Liuk Jebakan "Ground Effect"
Perubahan besar regulasi F1 mulai musim 2022 melemahkan kekuatan Mercedes yang mendominasi era mesin turbo hibrida. Lewis Hamilton pun tak kuasa membendung Max Verstappen dan Red Bull Racing yang merajai era baru F1.
Formula 1 musim 2022 awalnya diharapkan menjadi gelanggang persaingan tiga ujung tombak Red Bull, Mercedes, dan Ferrari. Namun, Max Verstappen melenggang mulus berkat kejelian Red Bull dalam menerjemahkan regulasi baru aerodinamika Formula 1. Sedangkan Lewis Hamilton terbelenggu oleh performa W13 yang masuk dalam jebakan ground effect, dan Charles Leclerc harus berkompromi dengan setelan mobil karena masalah keandalan mesin F1-75 serta kesalahan strategi.
Padahal, dalam tiga balapan pertama musim 2022, mobil baru Ferrari F1-75 sangat dominan. Leclerc pun memimpin perburuan gelar juara dengan kemenangan di Bahrain dan Austria, serta finis di posisi kedua di Arab Saudi. Pebalap asal Monaco itu meraih bonus poin dari lap tercepat dalam ketiga balapan itu. Leclecr pun unggul 46 poin atas Verstappen yang gagal finis di Bahrain dan Austria, serta sekali menang di Arab Saudi.
Masalah yang dihadapi oleh Red Bull di awal musim 2022 pada dasarnya bukan bawaan lahir RB18 akibat regulasi baru F1. Mobil yang dirancang oleh Adrian Newey–desainer F1 terbaik saat ini–tersebut, lebih pada setelan elektronik dan penataan jalur pipa hidrolik. Mesin Honda yang mulai musim 2022 ditangani oleh Red Bull Powertrains dengan dukungan penuh dari pabrikan Jepang itu, juga bekerja optimal.
Kendala di awal musim itu, cepat diatasi oleh Red Bull Racing. Selain itu, tim yang bermarkas di Milton Keynes, Inggris itu, juga mampu mengurangi bobot mobil yang berbuah manis sejak seri keempat di Imola. Gerak cepat Red Bull Racing itu menyempurnakan desain mobil RB18 yang 'sadar' pada jebakan konsep ground effect untuk mengail downforce (daya tekan ke bawah). Newey tidak mengubah besaran downforce dari mobil 2021, karena downforce besarlah biang porpoising (memantul-mantul saat kecepatan tinggi) dalam konsep ground effect.
Baca juga : Vettel Terinspirasi Kemewahan Waktu Bersama Orangtuanya
Konsep ground effect yang terakhir kali diterapkan pada 1982 itu, sangat dipahami oleh Newey. Desainer mobil yang kini berusia 63 tahun itu, semasa kuliah menjadikan ground effect sebagai topik risetnya. Dia mematangkan penerapan konsep itu saat bergabung dengan tim Fittipaldi pada 1980. Pengalaman empat dekade lalu itulah yang membuat Newey bisa membaca jebakan ground effect yang tidak muncul saat tes di lorong angin atau wind tunnel, serta tidak mungkin disimulasikan dengan perangkat lunak komputer. Newey memiliki metode sendiri untuk membaca gejala porpoising, dan itu yang membuah RB18 stabil dan seimbang.
Pengalaman yang dimiliki oleh Newey itu, tidak dimiliki oleh para insinyur di Mercedes dan Ferrari. Mobil kedua tim itupun masuk dalam jebakan ground effect yaitu mobil mengalami porpoising. Kondisi itu disebabkan oleh downforce yang terlalu besar melebihi kelenturan lantai mobil, sehingga pada satu titik downforce hilang, dan sekejap kemudian downforce kembali lagi.
Ferrari relatif cepat meminimalisir porpoising itu, tetapi Mercedes memerlukan waktu yang jauh lebih lama. Bahkan, sepanjang musim ini, Mercedes terus bereksperimen dengan paket-paket performa dan setelan mobil untuk keluar dari jebakan ground effect. Namun, Mercedes belum sepenuhnya menuntaskan masalah yang mereka hadapi, meskipun terus membaik. Lewis Hamilton dan George Russell pun hanya bisa mengandalkan kecocokan trek dengan karakter mobil untuk bisa meraih podium. Kerja keras Mercedes akhirnya berbuah kemenangan pertama Mercedes di Interlagos.
Namun, itu belum cukup, karena Mercedes yang dominan di era turbo hibrida, dengan meraih gelar juara konstruktor pada 2014-2021, kembali tertinggal dalam seri terakhir di Abu Dhabi. Hamilton menilai itu sebagai positif semu karena performa mobil bagus di satu sirkuit dan kemudian merosot di trek berikutnya.
Baca juga : Tantangan Besar Vasseur di Ferrari
Juara dunia tujuh kali F1 itu mengakhiri musim 2022 di posisi ke-6 dan untuk pertama kali dalam kariernya tidak memenangi satu pun balapan. Namun, Hamilton optimistis musim 2023 akan jauh lebih baik. "Tahun baru untuk menjadi lebih baik, tahun baru untuk didaki, terus berjuang dan lebih kompak lagi. Dan, itu kesempatan lain untuk bertarung meraih gelar juara dunia," tegas Hamilton seiring Mercedes menyalakan mesin mobil W14 untuk pertama kali pada 23 Desember lalu.
