Walau telah lepas dari jerat sanksi WADA per 2 Februari 2022, hukuman serupa masih menghantui Indonesia. Agar terhindar dari pengulangan sanksi, perlu komitmen dan konsistensi IADO menjaga marwah Indonesia.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Setelah lepas dari jerat sanksi Badan Anti-Doping Dunia atau WADA pada 2 Februari 2022, hukuman tetap mengancam Organisasi Anti-Doping Indonesia atau IADO. Bahkan, pada awal Mei, Indonesia nyaris terjerumus kembali dalam sanksi serupa. Perlu komitmen kuat dari pengurus IADO agar Indonesia terhindar dari bayang-bayang sanksi yang terus menghantui.
”Meskipun telah lepas dari sanksi, IADO atau Indonesia tidak boleh terlena. Ancaman sanksi terus menghantui jika tidak ada pembenahan serius pada tubuh IADO, atau pada iklim anti-doping nasional,” tegas Mantan Ketua Gugus Tugas Pembebasan Sanksi WADA yang juga Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Raja Sapta Oktohari usai pencabutan sanksi tersebut.
Tanggal 7 Oktober 2021, WADA menjatuhkan sanksi kepada Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) selama setahun. Sanksi itu membuat atlet atau tim Indonesia tidak bisa membawa nama negara, mengibarkan bendera Merah-Putih, mengumandangkan lagu ”Indonesia Raya”, hingga menjadi tuan rumah kejuaraan internasional. Bendera Merah Putih tidak berkibar saat tim bulu tangkis Indonesia juara Piala Thomas 2020 di Denmark, Oktober 2021 setelah paceklik gelar selama 19 tahun.
Sanksi itu diberikan karena LADI tidak menyelesaikan 24 masalah yang tertunda, antara lain ketidakpatuhan pada rencana tes doping tahunan, kendala mengisi kode kepatuhan di akun WADA, dan tunggakan tagihan ke laboratorium anti-doping di Qatar. LADI berencana mengambil 300 sampel tes doping pada 2021, tetapi hanya mencapai maksimum 72 sampel.
Usai instruksi Presiden Joko Widodo, barulah LADI mematuhi aturan sehingga sanksi yang semula setahun menjadi kurang dari empat bulan. Kementerian Pemuda dan Olahraga pun menginisiasi reformasi LADI dan mengubahnya menjadi IADO.
Belum lama bernafas lega, IADO berada di ujung tanduk pada awal Mei. Dalam surat WADA kepada Ketua IADO Musthofa Fauzi pada 23 Maret disebutkan, IADO mendapat Laporan Tindakan Korektif karena aturan IADO belum sejalan dengan aturan WADA 2021. Jika tidak terpenuhi sebelum 23 Juni, IADO berpotensi kembali dijatuhi sanksi.
Pergantian pimpinan
Insiden itu melatarbelakangi pergantian pimpinan IADO dari Musthofa ke mantan Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto pada 13 Mei. Desakan Presiden kepada Menpora Zainudin Amali membuat Gatot dan jajarannya harus gerak cepat. Pada 28 Mei, WADA pun menganggap IADO telah mematuhi aturan mereka.
Gatot yang dihubungi, Selasa (20/12/2022), mengatakan, secara internal, IADO patut memulihkan kepercayaan pemangku kepentingan nasional, terutama pengurus induk cabang olahraga. Dahulu, mereka harus mencari atlet dan pengurus cabang, sehingga menghambat proses pengumpulan sampel tes doping yang menjadi salah satu sumber jatuhnya sanksi.
Kini, Gatot menjamin kepercayaan itu mulai pulih. ”Dari Agustus, kami mulai dapat panggilan dari pengurus induk cabang yang minta pengambilan sampel dalam kejuaraan mereka dan diberi edukasi informasi terbaru mengenai doping,” ujarnya.
Konsistensi IADO sangat penting untuk memastikan Indonesia terhindar dari sanksi.
Secara eksternal, IADO patut menjaga kepercayaan WADA. IADO terus menjalin komunikasi intensif untuk memenuhi semua permintaan dan arahan WADA, antara lain pengurus Badan Anti-Doping Nasional tidak boleh dari unsur Komite Olimpiade Nasional, Komite Paralimpiade Nasional (NPC), dan kementerian/lembaga bidang olahraga.
IADO pun lebih aktif mengikuti forum doping dunia hingga mengundang perwakilan WADA ke Seminar Anti-Doping Nasional 2022 di Jakarta, 30 November. ”Kami juga menyiarkan setiap kegiatan di laman resmi kami yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris, agar mudah diawasi WADA,” kata Gatot.
Terkait laporan sampel tes doping, sepanjang 2022 IADO menyelesaikan pengambilan 293 sampel dalam kompetisi (ICT) dan 258 sampel dari target 276 sampel di luar kompetisi (OOCT). Semuanya dikirim ke laboratorium yang terakreditasi WADA.
Penyuluhan
IADO pun menghidupkan penyuluhan. Mereka telah mengunjungi 15 provinsi dan menjalin kerja sama dengan KOI, NPC Indonesia, Komite Olahraga Nasional Indonesia, serta tujuh cabang sejak 18 November. Jumlah itu terus diperluas pada 2023. Dengan demikian, semua pihak punya kesadaran tinggi dengan isu doping yang dinamis, terutama mengenai zat-zat doping.
IADO juga ingin menambah jumlah petugas kontrol doping (DCO) yang saat ini baru berjumlah 35 orang. ”Kami perlu menambah sedikitnya 60 petugas agar bisa menjangkau wilayah Indonesia yang luas,” ucap Gatot.
Gatot menyampaikan, pembangunan laboratorium doping di Indonesia bukan kebutuhan mendesak. Laboratorium membutuhkan syarat minimum menguji 3.000 sampel tiap tahun, sedangkan jumlah sampel yang bisa diambil di Indonesia maksimum 550 sampel tiap tahun. ”Kalau tidak terpenuhi, laboratorium itu akan kehilangan akreditasinya, seperti di Penang, Malaysia yang akreditasinya dicabut pada 2010,” tuturnya.
Menurut pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak, keberadaan laboratorium sangat penting untuk memudahkan Indonesia memenuhi laporan pengambilan sampel tes doping dan kontrol berkala terhadap atlet. Hal itu menjadi masalah utama Indonesia sejak dulu. ”Saya rasa Indonesia punya banyak atlet dan kejuaraan untuk memenuhi syarat 3.000 sampel per tahun tersebut. Sekarang, tinggal niat, mau atau tidak,” tegasnya.
Glenn C Apfel, pelatih kepala pelatnas menembak, berharap semangat IADO tidak sekadar hangat di awal. Kontrol doping berkala untuk atlet sangat penting untuk memastikan tidak ada kecurangan dan dapat sanksi tiba-tiba ketika tampil dalam kejuaraan.
”Dengan sering diperiksa dan dipantau, kami merasa lebih aman. Dalam dua bulan ini, IADO dua kali datang untuk melakukan tes acak dan memberi edukasi. Semoga semangat itu tidak putus di tengah jalan. Konsistensi IADO sangat penting untuk memastikan Indonesia terhindar dari sanksi,” pungkas Glenn.