Argentina vs Perancis, "Endgame" Messi versus "Monster" Mbappe
Duel Argentina versus Perancis di final Piala Dunia Qatar adalah pertarungan dua pesepak bola terhebat berbeda generasi, Messi dan Mbappe. Messi telah berevolusi, menjelma "fantasista", untuk membalas cibiran Mbappe.
- Lionel Messi berkesempatan melakukan revans atas Kylian Mbappe setelah kekalahan Argentina dari Perancis pada babak 16 besar Rusia 2018. Ketika itu, Mbappe mulai menunjukkan "sihirnya" yang lebih menakutkan ketimbang Messi.
- Messi dan Mbappe adalah dua pemain paling menonjol di Qatar. Mereka sejajar di puncak daftar pencetak gol tersubur dengan lima gol. Tiada pemain lainnya yang menandingi mereka.
- Messi tampil berbeda di Qatar. Ia menjelma fantasista, istilah yang dulu disematkan banyak legenda hebat, inspirator, seperti Michel Platini, Roberto Baggio, Zinedine Zidane, dan Diego Maradona.
Penggemar Argentina tidak akan pernah melupakan tragedi di Kazan, Rusia, empat setengah tahun silam. Pada laga babak 16 besar, tim kesayangan mereka, “La Albiceleste”, tersungkur di lapangan Kazan yang angker, medan tempur yang sama tempat gugurnya juara bertahan Piala Dunia, pasukan Jerman asuhan Joachim Loew.
Padahal, Argentina datang ke Kazan dengan harapan tinggi, yaitu menjadi juara setelah dibuat patah hati Jerman di final Brasil 2014. Mereka dipimpin megabintangnya, Lionel Messi, yang berada pada usia matangnya sebagai pesepak bola. Tim “Tango” juga diasuh pelatih bertangan besi yang sangat kaya pengalaman dan membawa Cile juara Copa America 2015, Jorge Sampaoli.
Mimpi itu dibuyarkan Perancis, tim yang tampil kurang meyakinkan di penyisihan grup Rusia 2018. Argentina takluk, 3-4. Saat itu, sorotan kamera maupun 42.873 pasang mata di Arena Kazan tertuju pada dua pemain yang menunjukkan hal kontras, Messi dan Kylian Mbappe (Perancis).
Baca juga : Final Argentina versus Perancis, Jangan Terempas karena Cinta
Messi nyaris tenggelam, tidak terlihat, di laga itu. Magisnya hilang ditelan Mbappe yang notabene saat itu hanyalah remaja debutan di Piala Dunia. Usianya baru 19 tahun. Namun, ia telah membuat barisan bek kaya pengalaman Argentina, seperti Nicolas Otamendi dan Marcos Rojo, kocar-kacir.
Rojo sampai kehilangan akal untuk menghentikan Mbappe yang tampil eksplosif dengan akselerasi mengagumkan. Laga baru berjalan sepuluh menit, striker baru Paris Saint-Germain itu dijatuhkan oleh Rojo di kotak penalti dan Antoine Griezmann sukses mengeksekusi kans itu. Inilah awal petaka Argentina sekaligus “salam inaugurasi” Mbappe kepada dunia.
Sulit bagi siapa pun yang ada di stadion itu, termasuk saya yang berada di tribune jurnalis, untuk tak mengakui potensi dan kehebatan Mbappe. Ia mampu melewati satu, bahkan tiga, pemain belakang dengan mudah lewat teknikdribling yang menyamai Messi. Kecepatan dan akurasi tembakannya menjadi momok bagi siapa pun, dibuktikan lewat dua golnya ke gawang Franco Armani pada laga itu.
Menyamai Pele
Megabintang baru telah lahir, gumam saya saat itu. Ia langsung menyamai legenda, pemain terbaik dunia abad ke-20, Pele. Hanya dua orang itu di muka bumi yang mampu membuat brace di Piala Dunia saat masih remaja. Pele juga melakukannya saat masih berusia 17 tahun, yaitu ketika Brasil mengalahkan tuan rumah Swedia di 1958. Saat itu, Pele membawa Brasil juara.
Saya memimpikan segalanya, tidak punya batas. Sekarang saatnya (era) generasi baru. (Cristiano) Ronaldo, Messi, Anda akan tamat. (Kylian Mbappe)
Just Fontaine, pemain Perancis, boleh saja mendominasi saat itu dengan torehan menakjubkan, 13 gol. Namun, publik mulai mengenal Pele yang lantas mengubah wajah sepak bola dunia pada tahun-tahun berikutnya. Seperti halnya Pele, Mbappe juga membawa “Les Bleus” juara. Ia bahkan turut menyumbang gol pada final 2018 melawan Kroasia.
