Naturalisasi pemain menjadi cara instan PSSI agar Indonesia bisa berprestasi di Piala Dunia U-20. Cara ini berpotensi mengesampingkan pembinaan usia dini yang sebetulnya lebih berdampak jangka panjang.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·6 menit baca
Piala Dunia U-20 semula akan berlangsung di Indonesia pada 2021. Namun, pandemi Covid-19 yang belum mereda membuat ajang dua tahunan itu ditunda hingga 2022. Penundaan ini memberikan sedikit keuntungan untuk Indonesia sebagai tuan rumah sehingga bisa lebih mematangkan diri untuk menyediakan infrastruktur turnamen. Hal yang tidak kalah penting, tim sepak bola Indonesia U-20 mendapatkan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan diri.
Sebagai tuan rumah, Indonesia bergabung di Grup A. Siapa lawan-lawan Indonesia di fase grup belum diketahui lantaran pengundian baru dilaksanakan pada Maret 2023 di Jakarta. Akan tetapi, sejauh ini negara-negara besar sepak bola sudah memastikan tempat di Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung pada 20 Mei hingga 11 Juni 2023.
Di Eropa, negara-negara berkultur sepak bola kuat, seperti Inggris, Italia, dan Perancis, sudah memastikan diri lolos ke Piala Dunia tahun depan. Sementara wakil dari konfederasi Asia, Afrika, dan Amerika Selatan masih menjalani babak kualifikasi sehingga pesertanya baru bisa diketahui awal tahun depan. Piala Dunia U-20 total akan diikuti 24 negara.
Agar tidak menjadi bulan-bulanan negara-negara lainnya, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) terhitung cukup serius dalam mempersiapkan tim U-20. Hanya saja, Indonesia sejak dulu belum memiliki akar atau sistem pembinaan sepak bola usia dini yang kuat dan matang. Karena itu, PSSI terkesan menggunakan cara-cara instan untuk menyiapkan tim, salah satunya melalui cara naturalisasi pemain.
Dalam sejarahnya, Indonesia pertama kali menaturalisasi pemain pada 2010, saat striker asal Uruguay, Cristian Gonzalez, secara resmi membela Indonesia di Piala AFF. Sebelumnya, Indonesia belum pernah menggunakan jasa pesepak bola naturalisasi.
Seiring berjalannya waktu, naturalisasi pesepak bola menjadi hal yang kian banal di Tanah Air. Kebutuhan untuk tampil di Piala Dunia U-20 memaksa PSSI bahkan menaturalisasi pemain untuk level tim U-19. Pada pertengahan tahun ini, ada tiga pemain Belanda keturunan Indonesia, yaitu Jim Croque (penyerang), Max Christoffel (bek sayap), dan Kai Boham (bek tengah) yang menjadi bidikan PSSI untuk dinaturalisasi.
Akan tetapi, Pelatih Tim U-19 Indonesia Shin Tae-yong terlihat kurang terkesan terhadap kemampuan ketiganya. Mereka bahkan tidak masuk skuad pilihan Shin untuk berlaga di Piala AFF U-19 2022.
Walakin, proyek naturalisasi tetap berlanjut. Anggota Komite Eksekutif PSSI, Hasani Abdulgani, diutus secara langsung ke Belanda untuk memantau pemain-pemain keturunan yang sekiranya bersedia membela Indonesia. Hasani juga bertugas berbicara dengan keluarga para pemain tersebut.
Setelah Croque, Christoffel, dan Boham, muncul tujuh nama calon pemain naturalisasi. Namun, hanya dua yang menyatakan ketertarikan membela Indonesia, yaitu Ivar Jenner dan Justin Hubner. Jenner merupakan pemain tim U-21 FC Utrecht di Belanda, sedangkan Hubner saat ini memperkuat Wolverhampton Wanderers U-21. Keduanya bahkan sudah mengikuti serangkaian pemusatan latihan di Turki dan Spanyol selama dua bulan.
Kebiasaan lama
Naturalisasi dan pemusatan latihan berbulan-bulan merupakan kebiasaan lama PSSI dalam mempersiapkan timnas. Kebiasaan ini disebabkan kurang optimalnya pembinaan usia muda yang terwujud dalam kompetisi. Tanpa kompetisi usia dini yang baik, sulit berharap akan muncul calon-calon pemain timnas yang potensial.
Idealnya, klub dan kompetisi merupakan kawah candradimuka bagi para pesepak bola di semua level usia.
Idealnya, klub dan kompetisi merupakan kawah candradimuka bagi para pesepak bola di semua level usia. Tanpa adanya kompetisi yang baik, timnas akan kesulitan menemukan pemain-pemain hebat sehingga, siapa pun pelatihnya, hampir pasti akan selalu menempuh jalan naturalisasi atau pemusatan latihan jangka panjang.
