Jatuh-Bangun Pembuktian Diri Atlet Disabilitas Intelektual
Para penyandang disabilitas intelektual memiliki peluang yang sama untuk berprestasi, seperti masyarakat pada umumnya. Atlet-atlet Special Olympics Indonesia terus berjuang untuk membuktikan kemampuannya pada dunia.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyandang disabilitas intelektual kerap dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Ketika potensinya berhasil digali lebih dalam, mereka dapat membuktikan prestasinya hingga ke kancah internasional.
Penyandang disabilitas intelektual berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya. Mereka memiliki kelambanan dalam berpikir dan belajar, serta sulit berbicara dan beradaptasi sosial. Level intelligence quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual kurang dari 70 muncul sebelum berusia 18 tahun.
Beruntung, olahraga dapat menjadi salah satu medium untuk menunjukkan bakat-bakat terpendam para penyandang disabilitas intelektual ini. Para atlet yang tergabung dalam Special Olympics Indonesia (SOIna) melewati beragam dinamika hingga akhirnya menunjukkan bakatnya melalui minat yang ditunjukkannya.
”Anak saya down syndrome. Saya berinisiatif mengikutkan dia kegiatan olahraga dan menari. Untuk olahraga, saya masukkan ke SOIna. Dia jadi atlet apa? Ya saya serahkan ke pelatih karena dia yang menilai. Saya enggak mau memaksa anak,” tutur Endang Troes S, ibu dari atlet senam ritimik SOIna, Afra Nada Adistia, di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Afra pun pernah beberapa kali mendapat perlakuan tak menyenangkan, seperti komentar negatif dari orang-orang terdekatnya. Meski demikian, Endang enggan menggubris penilaian-penilaian mereka. Ia fokus untuk terus mendampingi anaknya yang kini berusia 26 tahun itu.
Ulet berlatih sejak 2013, perjuangan Afra sebagai atlet senam ritmik membuahkan hasil. Ia meraih medali emas dalam Pekan Olahraga Nasional SOIna di Riau pada 2018, serta Pekan Special Olympics Nasional di Semarang pada 2022.
Lambat laun, pandangan orang-orang terhadap Afra pun berubah positif. Hal ini menunjukkan, prestasi pun dapat dilakukan oleh mereka yang kerap dicap ”berbeda”, padahal memiliki semangat dan potensi yang tak kalah dari atlet-atlet pada umumnya.
Endang mengatakan, prestasi Afra jadi teladan bagi orangtua lain yang memiliki anak dengan kondisi serupa. ”Akhirnya, ada anak yang ’kurang’ sedikit, jadi melihatnya ke kami ya,” tambahnya. Kepribadian Afra berkembang setelah jadi atlet, terutama dalam hal kedisiplinan dan kemandirian.
Hal serupa juga dialami Komandan Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) SOIna Hanu Resinurjati Pitrosandhi yang ikut andil menyusun kurikulum sekolah luar biasa (SLB). Saat mengajar, ia melihat sebagian anak didiknya berpotensi untuk mengembangkan kemampuannya dalam olahraga prestasi. Alasannya, postur tubuh dan kemampuan motorik mereka mendukung.
Namun, sebagian guru sempat menganggap pendekatan yang dilakukan Hanu guna menggali potensi anak-anak kurang tepat. Ia tak hilang akal, kemudian mencoba cara lain dengan mengundang wali murid yang anaknya memiliki kapasitas dalam olahraga prestasi.
”Mereka (wali murid) bilang, ’Masa sih, Pak Hanu?.’ Jadi jangankan orang lain, orangtua sendiri pun enggak percaya bahwa anaknya punya potensi itu. Ini masalah, kan. Saya harus punya produk untuk meyakinkan mereka,” ujar Hanu.
