Perbedaan Jam Terbang Membuat Indonesia Masih Tertinggal
Indonesia belum bisa berbuat banyak dalam hari pertama Piala Dunia Menembak ISSF 2023 di Jakarta. Para petembak "Merah Putih" butuh lebih banyak jam terbang untuk bisa mengimbangi para petembak elite dunia.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petembak putra dan putri Indonesia gagal lolos ke putaran final nomor pertandingan senapan angin 10 meter pada hari pertama Piala Dunia Menembak Senapan dan Pistol ISSF 2023 di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Sabtu (28/1/2023). Perbedaan jam terbang membuat kualitas petembak ”Merah Putih” masih tertinggal jauh dibandingkan para petembak elite dunia.
Secara postur tubuh, perlengkapan, dan teknik, kita tidak jauh berbeda dengan petembak luar. Hanya saja, kita kalah pengalaman.
”Secara postur tubuh, perlengkapan, dan teknik, kita tidak jauh berbeda dengan petembak luar. Hanya saja, kita kalah pengalaman. Jam terbang mereka sudah sangat tinggi sehingga lebih tenang setiap ikut kejuaraan, termasuk ajang besar seperti Piala Dunia. Kita sedang menuju ke arah mereka, tetapi butuh waktu untuk mengimbangi mereka yang telah lama dengan jam terbang tinggi,” ujar petembak Indonesia, Fathur Gustafian, seusai babak kualifikasi senapan angin 10 meter putra.
Pada hari pertama, hanya pertandingan senapan angin 10 meter putra dan putri yang digelar. Indonesia menurunkan 10 petembak, terdiri dari lima putra dan lima putri. Di kelompok putra, Fathur mengumpulkan total skor 624,7 poin dari 60 tembakan. Hasil itu membawanya berada di urutan ke-14 dari 36 peserta kualifikasi sehingga gagal lolos ke final karena hanya delapan petembak yang berhak maju ke babak puncak tersebut.
Fathur meraih peringkat tertinggi dibandingkan empat petembak Indonesia yang lain, yakni Davin Rosyiid Wibowo di urutan ke-23 dengan 620,6 poin, Paragra Duncan Taruma Negara (ke-25 dengan 620,3 poin), Muhammad Perwira Hadi Putra (ke-34 dengan 615,5 poin), dan Afif Izzuddin (ke-36 dengan 611,2 poin). Petembak Jepang, Naoya Okada, meraih emas; petembak Kazakhstan, Konstantin Malinovskiy, merebut perak; dan petembak Swedia, Marcus Madsen, mendapatkan perunggu di putra.
Di kelompok putri, petembak muda Indonesia, Masayyu Putri Fadillah, mengumpulkan total skor 622,6 poin. Petembak berusia 15 tahun itu berada di urutan ke-35 dari 53 peserta kualifikasi. Adik dari petembak pelatnas Vidya Rafika Rahmatan Toyyiba itu meraih peringkat terbaik dibandingkan empat petembak putri Merah Putih lainnya.
Rekan Masayyu, Audrey Zahra Dhiyaanisa, berada di urutan ke-40 dengan 621,4 poin. Sementara Dominique Rachmawati Karini menempati urutan ke-45 dengan 618,9 poin, Khairunnisa Salsabela (ke-46 dengan 618,5 poin), dan Aulia Azzahra Putri Liang Romy (ke-52 dengan 611,1 poin). Petembak Hongaria, Eszter Meszaros, meraih emas; petembak Polandia, Aneta Stankiewicz, merebut perak; dan petembak Romania, Laura-Georgeta Ilie, mendapatkan perunggu di putri.
Kurangnya pengalaman petembak Indonesia sangat tampak. Di putra, Izzuddin lalai mengecek senapan sebelum pertandingan. Akibatnya, ada insiden tabung angin senapannya bocor di tembakan ke-13. Kebocoran itu membuat tenaga senapan berkurang sehingga arah tembakan tidak bisa dikendalikan.
Situasi diperparah dengan kurangnya pemahaman aturan lomba. Selepas mengganti tabung angin, Izzudin membuang angin yang ternyata dilarang oleh panitia. Juri pun memberinya penalti pemotongan 10 poin atau hilang satu tembakan.
Adapun tabung angin pengganti itu tidak sesuai dengan spesifikasi senapannya. Tabung itu lebih kecil daripada yang biasa dipakai. Hal itu menyebabkan tembakan tidak optimal. Dia semakin panik dan menembak cenderung asal-asalan. ”Saya memetik banyak pelajaran dari sini. Sebelum lomba, senjata harus dicek lebih teliti,” kata petembak asal Solo, Jawa Tengah, yang baru pertama kali ikut Piala Dunia itu.
Sementara itu, Masayyu terbebani oleh pikirannya sendiri. Dia gugup karena memasang target tinggi untuk lolos ke final. Maka dari itu, dia kurang tenang dalam menembak. Padahal, sebagai atlet termuda dan baru perdana berpartisipasi di Piala Dunia, dia tidak dibebani target apa pun dari pelatih ataupun federasi.
”Ini kesalahan saya. Semestinya, saya tidak berpikir macam-macam, fokus saja menembak dengan baik. Tetapi, saya dapat pengalaman dari sini dan yakin bisa lebih baik dalam pertandingan senapan angin 10 meter tim putri nanti (Selasa, 31/1/2023),” ungkap Masayyu.
Tetap puas
Pelatih senapan pelatnas asal Iran Ebrahim Inanlou alias Ali Reza menilai, hasil petembak Indonesia cukup baik. Baginya, Indonesia tidak bisa buru-buru mengimbangi petembak elite dunia. Sebab, para petembak dunia itu sudah terbiasa ikut kejuaraan besar, seperti petembak asal Eropa yang bisa ikut 2-3 ajang internasional sebelum ke Jakarta. Beberapa negara lain, seperti Jepang, melakukan pemusatan latihan panjang sebelum Olimpiade Tokyo 2020 yang membuat mereka terus meningkat dan bisa berprestasi di level internasional.
Lagi pula, sebagian petembak Indonesia masih sangat muda, seperti Masayyu yang belum genap 16 tahun dan Audrey yang baru 18 tahun. ”Kita tidak bisa berpikir untuk sekarang, melainkan untuk masa depan. Butuh waktu untuk memperbaiki skor para petembak kita. Untuk itu, saya harap pemerintah bisa terus mendukung perkembangan petembak kita, terutama dengan lebih sering mengirim ikut kejuaraan besar agar pengalaman kian terasah,” tutur Ali.
Terlepas dari itu, Ali percaya petembak Indonesia bisa memberi kejutan di hari berikutnya Piala Dunia kali ini. Dia menaruh harapan itu pada nomor senapan angin 10 meter tim campuran, terutama melalui duet Fathur/Audrey. Selain itu, dirinya berharap pada nomor senapan 50 meter tiga posisi.
”Yang jelas, jangan langsung berharap mereka bisa memecahkan rekor dunia. Mereka bisa meningkat setahap demi setahap itu sudah sangat baik, mulai dari memperbaiki rekor pribadi. Prestasi akan tiba seiring bertambahnya jam terbang mereka,” pungkasnya.