Pada 2011, mantan pelatih tim U-23 Indonesia, Alfred Riedl, bersikeras mengadakan pemusatan latihan jangka panjang bahkan sampai berbulan-bulan. Riedl menilai kualitas pemain U-23 Indonesia belum cukup mantap untuk bersaing meraih emas di SEA Games 2011. Keputusan Riedl itu ditentang pelatih-pelatih klub yang berpotensi merugi lantaran pemain mereka akan dipinjam timnas dalam jangka waktu yang lama.
Akan tetapi, Riedl bergeming. Pelatih asal Austria itu beralasan, pemusatan latihan jangka panjang sangat diperlukan karena stamina para pemain masih jelek. Riedl terpaksa turun tangan langsung untuk membenahi kemampuan pemain.
Kondisi itu muncul salah satunya karena belum optimalnya kompetisi usia muda. Di belahan dunia mana pun, kompetisi adalah tulang punggung untuk membentuk timnas yang tangguh. Hanya dengan berlaga di kompetisi, para pemain bisa mengasah teknik, stamina, dan mental bertanding. Setelah pemain mengasah kematangan bermain di kompetisi, barulah mereka direkrut untuk memperkuat timnas.
Dengan begitu, pelatih timnas tidak perlu sampai mengurusi hal-hal mendasar, seperti mengasah stamina dan teknik pemain, karena itu semua sudah bisa diperoleh di level klub. Maka, pelatnas jangka panjang hingga berbulan-bulan sebetulnya sudah tidak relevan karena tekanan yang dialami pemain pun berbeda dengan mengikuti kompetisi. Pemusatan latihan jangka panjang idealnya paling lama berlangsung satu bulan.
Tahun ini, PSSI mengulangi kebiasaan itu. Bedanya, pemusatan latihan yang dilakukan PSSI saat ini terputus-putus. Dalam arti, pemusatan latihan jangka panjang dibagi-bagi menjadi beberapa periode, setelah itu pemain dikembalikan ke klub, dan kemudian dipanggil kembali beberapa bulan berikutnya. Walau sedikit berbeda, intinya tetap sama, yaitu mematangkan kualitas pemain melalui pemusatan latihan, proses yang seharusnya bisa dilakukan melalui kompetisi yang teratur.
Naturalisasi dan pemusatan latihan masih menjadi andalan karena belum optimalnya kompetisi usia dini. Harus diakui, Jenner dan Hubner merupakan hasil dari pembinaan usia dini Belanda. PSSI mengambil jalan pintas merekrut keduanya untuk menambah amunisi tim U-19 di Piala Dunia U-20.
Program andalan
PSSI sesungguhnya sudah memiliki upaya pembinaan usia dini melalui Elite Pro Academy dan program Garuda Select yang memberangkatkan pemain potensial untuk menimba ilmu di Eropa. Kedua program itu patut diapresiasi, tetapi masih melewatkan proses pembinaan pemain secara holistik. Pembinaan usia dini yang baik adalah sejak pemain itu berada di level akar rumput hingga ke jenjang profesional.
Kebanyakan klub profesional di Indonesia belum mempunyai pencari bakat untuk tim usia mudanya sehingga kecenderungan selama ini adalah pemain-pemain mendatangi klub untuk mendapatkan kontrak.
Fenomena ini acap ditemukan di daerah-daerah. Sering sebuah klub lokal mencari pemain melalui mekanisme seleksi yang diikuti ratusan pemain dan berlangsung berhari-hari. Seleksi berlarut-larut itu tidak perlu terjadi jika klub punya tim pencari bakat yang bertugas memantau pemain-pemain potensial dari sekolah sepak bola yang ada di sekitarnya.
Adapun kompetisi usia muda di Indonesia cenderung hanya berlangsung beberapa bulan. Setelah itu, klub akan membubarkan tim usia mudanya dan kembali melakukan seleksi apabila ada kepastian kompetisi akan dilanjutkan kembali musim depan. Langkah ini kurang tepat mengingat pemain muda butuh kesempatan tampil secara reguler untuk mendapatkan perkembangan kualitas bermain dan juga karakter serta mental yang baik.
Maka, Piala Dunia U-20 bisa menjadi barometer apakah kebijakan naturalisasi dan pemusatan latihan akan benar-benar membantu Indonesia untuk mampu berbicara banyak. Jika Indonesia mampu tampil bagus, kemungkinan besar PSSI akan kembali menggunakan cara-cara instan dibandingkan pembinaan usia muda yang sebetulnya lebih ajek dalam jangka panjang.