Penyintas Tragedi Kanjuruhan Tidak Dapat Bantuan Pengobatan Lagi
Bantuan dihentikan saat penyintas Tragedi Kanjuruhan masih membutuhkan perawatan medis dan psikologis. Kini, mereka harus mengeluarkan uang pribadi untuk berobat.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mengaku tidak lagi mendapat tanggungan perawatan medis dari pemerintah sejak Desember 2022. Padahal, masih banyak penyintas yang sampai hari ini mengalami efek jangka panjang akibat berdesakan dan menghirup gas air mata. Mereka terpaksa menggunakan uang pribadi dan terus mencari dana dari berbagai pihak untuk biaya pengobatan.
Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat umum keluarga korban yang didampingi anggota dari lima fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang dengan Komisi X DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Rabu (18/1/2023). Mereka mengadu dan mendesak pemerintah tetap bertanggung jawab atas biaya pengobatan dan menghadirkan keadilan secara hukum.
Tim Gabungan Aremania, Simon Zakaria mengatakan, bantuan itu dihentikan seiring dengan pencabutan status Kejadian Luar Biasa Tragedi Kanjuruhan, padahal masih ada puluhan penyintas yang mengalami trauma kesehatan maupun psikologis pasca-tragedi yang terjadi 1 Oktober 2022 itu. Beberapa di antaranya masih membutuhkan tindakan operasi patah tulang, infeksi saluran pernafasan, hingga trauma psikologis ketika melihat asap.
"Desember akhir kemarin mulai diputus karena status KLB sudah dicabut. Sekarang banyak korban yang dulunya tidak sesak nafas akhirnya sesak nafas, batuk kering, berdahak, demam tinggi. Korban yang matanya merah itu juga mengeluarkan butiran debu saat terapi uap. Kini, mulai muncul kasus-kasus baru," kata Simon.
Simon mencontohkan, salah satu penyintas yang harus menjalani operasi patah tulang dalam waktu dekat bernama Fiki, warga Sidoarjo, Jawa Timur. Fiki disebut belum bisa berjalan, kesulitan berkomunikasi, hingga mengalami penurunan daya ingat.
Saat ini, lanjut Simon, para penyintas menggunakan uang pribadi dan menjaring dana ke berbagai pihak untuk melanjutkan perawatan traumatis. Dia berharap bantuan pemerintah tidak hanya berlangsung jangka pendek bersamaan dengan status KLB karena dampak kesehatan akibat gas air mata bisa berlangsung lama bagi penyintas.
Selain dampak kesehatan, para penyintas juga mengalami dampak sosial ekonomi seperti kehilangan pekerjaan akibat cacat permanen hingga menjadi yatim piatu karena orangtuanya meninggal dalam tragedi yang menewaskan 135 jiwa tersebut. Menurut dia, dampak jangka panjang ini juga harus menjadi perhatian pemerintah.
"Ini saya mohon sekali lagi untuk dipikirkan ulang tentang kesejahteraan keluarga korban meninggal dunia dan penyintas yang luka-luka," tuturnya.
Anggota DPRD Kota Malang dari Fraksi Partai Keadilan Bangsa, Arief Wahyudi, mengatakan, penghentian bantuan perawatan medis ini membuktikan negara tidak berpihak kepada korban Tragedi Kanjuruhan. Padahal, setiap tiket pertandingan olahraga memberikan jaminan keselamatan bagi penonton,
"Warga Malang menilai tragedi ini extraordinary, tetapi negara hadir hanya biasa-biasa saja, bahkan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, seolah-olah sudah berbuat untuk korban," kata Arief.
Ketua Komisi X DPR RI Saiful Huda juga terkejut mendengar aduan keluarga korban. Sepengetahuan wakil rakyat di Senayan, penanganan tragedi yang dilakukan pemerintah sudah maksimal. Dia meminta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) segera menindaklanjuti aduan ini dan memastikan keluarga korban dan penyintas mendapatkan hak-haknya sampai tuntas.
"Saya kaget juga mendengar aduan ini. Kami merasa PSSI punya tanggung jawab atas ini, di luar pemerintah. Pemerintah juga bisa mengkonsolidasikan bantuan itu, bisa dari Kemensos atau lembaga lain," kata Saiful.
Pengadilan harus terbuka
Keluarga korban juga mendesak Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, untuk transparan menggelar sidang pengusutan Tragedi Kanjuruhan. Proses sidang yang kini berlangsung tertutup dinilai akan mengaburkan fakta dan tidak menghasilkan keadilan.
Arief mengungkapkan, keputusan menggelar sidang di Surabaya sudah dirasa tidak adil bagi para korban, apalagi digelar tertutup. Ketika di Surabaya pun para keluarga korban sempat dibenturkan dengan warga setempat terkait rivalitas antara Arema FC dan Persebaya Surabaya.
"Tekanan di sana sudah tidak baik, ada narasi dari yang menamakan dirinya suporter juga bahwa mereka tidak mau menerima kehadiran Aremania di Surabaya. Ada upaya mengadu domba kami, padahal kami hanya ingin mengawal keadilan," ucap Arief.
Oleh karena itu, DPR mendesak PN Surabaya untuk membuka selebar-lebarnya pintu ruang sidang karena tragedi ini disorot oleh banyak pihak. Selain itu, korban juga sudah mengalah mau proses peradilan dipindah dari Malang ke Surabaya. Maka, seharusnya pengadilan bisa digelar terbuka untuk publik.
"Kalau dua-duanya tidak terpenuhi, rasanya wajar kalau ada tuntutan rasa keadilan dari aremania. Ini mengusik rasa keadilan," tegas Saiful Huda.
Sidang perdana terhadap lima terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan sudah dimulai di Ruang Cakra, Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/1/2023). Peradilan perkara pidana itu menjadi gerbang pencarian keadilan bagi keluarga 135 korban meninggal dan lebih dari 600 korban luka.
Lima terdakwa itu ialah bekas Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris, bekas security officer Suko Sutrisno, bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan.
Satu tersangka lain, mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita belum menjalani sidang. Berkas perkara Lukita masih dilengkapi oleh Polda Jatim sehingga belum bisa didaftarkan untuk persidangan.