Setelah melalui serangkaian latihan, bakat anak-anak mulai terlihat. Para orangtua pun mendukungnya. Alhasil, tiap ada siswa baru, Hanu akan menilai kemampuannya untuk melihat potensinya, seperti kemampuan motorik dan minatnya.
Hanu mengatakan, kondisi tersebut makin menguatkannya untuk mendorong orangtua supaya dapat menggali potensi anak dengan disabilitas intelektual. Ia pun makin berambisi untuk menghapus stigma yang melekat pada mereka. ”Ada stigma yang salah, bahkan di lingkungan SLB,” katanya.
Media sosial jadi medium untuk mengedukasi masyarakat, terutama orangtua agar tak terpuruk saat dianugerahi anak berkebutuhan khusus. Beruntung, perubahan mulai tampak, bahkan banyak orang yang mencari Hanu agar anak-anaknya dilatih supaya menjadi atlet-atlet berprestasi.
Anak Ibu ini sebenarnya ’berlian’ yang terbungkus ’lumpur’. Kalau ’lumpur-lumpurnya’ sudah dibersihkan, mahal harganya.
”Anak Ibu ini sebenarnya ’berlian’ yang terbungkus ’lumpur’. Kalau ’lumpur-lumpurnya’ sudah dibersihkan, mahal harganya,” ujar Hanu kala meyakinkan orangtua penyandang disabilitas intelektual.
Ketua Umum SOIna Warsito Ellwein mengatakan, anak-anak penyandang disabilitas intelektual tak cacat. Ironisnya, selama ini mereka kerap dianggap idiot dan gila. Mereka harus mendapat ruang yang aman dan nyaman sehingga dapat mengembangkan diri secara maksimal karena selama ini dipinggirkan. Ia pun terus mendorong atlet-atlet ini untuk mengikuti berbagai kompetisi internasional guna meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa mereka dapat mengukir prestasi dan diakui potensinya.
Sebelumnya, para atlet SOIna telah mengharumkan bangsa di kancah internasional. Pada Special Olympics World Summer Games (SOWG) 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, mereka mempersembahkan 11 emas, 6 4perak, dan perunggu. Para penyandang disabilitas intelektual ini juga membawa pulang 19 emas, 12 perak, dan 9 perunggu seusai berkompetisi pada SOWSG 2015 di Los Angeles, Amerika Serikat.
SOIna membuka peluang sebesar-besarnya untuk anak disabilitas intelektual. Mereka yang tergolong kelompok tersebut dapat mengasah kemampuannya dengan terjun ke dunia olahraga.
Hanu menjelaskan, para penyandang disabilitas intelektual dinilai tim pelatih setelah melewati sejumlah tes yang akan menunjukkan responsnya terhadap suatu bakat tertentu. Tim akan memberikan beberapa alat olahraga, seperti bola dan pita. Minat dan potensi anak akan tampak berdasarkan alat yang diambil, serta reaksi yang ditunjukkan.
”Dari situ, dari minat ke bakat akan (muncul) chemistry. Misal, anak akan mengambil pita ketika disodorkan, kelihatan berarti dia (potensi) senam artistik. Dari situ, digali kemudian dikembangkan, akhirnya menemukan bakat istimewanya,” kata Hanu lulusan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung ini.
Data psikologi anak berperan penting dalam penilaian. Beberapa unsurnya adalah persyaratan IQ, paham perintah, dan kemandirian anak menentukannya dapat bergabung dengan SOIna.
Setelah itu, mereka yang terpilih akan mengikuti pelatihan di daerah (desentralisasi). Desentralisasi ini tersebar di 16 provinsi di Indonesia. Adanya kendala pelatih dan atlet yang terpencar mendorong Pengurus Pusat SOIna untuk merekrut pelatih-pelatih di tiap daerah. Alhasil, atlet akan berada di bawah pengawasan pelatih daerah yang berpedoman pada susunan program sebelum akhirnya mengikuti pelatnas di Semarang dan Kudus, Jawa Tengah.