Implementasi DBON cenderung setengah hati, bahkan dianggap melenceng dari rencana awal. Program ini berpotensi bernasib sama seperti program lainnya yang gagal dan akhirnya hilang seiring bergantinya pemimpin.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Anak-anak peserta seleksi sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional, mengikuti seleksi hari kedua terkait tes keterampilan spesifik cabang taekwondo di di Universitas Negeri Jakarta, 14 Juli 2022.
Setelah disahkan lewat Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 pada 9 September 2021, gaung Desain Besar Olahraga Nasional atau DBON nyaris tak terdengar. Implementasi program itu cenderung setengah hati, bahkan dianggap melenceng dari rencana awal. DBON berpotensi senasib program-program sebelumnya yang mati suri dan dihidupkan lagi dengan nama baru saat berganti tampuk kepemimpinan.
Bagi Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, DBON adalah jawaban untuk mengubah paradigma pembinaan olahraga nasional. Dia meyakini DBON ialah kunci Indonesia menembus lima besar Olimpiade dan Paralimpiade 2044, sebagai hadiah 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Melalui DBON, pemerintah ingin fokus kepada 17 cabang olahraga. Dua belas cabang dipertandingkan di Olimpiade, yakni bulu tangkis, angkat besi, panjat tebing, panahan, menembak, karate, taekwondo, balap sepeda, atletik, renang, dayung, dan senam artistik. Dua cabang diharapkan dipertandingkan di Olimpiade, yakni wushu dan pencak silat.
Tiga cabang ada di Olimpiade tetapi dipertimbangkan ke arah industri, yakni sepak bola, bola basket, dan bola voli. ”Sejak ada DBON, target kita mengejar prestasi tertinggi di Olimpiade/Paralimpiade. Adapun SEA Games dan Asian Games menjadi target antara,” jelas Zainudin.
CHRISTINA MUTIARANI JEINIFER SINADIA
Rapat Koordinasi Tingkat Menteri membahas Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), di Kantor Menko PMK, Jakarta, 19 Oktober 2022. Rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dihadiri Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali dan perwakilan dari sejumlah kementerian terkait.
Implementasi
Keberadaan DBON diperkuat UU No 11/2022 tentang Keolahragaan yang disahkan 16 Maret 2022. Namun, implementasi DBON baru dimulai dengan menyeleksi 799 calon atlet lulusan SD di empat perguruan tinggi pada Juli 2022, yakni Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Negeri Surabaya.
Implementasi bertajuk sentra latihan olahragawan muda potensial nasional (SLOMPN) itu baru mengakomodir sembilan cabang, yakni angkat besi, panjat tebing, panahan, menembak, taekwondo, sepeda BMX, atletik, renang, dan dayung. Sebanyak 112 atlet lolos dan direncanakan menjalani pelatihan serta pendidikan terpusat di empat perguruan tinggi itu mulai 27 Juli 2022.
Dari proses penjaringan atlet itu, bobrok DBON mulai terlihat. Selain jadwal pelatihan yang sempat tertunda ke 8 September 2022 dan membuat nasib atlet terkatung-katung, banyak kebijakan fundamental SLOMPN tidak sesuai kaidah pembinaan atlet belia.
SLOMPN meminta atlet memulai pendidikan dari kelas tujuh, termasuk yang sudah di kelas delapan dan sembilan. Di sisi lain, program berakhir pada 2028, bukan menuju 2044. Setelah itu, atlet dikembalikan ke daerah asal dan tidak jelas dibina siapa.
Ketua Tim Pakar DBON dan UU No 11/2022 Kemenpora Prof Dr Moch Asmawi menyadari ada kelemahan di tahap awal implementasi DBON. Namun, program tetap berjalan dengan pertimbangan bisa dibenahi sambil jalan.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Seorang anak mengikuti seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional pada cabang panjat tebing di Universitas Negeri Jakarta, 14 Juli 2022.
Kendati demikian, kesan pertama yang negatif membuat tak sedikit orangtua atlet mengurungkan niat melepas anaknya. ”Saya tidak mau berjudi untuk anak dalam program yang tidak jelas tersebut,” ujar salah seorang wali murid yang tidak mau disebutkan namanya.