“Kylian masih 19 tahun. Masih banyak waktu baginya untuk berkembang di masa depan. Saya sangat senang ia warga Perancis, bukan negara lainnya,” ujar Pelatih Perancis Didier Deschamps di jumpa pers seusai laga versus Argentina di Kazan.
Kontras dengan Mbappe yang dielu-elukan dan mulai mendapatkan tempat di hati pendukung Les Bleus saat itu, Messi hanya menatap nanar ke langit. Sekali lagi, kesempatannya meraih trofi yang paling didambanya sirna. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, termasuk saat saya dan para jurnalis dari berbagai penjuru dunia berusaha mewawancarainya di mixed zone Arena Kazan.
Bak Captain America
Messi sungguh terpukul, persis akhir film Avengers: Invinity War memilukan yang ditayangkan di tahun yang sama. Sang kapten Argentina bak Steven Rogers, Captain America, yang menyaksikan sahabat-sahabatnya, macam Bucky Barnes, Doctor Strange, dan Wanda Maximoff, musnah begitu saja menyusul jentikan jari Thanos, makhluk ekstraterestrial yang sangat kuat.
“Saya memimpikan segalanya, tidak punya batas. Sekarang saatnya (era) generasi baru. (Cristiano) Ronaldo, Messi, Anda akan tamat,” ungkap Mbappe dalam wawancara dengan The New York Times pada September lalu memperingatkan Messi, rekan setimnya di PSG.
Baca juga : Argentina-Perancis Meniti Jalan Keabadian di Lusail
Maka, bisa dibayangkan nanti bagaimana motivasi Messi ketika membawa generasi baru Argentina, yang tak lagi diperkuat Javier Mascherano, Rojo, Enzo Perez, Ever Banega, Sergio “Kun” Aguero, dan Christian Pavon, tampil menghadapi Perancis dan Mbappe di final Piala Dunia Qatar. Inilah peluang terbaik Messi untuk revans dan membuktikan ia belum tamat.
Bukan hanya mempertaruhkan gelar juara dunia, final nanti juga mempertaruhkan status pemain terbaik berbeda generasi sekaligus trofi Bola Emas (pemain terbaik Piala Dunia) dan bisa jadi Ballon d'Or. Messi dan Mbappe adalah dua pemain paling menonjol di Qatar. Mereka sejajar di puncak daftar pencetak gol tersubur di Qatar dengan torehan lima gol. Tidak ada pemain lain yang menandingi mereka.
Namun, Messi sedikit lebih baik dalam hal koleksi asis. Tiga asisnya berbanding dua milik Mbappe. Dalam hal kreasi serangan, “Si Kutu” juga lebih unggul, yaitu rata-rata 3 operan kunci berbanding 1,8 milik Mbappe. Begitu pula soal tembakan. Messi unggul, 4,5 : 4,2 per laga, ketimbang Mbappe. Namun, atribut lainnya dimenangkan Mbappe, yaitu dalam hal dribel (3,5 : 2,5 per laga) dan umpan silang (0,8 : 0,7 per laga).
Lebih matang
Data statistik itu menunjukkan, Messi sangat dominan di Argentina, meskipun usianya kini tak lagi muda, 35 tahun. Kegagalan di Rusia, khususnya tragedi Kazan, memaksa “La Pulga” menciptakan versi berbeda yang lebih baik dari dirinya, sebelumnya. Ia jauh lebih matang dan dewasa. Ia tak lagi merasa paling diistimewakan, menjadi andalan gol, dan senantiasa lebih baik dari rekan-rekan setimnya. Kedewasaan serupa ditunjukkan Rogers yang tidak lagi merasa menjadi “pemimpin tunggal” di Avengers seusai tragedi Invinity War.
Baca juga : Mbappe, Griezmann, dan Messi Berebut Bola Emas Hingga Akhir Laga Piala Dunia
Di Rusia, Messi sempat dikritik media Argentina karena dianggap terlalu “mengatur”, bahkan soal taktik tim. Bahkan, ia sempat disebut “pelatih bayangan” Argentina. Namun, tentu saja, tuduhan itu ia bantah, termasuk oleh Sampaoli, saat itu. Bagi pemain sebesar Messi, yang dijuluki salah satu the greatest off all time, target juara Piala Dunia memang menjadi beban. Itulah satu-satunya trofi yang belum ia raih dari 38 piala yang dikoleksinya dalam 19 tahun karier profesionalnya.
