar finansial sepak bola, hukuman terdegradasi dari Liga Primer adalah hukuman paling berat yang bisa diterima City. “Mengeluarkan City dari Liga Primer adalah sanksi yang paling ekstrem. Itu bisa terjadi jika City benar-benar terbukti bersalah dari mayoritas kasus dugaan pelanggaran itu,” ucap Maguire.
Lebih lanjut, tambah Maguire, hukuman yang paling dekat dengan City adalah pengurangan poin di musim yang tengah berlangsung dan denda.
Baca juga : Babak Baru Dugaan Pelanggaran Finansial Manchester City
Mengeluarkan City dari Liga Primer adalah sanksi yang paling ekstrem. Itu bisa terjadi jika City benar-benar terbukti bersalah dari mayoritas kasus dugaan pelanggaran itu.
Pengacara mahal
Untuk menghadapi proses kasus dugaan pelanggaran finansial itu, menurut majalah The Lawyer, City telah menyewa pengacara super mahal asal Inggris, Lord Pannick KC. Biaya jasa Pannick adalah 80.000 pounds atau sekitar Rp Rp 1,46 miliar per hari. Angka bayaran Pannick itu setara dengan gaji pemain termahal City, Kevin De Bruyne.
Menyewa jasa Pannick bukan kendala bagi manajemen City. Pasalnya, Pannick telah terbukti membantu City bebas dari saksi FFP yang dijatuhkan UEFA melalui sidang banding CAS.
Berbeda dengan kasus FFP UEFA, kasus dugaan pelangaraan finansial Premier League tidak bisa melalui ranah CAS. Apabila City ingin mengajukan banding atas putusan di kemudian hari, maka banding itu dilakukan melalui proses di komisi banding independen yang juga dibentuk Premier League.
Sementara itu, mantan kapten City, Vincent Kompany, secara tersirat menolak adanya penyelewenangan yang dilakukan manajemen The Citizens di masanya membela klub itu selama 11 tahun. Ia pun menilai, semua orang tidak pantas untuk menyalahkan pihak tertentu yang diduga melakukan kekeliruan.
“Saya pikir industri sepak bola secara umum bukanlah industri yang mudah untuk saling menyalahkan. Baiknya setiap pihak melakukan yang terbaik untuk diri sendiri,” kata Kompany, yang kini menjabat Manajer Burnley, dilansir Manchester Evening News.
Baca juga : Skandal Keuangan Palsu Benamkan Juventus dalam Memori Kelam Calciopoli
Pemilik baru
Sementara itu, MU berpeluang menjalani tahun ini dengan kehadiran pemilik baru. Setelah keluarga Glazer, November lalu, mengumumkan membuka diri untuk menjual kepemilikan saham mereka di klub berjuluk “Si Setan Merah” itu, pengusaha asal Qatar secara serius berminat memberikan penawaran.
Keluarga Glazer, yang menguasai 98 persen saham MU sejak Mei 2005, memberikan batas waktu tawaran penjualan saham mereka, pertengahan Februari ini. Menurut laporan The Sun, dalam beberapa hari ke depan, grup swasta yang dipimpin pengusaha kaya dari Qatar bersedia memberikan penawaran sebesar 6 miliar pounds (Rp 109,46 triliun) untuk mengambil alih saham mayoritas MU.
“(Calon penawar saham MU) memiliki ketersediaan dana sebesar 2 miliar pounds (Rp 36,48 triliun) guna menjalankan program besar untuk MU dalam beberapa tahun ke depan. Mereka ingin memperkuat skuad, merenovasi Old Trafford, dan mengembalikan hubungan erat pemilik dengan komunitas suporter,” ujar sumber The Sun.
Ketertarikan grup pengusaha Qatar itu diklaim telah mendapat dukungan dari Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, Emir Qatar, yang juga pendukung setia Si Setan Merah. Pihak Qatar memastikan pembelian MU tidak akan melibatkan Qatar Sports Investments yang memiliki Paris Saint-Germain. Pasalnya, UEFA melarang dua klub yang dimiliki satu individu atau perusahaan tertentu bertarung di kompetisi mereka.
Jika proses negosiasi pengalihan saham grup pengusaha Qatar itu dengan keluarga Glazer berjalan lancar, maka MU akan menjadi tim Liga Inggris ketiga yang dimiliki konsorsium Timur Tengah. City terlebih dahulu dimiliki oleh perusahaan milik Kerajaan Uni Emirat Arab, Grup Abu Dhabi United, lalu sejak tahun lalu, keluarga Kerajaan Arab Saudi melalui Dana Investasi Publik menguasai Newcastle United. (REUTERS)