Melenceng
Salah satu konseptor DBON sekaligus dosen Fakultas Pendidikan dan Kesehatan UPI, Dikdik Zafar Sidik yang dihubungi, Selasa (20/12), mengatakan, implementasi DBON telah melenceng dari cita-cita perancangnya. Hal itu yang menyebabkan Dikdik mundur dari program tersebut tak lama usai disahkan.
Di samping tidak semua potensi terbaik terpantau, atlet-atlet lulusan SD juga lebih baik dibina tak jauh dari orangtua mereka.
Tujuan utama DBON adalah memperluas jangkauan pemantauan dan pembibitan olahragawan pelajar SD dan SMP di kabupaten/kota. Selama ini, pembibitan daerah hanya dilakukan Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) di ibu kota provinsi. Merujuk laman satudata.kemenpora.go.id, PPLP dimulai 1984 untuk olahragawan SMP dan SMA di 34 provinsi.
DBON diharapkan membenahi sistem pembinaan, infrastruktur, kompetisi, dan perekrutan atlet, pelatih, maupun tenaga pendukung di kabupaten/kota yang muaranya ke provinsi hingga nasional. Dengan begitu, DBON sinkron dengan program yang sudah ada, seperti PPLP dan program kementerian/lembaga lain.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Seorang anak menikuti seleksi hari pertama sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Rabu (13/7/2022). Hari pertama seleksi menguji antropometri, kesehatan umum, serta biomotorik umum dan spesifik peserta.
Akan tetapi, implementasi yang dilakukan justru dengan menitipkan atlet ke empat perguruan tinggi. Selain tidak menjangkau semua daerah, pola itu tumpang tindih dengan PPLP. ”Di samping tidak semua potensi terbaik terpantau, atlet-atlet lulusan SD juga lebih baik dibina tak jauh dari orangtua mereka,” kata Dikdik.
Keanehan lain DBON tampak dari penyelenggaraan kejuaraan DBON di sejumlah daerah, seperti di Nusa Tenggara Barat pada akhir November dan di Solo, Jawa Tengah pada pertengahan Desember. Selain minim cabang yang dipertandingkan, rata-rata tiga-empat cabang, kejuaraan itu digelar di daerah yang tidak ada sentra pembinaan DBON. ”Itu kan tidak nyambung, apa yang mau dievaluasi?” tanya Dikdik.
Dikdik menuturkan, tidak ada yang istimewa dari implementasi DBON sehingga tak ubahnya program lain yang pernah ada. Sebelum lahir DBON, sedikitnya ada lima program pembenahan olahraga nasional, mulai dari Garuda Emas (1993-1999), Indonesia Bangkit (2004-2008), Program Atlet Andalan (2008-2010), Program Indonesia Emas (2010-2017), dan Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (2017-sekarang).
Semua program itu punya kesamaan dengan DBON, antara lain Garuda Emas yang memprioritaskan 16 cabang, Indonesia Bangkit (11 cabang), dan Program Atlet Andalan (22 cabang). Semua sama- sama gagal mencapai target.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Seorang anak mengikuti seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional pada cabang menembak di Universitas Negeri Jakarta, 14 Juli 2022.
Garuda Emas bercita-cita menjadikan Indonesia masuk empat besar Asian Games Busan 2002, tetapi nyatanya hanya bertengger di urutan ke-14. Indonesia Bangkit bermimpi membawa Indonesia meraih 10 emas di Asian Games Doha 2006 tetapi nyatanya hanya membawa pulang dua emas.
”Saya duga DBON akan senasib dengan program-program yang pernah ada, gagal mewujudkan target dan hilang begitu saja ketika pemimpin berganti,” tegas Dikdik.
Pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak menilai, implementasi DBON tidak dirancang dengan matang. Hal itu tampak dari belum adanya organisasi khusus untuk menjalankan program itu. ”Seleksi atlet kemarin hanya formalitas tetapi tidak jelas bagaimana kelanjutannya,” tutur Fritz.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia Utut Adianto menyampaikan, DBON patut dihargai sebagai bentuk niat baik Menpora yang ingin meninggalkan jejak dari periode kepemimpinanya. Namun, dari isinya, DBON baru sebatas cita-cita besar yang disangsikan bisa sukses dibanding program-program sebelumnya sekali pun.