Mendesak, Perbaikan Manajemen Liga Sepak Bola Indonesia
Penghentian Liga 2 dan 3 menunjukkan buruknya manajemen kompetisi sepak bola nasional. Maka, pembenahan mendesak dilakukan. Mayoritas klub peserta menginginkan kompetisi itu dilanjutkan.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keputusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan PT Liga Indonesia Baru menghentikan Liga 2 dan 3 musim 2022-2023 menunjukkan rendahnya profesionalisme federasi dan operator kompetisi sepak bola nasional tersebut. Perlu ada pembenahan menyeluruh manajemen liga profesional di Tanah Air.
Rapat Komite Eksekutif PSSI dan PT LIB, Kamis (12/1/2023), mengonfirmasi kabar yang telah beredar dalam satu pekan terakhir terkait nasib Liga 2 dan 3 yang dihentikan di tengah jalan. Kian ketatnya perizinan serta penilaian ulang terhadap standar keamanan dan kelayakan stadion klub peserta akibat Tragedi Kanjuruhan menjadi faktor pendorong kompetisi sepak bola di dua jenjang itu tidak bisa dilanjutkan pada saat ini.
Sebelum liga diputuskan dihentikan, PT LIB menggelar rapat dengan pengurus 28 klub Liga 2 di Jakarta, 14 Desember 2022. Dalam rapat itu, perwakilan 20 klub menandatangani surat pernyataan terkait usulan mengenai kelanjutan kompetisi Liga 2. PT LIB lalu meminta rapat dengan PSSI untuk memutuskan nasib Liga 2 dan 3.
Salah satu perwakilan klub yang menandatangani pernyataan itu adalah Manajer Perserang Serang Babay Karnawi. Namun, saat dikonfirmasi Jumat (13/1), ia menjelaskan, surat pernyataan itu tidak serta merta merekomendasikan Liga 2 dihentikan. Ia mengungkapkan, dalam rapat 14 Desember lalu, klub-klub Liga 2 sejatinya meminta kejelasan nasib kompetisi yang terkatung-katung seusai Tragedi Kanjuruhan.
Dalam pembahasan saat itu, mayoritas klub tak setuju kompetisi dilanjutkan dengan sistem normal, kandang-tandang. Alasannya, keuangan klub amat buruk karena liga tidak berjalan sejak awal Oktober 2022.
”Kami ingin kompetisi dilanjutkan dengan sistem gelembung terpusat, sehingga biaya kompetisi ditanggung sepenuhnya oleh PT LIB. Kami sudah kesulitan keuangan karena kompetisi tidak berjalan, tetapi tetap mengeluarkan biaya operasional untuk menggaji pemain dan ofisial. Apalagi, PT LIB belum lagi memberikan subsidi yang dijanjikan di awal kompetisi,” ujar Babay di Jakarta.
Semua klub Liga 2 musim ini mendapat subsidi Rp 100 juta per bulan selama delapan bulan kompetisi berjalan. Setelah dipotong pajak, nilai subsidi yang diterima klub Rp 96 juta. Pembayaran subsidi itu baru dilakukan dua kali oleh PT LIB.
Saya akan berjuang untuk mencari keadilan bagi nasib pemain sepak bola, terutama pemain muda, di Indonesia. (Zulkifli Syukur)
Padahal, menurut Babay, pihaknya mengeluarkan dana tak sedikit, yaitu Rp 600 juta per bulan, untuk operasional. Dana itu mencakup gaji pemain, staf, dan sewa lapangan latihan.
”Saya menganggap PT LIB tidak siap (melanjutkan Liga 2 dan 3), tetapi malu mengungkap kondisi keuangan mereka. Selama ini, PT LIB beralasan Liga 2 tak bisa dijual. Itu tugas mereka membenahi liga agar punya nilai jual, misalnya dimulai dengan kepastian jadwal dan sistem kompetisi. Itulah yang membuat kami mengusulkan Liga 2 diurus operator mandiri,” katanya.
Menuntut keadilan
Perwakilan klub lainnya, Direktur Operasional Gresik United Thoriqi Fajrin, menilai, penghentian Liga 2 melukai asas keadilan di dalam kompetisi. Padahal, pihaknya maupun sejumlah klub lainnya telah sungguh-sungguh menyiapkan berbagai hal untuk mengikuti kompetisi itu.
Gresik United bahkan mengeluarkan biaya mandiri agar markas mereka, Stadion Gelora Joko Samudero, dilakukan penilaian risiko oleh Kepolisian Negara RI untuk bisa menggelar laga tersisa musim ini.
”Tim telah siap. Stadion kami pun telah mendapat penilaian layak untuk dipakai kompetisi Liga 1 dan 2. Kalau dihentikan, maka kerja keras kami tidak ada hasilnya,” ucap Thoriqi.
Tak hanya klub, pemain juga kecewa dengan keputusan PSSI yang menghentikan Liga 2 dan 3. Keputusan itu bisa berdampak pada penghidupan 817 pemain yang terdaftar di 28 klub Liga 2 dan ratusan pemain lainnya di 64 klub peserta Liga 3.
Zulkifli Syukur, pemain senior, mengaku heran dengan keputusan penghentian Liga 2 dan 3 musim ini. Menurut dia, keputusan itu mencederai asas keadilan. Jika kompetisi dihentikan akibat Tragedi Kanjuruhan, maka ia menilai Liga 1 juga seharusnya tidak dilanjutkan.
”Saya akan berjuang untuk mencari keadilan bagi nasib pemain sepak bola, terutama pemain muda, di Indonesia,” ujar Zulkifli, pemain tim Liga 3 zona Banten, Adhyaksa Farmel.
Hasani Abdulgani, Anggota Komite Eksekutif PSSI, menuturkan, penghentian Liga 2 dan 3 adalah imbas dari Tragedi Kanjuruhan yang mengubah aturan kompetisi. Ia menambahkan, mayoritas stadion klub Liga 2 masih menjalani penilaian dari tim Polri dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Maka, liga itu belum bisa dijalankan dalam waktu dekat.
Adapun jika kompetisi dilanjutkan dengan sistem gelembung, lanjutnya, maka aliran keuangan PT LIB bakal terganggu. ”Memerhatikan kondisi keuangan saat ini, kami tidak dapat melanjutkan kompetisi Liga 2 dan 3 dengan sistem bubble (gelembung) karena akan ada peningkatan biaya yang besar,” ungkap Direktur PT LIB Ferry Paulus lewat suratnya ke PSSI.
Jika sistem gelembung diterapkan, semua biaya operasionalnya ditanggung operator kompetisi, yaitu PT LIB. Hal itu terjadi pada Liga 1 musim lalu. ”Kalau itu terjadi, semua akan berantakan, termasuk Liga 1 yang menjadi sumber pemasukan PT LIB,” kata Hasani.
Jika pun dilanjutkan, Hasani menjelaskan, Liga 2 harus selesai sebelum Piala Dunia U-20, yaitu pada Mei 2023. ”Jadi, mereka harus tetap main di bulan Ramadan. Tetapi, 90 persen stadion tim Liga 2 tidak memenuhi standar menjalankan laga malam hari yang dilaksanakan pada bulan puasa,” ujarnya.
Hasani menambahkan, bisa tidaknya kedua liga itu dilanjutkan nantinya bergantung pada pengurus PSSI periode berikutnya yang dihasilkan Kongres Luar Biasa PSSI pada 16 Februari mendatang.