Liverpool semakin menjauh dari identitas asli mereka. Klopp tidak bisa berbuat banyak karena sumber daya yang terbatas.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
BRIGHTON, SENIN — Manajer Juergen Klopp pernah mengibaratkan sistem bermain timnya seperti musik heavy metal. Dia melekat dengan taktik gegenpressing yang agresif dan destruktif. Namun, di Liverpool musim ini, tim asuhan Klopp lebih mirip musik pop yang kurang garang dan mudah dinikmati setiap lawan.
Stadion Amex, markas Brighton and Hove Albion, adalah simbol penurunan drastis Liverpool musim ini. Setelah takluk, 0-3, di Liga Inggris pada dua pekan lalu, Liverpool kembali kalah, 1-2, dari Brighton dalam putaran keempat Piala FA, Minggu (29/1/2023) WIB.
Lawan Brighton yang tak diperkuat gelandang Moises Caicedo, Liverpool masih kalah dominan di lini tengah. Mereka tertinggal segala-galanya, mulai dari intensitas, percaya diri, hingga strategi. ”Si Merah” hanya bisa mengenang wajah agresif mereka musim-musim lalu dari permainan yang ditampilkan tim lawan.
”Kami lebih baik dari pertemuan lalu, tetapi itu belum cukup. Untuk klub seperti Liverpool, pendukung mengharapkan sesuatu yang lebih. Kami perlu menang, tetapi memang tidak mudah memperbaikinya. Kami jauh dari yang diharapkan musim ini,” kata bek sayap Liverpool, Andrew Robertson.
Liverpool, yang menguasai bola 44,4 persen, bermain sedikit lebih baik berkat sosok gelandang remaja Stefan Bajcetic (18). Dia memberikan energi di lini tengah yang tidak tampak dua pekan lalu. Ketika kalah 0-3, Klopp memainkan gelandang veteran Jordan Henderson (32) dan Fabinho (29) sejak awal.
Bajcetic adalah harapan masa depan, tetapi juga simbol keterpurukan Si Merah. Saking minim gelandang yang mampu berkontribusi, mereka sampai mengandalkan remaja yang baru dua kali jadi pemain mula. Intensitas Liverpool menurun setelah Henderson dan James Milner (37) masuk pada babak kedua.
Penurunan drastis performa Liverpool juga tecermin dari prestasi yang terjun bebas hingga paruh musim. Mereka sudah tersingkir dari Piala FA dan Piala Liga dan untuk sementara berada di peringkat ke-9 Liga Inggris. Musim lalu, Si Merah masih dalam jalur meraih quadruple, empat gelar juara, jelang akhir musim.
Kata Klopp, dia tidak pernah merasakan kekalahan di Piala FA yang lebih pahit daripada musim ini. ”Jika punya 10 poin lebih banyak di liga, mungkin kami bisa pulang dengan memberi hormat kepada Brighton. Namun, kami tidak ada di posisi itu, yang membuat kekalahan ini lebih buruk,” ujarnya.
Di rezim Klopp, sejak 2015, Liverpool selalu terkenal dengan permainan menekan agresif saat kehilangan bola atau gegenpressing. Taktik itu tidak hanya membuat sulit diserang lawan, tetapi juga menjadi sumber awal dari gol mereka. Klopp ingin merebut penguasaan secepat mungkin, lalu memanfaatkan posisi lawan yang sedang kacau.
Musim terbaik Liverpool memainkan gegenpressing adalah saat juara liga musim 2019-2020. Ketika itu, permainan destruktif mereka berujung 11 gol dari serangan balik, atau terbanyak di liga. Bandingkan dengan musim ini, mereka baru mencatat 2 gol dari transisi, menjadi lima tim terbawah di liga.
Jika punya 10 poin lebih banyak di liga, mungkin kami bisa pulang dengan memberi hormat kepada Brighton. Namun, kami tidak ada di posisi itu, yang membuat kekalahan ini lebih buruk.
Identitas Si Merah hilang karena penurunan performa pemain, terutama gelandang yang semakin menua. Seperti diketahui, gaya intens ala Klopp membutuhkan pemain yang unggul dari sisi fisik. Saat bersamaan, Liverpool tidak mendatangkan gelandang baru. Mereka bahkan belum punya pengganti Georginio Wijnaldum yang sudah hengkang sejak 2021.
Tidak belanja
Masalah terbesar Liverpool adalah minimnya dukungan pemilik untuk memperbaiki keadaan. Klopp menyatakan, tidak ada pemain baru lagi jelang tenggat transfer, Rabu pagi. Mereka hanya mendatangkan penyerang Cody Gakpo selama jendela transfer Januari, tanpa tambahan gelandang. ”Semua baik-baik saja dengan skuad ini,” ucap Klopp.
Hal itu sudah menjadi kisah klasik Liverpool beberapa musim terakhir. Klopp tidak mendapatkan kemewahan seperti Josep Guardiola di Manchester City, yang bisa membeli pemain berkualitas baru setiap musim. Bisa dilihat, regenerasi pemain Liverpool dan City bagai bumi dan langit.
Contohnya adalah regenerasi City di lini tengah. Dalam era kepemimpinan Guardiola, sejak 2016 sampai sekarang, terjadi proses regenerasi yang sangat mulus di posisi gelandang jangkar. Guardiola mengandalkan gelandang Fernandinho sampai 2019.
Setelah itu, City mendatangkan Rodri yang sudah matang di Atletico Madrid, saat performa Fernandinho juga masih prima. Mereka pun mulai bergantian mengisi posisi sentral tersebut. Sampai akhirnya Rodri mengambil alih peran utama pada beberapa musim terakhir sehingga Fernandinho bisa dilepas pada 2022.
Kondisi itu tidak terjadi di Liverpool. Nyaris semua pemain bintang tidak punya pelapis sepadan di cadangan. Misalnya saja Fabinho, bek sayap Trent Alexandner-Arnold, dan bek tengah Virgil van Dijk. Selain tidak ada pengganti ketika absen, mereka juga tidak punya pesaing untuk selalu tampil maksimal.
Alhasil, kejatuhan Klopp pada musim ketujuh di Liverpool merupakan efek domino kebijakan klub yang terjadi selama ini. Kondisi Si Merah bisa semakin memburuk karena klub tidak berupaya keluar dari masalah tersebut. Adapun Klopp hanyalah manajer, bukan tukang sihir yang bisa mengubah drastis nasib sebuah tim. (AP/REUTERS)