Prestasi cemerlang timnas pada 2022 berasal dari program instan. Butuh program jangka panjang untuk menjaga prestasi berkesinambungan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Tim nasional bola basket Indonesia naik level pada 2022. Mereka meraih emas pertama setelah 45 tahun keikutsertaan di SEA Games. Prestasi terbesar dalam sejarah timnas itu patut dibanggakan, tetapi belum cukup untuk menjamin masa depan cerah bola basket Tanah Air.
Raihan emas tersebut tidak lebih dari sekadar kejutan. Manajemen timnas saja hanya berani menargetkan perak sebelum berangkat ke SEA Games Vietnam. Mereka menyadari, masih jauh tertinggal dari Filipina yang berstatus juara bertahan sejak 1991 dan dikenal berkultur kuat bola basket.
Lalu, mengapa timnas bisa juara? Faktor terbesarnya ada di dua sosok, yaitu pemain naturalisasi Marques Bolden dan pemain keturunan Indonesia-Kamerun Derrick Michael Xzavierro. Timnas beruntung karena bisa memetik hasil instan dari mereka yang dilatih di negara lain.
Bolden adalah pebasket Amerika Serikat sampai menjadi Warga Negara Indonesia pada Juli 2021. Derrick lahir dan besar di Indonesia. Namun, potensinya baru terlihat sepulang dari program NBA Global Academy di Australia. Keduanya pun bagai rezeki yang jatuh dari langit saat debut di SEA Games.
Tidak bisa dimungkiri, emas di Vietnam merupakan hasil tidak terduga dari proses instan. Bukan sesuatu yang diciptakan organik dari ekosistem pembinaan bola bakset Tanah Air, seperti kompetisi profesional berkualitas dan program pembibitan berjenjang.
Tentunya prestasi dari proses instan tidak melanggar apa pun. Prestasi itu juga tetap pantas untuk dirayakan. Namun, pertanyaannya, apakah prestasi tanpa proses panjang akan berkesinambungan dan mencerminkan pertumbuhan bola basket Tanah Air sesungguhnya?
Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi) menciptakan program pembinaan paling menarik lewat Indonesia Patriots. Pebasket usia muda terbaik dari berbagai kota dikumpulkan menjadi satu tim. Tim kemudian dilatih dengan program timnas dan ikut serta di Liga Bola Basket Indonesia (IBL).
Patriots yang sudah berjalan dua tahun lebih, terbilang sukses. Beberapa lulusannya menjadi tulang punggung di timnas dan klub, seperti guard Yudha Saputera (24). Namun, jika dilihat secara lebih luas, program tersebut sebenarnya juga tidak lebih dari mengejar prestasi instan.
Apakah prestasi tanpa proses panjang akan berkesinambungan dan mencerminkan pertumbuhan bola basket Tanah Air sesungguhnya?
Problem dalam program Patriots mulai terlihat saat pencarian pemain untuk tim angkatan ketiga, pada medio 2022. Ceruk bakat Patriots ternyata bergesekan dengan pencarian pemain untuk rookie IBL. Akibat keterbatasan pebasket muda berkualitas, IBL pun mengalah kepada Patriots.
Alhasil, kualitas rookie combine jelang IBL 2023 banyak dikritik oleh para pengurus klub. Kualitas pemain yang tersisa di bawah standar. Piramida pembinaan pemain pun terbalik. Biasanya pemain muda harus tampil bagus bersama klub di kompetisi sebelum dipanggil timnas. Sekarang justru sebaliknya.
Ekosistem pembinaan itu kurang ideal. PP Perbasi sebagai induk cabang semestinya fokus dalam program pembinaan untuk memastikan bakat tersedia. Mereka justru turut mengurangi bakat yang sudah sedikit itu dengan dalil mengakselerasi prestasi timnas.
Padahal, di negara-negara hebat dalam bola basket, kompetisi level profesional selalu menjadi wadah terbaik untuk pembinaan. Kompetisi yang baik akan berpengaruh efek domino terhadap pertumbuhan industri dan prestasi.
Di sisi lain, seleksi Patriots memperlihatkan lubang lain dalam program pembinaan skala nasional. Para pemain dari setiap daerah harus mendaftar sendiri untuk mengikuti seleksi. Lalu, mereka akan diseleksi oleh staf pelatih timnas yang datang ke 10 kota terpilih.
Terlihat jelas perah daerah tidak berjalan dalam seleksi ini. Jika kompetisi usia muda berjalan reguler dan kompetensi pelatih di daerah mumpuni, pemantauan bakat akan berjalan sendirinya. Tidak perlu pendaftaran pemain atau pemanggilan staf pelatih timnas ke setiap daerah itu.
Momentum kedua
Tahun 2023 akan menjadi momentum emas kedua untuk melecut industri bola basket. Setelah menjadi tuan rumah Piala Asia 2022, Indonesia akan kembali menjamu tim dari negara besar yang berlaga di Piala Dunia 2023. Meskipun timnas tidak ikut serta, kedatangan pemain dunia bisa semakin melecut animo pecinta bola basket.
Saat bersamaan, IBL bisa mewujudkan kompetisi ideal pada musim 2023 setelah diganggu pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir. Banyak peningkatan yang dilakukan untuk memacu kualitas kompetisi dalam perayaan musim ke-20 tersebut.
Jumlah pertandingan minim selalu dinilai sebagai kekurangan terbesar IBL. Musim depan, jumlah laga akan meningkat drastis dari 176 laga menjadi 240 laga. Setiap tim akan bertanding 30 kali di musim reguler. Adapun jumlah kaga itu merupakan yang terbanyak dalam lima musim terakhir.
Tren pelatih asing juga akan semakin menjamur musim depan. Sebanyak 8 dari 16 tim menggunakan jasa pelatih asing dari berbagai negara maju dalam bola basket, seperti Serbia dan Lithuania. Tren itu akan membawa banyak ilmu baru untuk pemain dan pelatih lokal, seperti yang sudah terjadi pada musim-musim sebelumnya.
Selain kualitas liga, IBL juga mencoba untuk kembali meningkatan animo penonton di daerah. Musim reguler akan berlangsung di 8 kota, sementara babak playoff akan kembali memainkan laga kandang dan tandang. Adapun rencana bermain di banyak kota sulit dieksekusi sebelumnya akibat pandemi.
Pada akhirnya, industri bola basket Tanah Air akan semakin terlecut pada musim depan. Momentum itu harus diiikuti dengan rencana program jangka panjang, terutama dari induk cabang. Jangan lagi hanya melihat prestasi satu atau dua tahun ke depan. Jika tidak, prestasi timnas mungkin akan selalu menjadi hal yang mengejutkan, bukan sebuah kewajaran.