Russell yang mempersembahkan satu-satunya kemenangan bagi Mercedes pada 2022, juga optimistis W14 akan mampu bersaing meraih gelar juara pada 2023. Mercedes telah melakukan perubahan signifikan untuk membuat W14 memberikan kenangan manis.
Mereka tidak lupa cara membangun mobil balap yang kencang. Kami hanya salah menerjemahkan tahun ini. Kami salah memahami filosofinya. Kami menuju jalur yang kemudian ternyata rute yang salah.
"Mereka tidak lupa cara membangun mobil balap yang kencang. Kami hanya salah menerjemahkan tahun ini. Kami salah memahami filosofinya. Kami menuju jalur yang kemudian ternyata rute yang salah," ungkap Russell kepada BBC.
Mercedes membangun W13 dengan downforce besar yang kemudian membawa mereka ke dalam lubang jebakan porpoising. Mereka sulit menemukan solusi karena ruang penyetelan mobil sangat terbatas, terutama dengan desain suspensi bejarak main pendek.
Baca juga : Mattia Binotto Tinggalkan Scuderia Ferrari
"Kadang perlu waktu lama untuk mengelurkan diri Anda dari lubang. Sekarang saya merasa kami telah mengeluarkan diri kami dari lubang itu dan kami bisa terus mengatasi (masalah) itu," lanjut Russell.
"Kami selangkah di belakang Red Bull dan Ferrari dan kami harus mengejar banyak ketertinggalan, tetapi yang pasti kami akan berada di posisi yang jauh lebih kuat pada balapan pertama tahun depan dibandingkan tahun ini," tegas Russell.
Masalah yang dihadapi oleh Mercedes berbeda dengan yang dialami oleh Ferrari. Tim yang berpusat di Maranello, Italia itu, sebenarnya tidak terlalu bermasalah dengan porpoising, meskipun tidak sepenuhnya bebas dari bouncing (melambung). Masalah terbesar Ferrari adalah keandalan mesin yang mulai terlihat di Barcelona, saat Leclerc gagal finis padahal memimpin balapan dengan selisih waktu besar dengan Verstappen.
Sejak saat itu, Ferrari menurunkan setelan mesin, tetapi langkah itu membuat F1-75 sangat boros ban, terutama ban kompon medium. Kompromi setelan mesin itu membuat Ferrari merancang banyak pilihan strategi untuk memenangi balapan. Namun, yang terjadi adalah sejumlah kesalahan taktik yang merusak peluang Leclerc meraih kemenangan.
Ferrari pun kehilangan peluang meraih gelar juara konstruktor, dan Leclerc sudah pupus harapan juara sejak memasuki paruh kedua musim 2022. Ujung dari kendala Ferrari itu adalah keputusan Mattia Binotto mundur dari posisinya sebagai kepala tim Kuda Jingkrak. Binotto digantikan oleh Frederic Vasseur yang sebelumnya memimpin Alfa Romeo-Sauber. Vasseur diharapkan membenahi organisasi tim Ferrari supaya bisa bekerja dengan minim kesalahan. Dia juga diberi kewenangan mengawasi pengembangan mesin yang akan diluncurkan pada 14 Februari 2023. Pengembangan mobil baru dengan nama proyek 675 itu diharapkan memiliki mesin yang andal untuk mengembalikan Ferrari ke puncak F1.
Baca juga : Hamilton dan Verstappen Kembali ke "Titik Nol"
Ferrari dan Mercedes berusaha mengejar ketertinggalan dari Red Bull yang sangat dominan pada 2022. Pebalap andalan mereka, Max Verstappen, bahkan mengunci gelar juara saat balapan menyisakan empat seri. Dominasi Verstappen juga dikuatkan dengan rekor poin terbanyak 454 poin, serta rekor baru 15 kemenangan dalam 22 balapan.
Verstappen pun menjadi pebalap ke-11 yang mampu mempertahankan gelar juara setelah Alberto Ascari, Juan-Manuel Fangio, Jack Brabham, Alain Prost, Ayrton Senna, Michael Schumacher, Mika Hakkinen, Fernando Alonso, Sebastian Vettel dan Lewis Hamilton.
Verstappen mengisi kepingan yang hilang dari Red Bull yang menantikan gelar juara begitu lama. Tim yang dimiliki perusahaan minuman energi asal Austria itu, pernah berjaya pada 2010-2013 saat pebalap mereka, Sebastian Vettel, juara empat kali beruntun.
Red Bull yang menggunakan mesin Honda dibawah bendera Red Bull Powertrain, kini berjaya bersama Verstappen. Namun, dominasi Red Bull untuk tahun depan masih tanda tanya, karena sanksi pengurangan pengujian di lorong angin, menyusul pelanggaran batas anggaran pada 2021. Sanksi itu berpotensi menghambat pengembangan mobil baru Red Bull.
Baca juga : Momentum Kebangkitan Tim "Panah Perak"
Kondisi ini membuka peluang persaingan musim 2023 jauh lebih ketat, karena Mercedes dan Ferrari akan semakin kompetitif. Saat performa mobil Red Bull, Ferrari, dan Mercedes setara, kemampuan pebalap yang akan menjadi penentu hasil balapan. Persaingan panas antara Verstappen dan Hamilton seperti pada musim 2021, berpotensi besar terulang.