Jalan Terjal Angkat Besi Indonesia Menuju Olimpiade 2024
Pelatih tim angkat besi Indonesia terus mengatur strategi agar anak-anak didiknya dapat merebut kuota Olimpiade 2024. Sistem kualifikasi yang berbeda dianggap lebih menantang dan adil daripada Olimpiade sebelumnya.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah perbedaan peraturan dan kuota angkat besi pada Olimpiade Paris 2024 dibanding Olimpiade Tokyo 2020 dianggap lebih menantang. Keikutsertaan pada rangkaian kompetisi internasional akan jadi modal tim angkat besi Indonesia merebut tiket Olimpiade 2024.
Jelang Olimpiade Paris 2024, sederet kejuaraan internasional akan dihadapi atlet-atlet angkat besi Indonesia. Tiap negara berhak mengirimkan tiga atlet putra dan tiga atlet putrinya. Perhelatan-perhelatan internasional itu akan menentukan 120 atlet terpilih yang akan bertanding dalam Olimpiade tahun depan. Jumlahnya turun dari Olimpiade Tokyo 2020. Saat itu, 196 atlet masih dapat beradu kekuatan di panggung yang sama.
Kelas yang dipertandingkan pun berkurang, dari tujuh kelas menjadi lima kelas. Alhasil, perlu strategi untuk memilih atlet yang akan diturunkan.
Menurut pelatih angkat besi Indonesia, Dirdja Wihardja, saat Olimpiade 2020, penghitungan poin atlet berdasarkan robi points. Metode itu resmi dikeluarkan Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) untuk menghitung dan membandingkan kemampuan individu tiap atlet.
Untuk saat ini, atlet mendapat lima kesempatan untuk mengikuti kejuaraan pilihan serta dua kejuaraan wajib. Dari situ, kemampuan mereka akan dihitung berdasarkan snatch (mengangkat beban tanpa jeda dari lantai hingga di atas kepala) serta clean & jerk (mengangkat beban dalam dua tahap). Total angkatan akan menentukan peringkat atlet.
Mereka yang masuk 10 besar dunia dianggap di posisi aman sementara menuju Olimpiade 2024. Alasannya, tiap atlet minimal harus mengikuti lima perhelatan internasional untuk mengejar dan mempertahankan posisinya.
“Lebih menantang Olimpiade ini, lebih fair sih. Itu murni total angkatan, enggak ada perkalian koefisiennya (dalam robi points). Nanti, yang lolos, benar-benar yang kuat,” ujar Dirdja di Mess Marinir Kwini TNI AL, Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
Babak kualifikasi pertama, yaitu Kejuaraan Dunia Angkat Besi 2022 di Bogota, Kolombia telah berlangsung pada Desember 2022 lalu. Atlet Indonesia dari 61 kilogram (kg), yakni Eko Yuli Irawan dan Ricko Saputra, masuk dalam 10 besar dunia, masing-masing bertengger di posisi kedua dan kelima dunia. Sementara kelas 73 kg diisi Rahmat Erwin Abdullah dan Rizky Juniansyah. Mereka berada di posisi pucuk, yakni pertama dan kedua dunia.
Meski demikian, tiap kelas hanya dapat diisi satu atlet dari tiap negara. Alhasil, hanya ada satu dari dua nama yang saling bersaing dari tiap kelas itu yang akan maju menuju Olimpiade 2024.
“Dalam kualifikasi, berebutlah mereka untuk menunjukkan siapa yang terbaik. Ini seperti sistem ‘rimba’ yang memiliki aturan, siapa yang kuat, dia yang menang. Nanti ikut hasil akhirnya,” tambah Dirdja, mantan atlet angkat besi kelas 56 kg yang ikut dalam Olimpiade 1988 di Korea Selatan.
Babak kualifikasi pilihan terdiri atas Kejuaraan Angkat Besi Dunia 2022 di Bogota, Kolombia; Kejuaraan Asia di Jinju, Korea Selatan; Grand Prix 1 di Havana, Kuba; Grand Prix 2 di Doha, Qatar; dan kejuaraan kontinental. Sementara babak yang wajib diikuti adalah Kejuaraan Dunia di Riyadh, Arab Saudi, dan Kejuaraan Dunia di Phuket, Thailand.
Jumlah kelas yang dipertandingkan lebih sedikit. Ini lebih berat karena bukan lagi dihitung dari poin, tapi dari total angkatan dan harus masuk 10 besar (dunia).
Tim pelatih pun mengatur strategi agar anak-anak didiknya dapat bergantian mengikuti total tujuh kejuaraan internasional. Atlet yang belum masuk 10 besar dunia akan didorong untuk berpartisipasi pada kompetisi internasional. Sebaliknya, atlet yang dianggap berhasil mengamankan peringkatnya dapat mengikuti acara multi-events, seperti SEA Games 2023. Meski demikian, peringkat dunia akan terus berubah sepanjang babak kualifikasi hingga hasil terakhir keluar setelah Kejuaraan Dunia di Phuket, Thailand, pada 2024.
Indonesia tak mengikuti seluruh kelas yang tersedia, seperti nomor putra dari kelas 102 kg dan +102 kg. Dirdja mengatakan, timnya akan fokus pada peluang yang masih memungkinkan dikejar agar lebih efektif untuk mencapai target. Dari segi fisik, postur tubuh atlet Indonesia kurang proporsional dibanding dengan orang-orang negara Barat untuk angkat besi.
“Memang peluang kita sejak dulu untuk negara Asia selalu kelas (angkatan) bawah, ya kita berebut di situ. Enggak pernah kita juara Olimpiade kelas atas,” kata Dirdja.
Hanya Nurul Akmal, atlet putri Indonesia yang mencoba peruntungan ikut kelas IWF +87 kg atau +81 kg Olimpiade 2024. Dalam babak kualifikasi pertama, ia berhasil bertengger di posisi sembilan dunia dengan total angkatan 260 kg.
Target medali
Perbedaan sistem kualifikasi Olimpiade yang dinilai makin menyulitkan juga diakui atlet. Alhasil, mereka pun berlatih lebih keras dibanding sebelumnya.
“Jumlah kelas yang dipertandingkan lebih sedikit. Ini lebih berat karena bukan lagi dihitung dari poin, tapi dari total angkatan dan harus masuk 10 besar (dunia),” ujar Nurul yang ikut berlaga mewakili kelas +87 kg dalam Olimpiade 2020.
Meski atlet tak dibebani target medali secara personal, tetapi tim Indonesia diharapkan dapat meraih satu emas. Manajer Tim Angkat Besi Indonesia Pura Darmawan mengatakan selama ini atlet-atlet membawa pulang perak dan perunggu sejak Olimpiade Sydney 2000. Akan tetapi, mereka belum pernah mempersembahkan emas.
“Insyaallah, (Olimpiade) Paris ini ada satu emas. Pemerintah juga menargetkan dan berharap dari angkat besi ada emas,” kata Pura.