Tak pelak, Messi tampil berbeda di Qatar. Ia tidak lagi menjadi ujung tombak serangan, melainkan dirigennya. Ia menjelma fantasista, istilah yang dulu disematkan banyak legenda hebat, inspirator, di tim, seperti Michel Platini, Roberto Baggio, Zinedine Zidane, dan tentunya Diego Maradona yang menjadi kebanggaan Argentina.
"Fantasista"
Seorang fantasista tidak hanya mampu memecahkan kebuntuan tim melalui sentuhan magis serta pergerakan antarlini berujung gol seperti Maradona saat membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986. Fantasista, yang diambil dari kata "fantasy", juga harus memiliki skill yang cemerlang dan visi bermain jernih seperti Zidane ketika membawa Perancis menjadi juara dunia di negaranya sendiri, 1998 silam.
Pimpinan orkestra (Argentina) adalah Messi. Tarian mereka dimulai saat Messi memegang bola. Dia tidak pernah begitu cepat, tapi dia lah pakarnya gerakan mengganti arah dan kecepatan. Itu telah ia temukan lagi di Qatar. (Arsene Wenger)
Perpaduan kualitas itu ditunjukkan Messi di Qatar, antara lain saat mendobrak pertahanan Meksiko lewat gol tendangan jarak jauh di luar kotak penalti yang bak sihir. Gol itu mengangkat kepercayaan diri tim “Tango” yang sempat terpuruk seusai dijungkalkan Arab Saudi. Berkat kejeliannya dalam membaca permainan lawan, ia mampu mengirimkan operan kunci akurat antarlini yang antara lain berujung gol bek sayap, Nahuel Molina, pada laga perempat final melawan Belanda.
Jika dulu pergerakannya mayoritas berada di kotak penalti atau sisi kiri pertahanan lawan, di Qatar, Messi lebih banyak menjelajah dan menjadi penguasa di wilayah dua pertiga area pertahanan lawan, khususnya di luar kotak penalti. Pergerakan “stop and go” (berhenti dan berakselerasi) Messi sangat ditakuti lawan-lawannya karena sulit menerka apa yang akan ia lakukan atau bola dioper ke mana.
Karakter bermain seperti itu mirip yang dilakukan Maradona di Meksiko 1986. Sang legenda lebih sering bergerak di areal yang sama dengan Messi di Qatar. Bukan kebetulan pula, seperti dilansir Opta, kedua pemain itu adalah yang paling banyak menciptakan asis di Piala Dunia, yaitu delapan asis. Dari lima edisi Piala Dunia yang diikutinya, nyaris separuh atau tepatnya tiga asis dibuat Messi di Qatar.
Messi pun bisa mengukir rekor baru jika membuat satu gol atau asis di final nanti. Ia telah terlibat atau mengkerasikan total 19 gol (11 gol, 8 asis) untuk Argentina di Piala Dunia. Angka itu setara Miroslav Klose (16 gol, 3 asis) dan Ronaldo Nazario (15 gol, 4 asis). Messi adalah nyawa sejati dari Argentina. Sebanyak 45 kreasi serangan (tembakan maupun operan kunci) yang dibuatnya di Qatar adalah mencakup 56,3 persen yang dibuat Argentina secara keseluruhan.
Dominasi di Argentina
Tiada pemain lain yang begitu dominan untuk Argentina, selain Maradona. Menakjubkannya, Opta mencatat, persentase kreasi serangan pemilik “Gol Tangan Tuhan” itu di Piala Dunia 1986 identik dengan yang dilakukan Messi di Qatar. Apakah ini sebuah pertanda, seperti dikatakan Karl Marx, l'histoire se repete (sejarah berulang dengan sendirinya)?
Baca juga : Peraduan Paras Pragmatis Scaloni dan Deschamps
Jadi, benar apa yang dikatakan Lionel Scaloni seusai diangkat menjadi pelatih baru Argentina untuk menggantikan Sampaoli, November 2018 silam. Ia membujuk Messi, yang patah hati seusai gagal di Rusia, untuk kembali ke skuad tim Tango. Ketika itu, muncul kabar ia akan pensiun dini untuk kali kedua dari tim Tango. Scaloni berjanji akan membangun tim yang lebih solid dengan bertumpu pada Messi.
Janji itu terbukti. Tim baru Argentina asuhan Scaloni sempat menjalani 36 laga tak terkalahkan, sebelum dikalahkan Saudi. Pada perjalanan ke Qatar, Argentina meraih Copa America 2021, seusai mengalahkan seteru abadinya, Brasil, di Maracana, kuil sepak bola kebanggaan tim "Samba". Mereka juga meraih trofi Finalissima 2022 mengalahkan Italia, juara Eropa 2020 pemilik rekor 37 kemenangan beruntun. Argentina yang kuat telah kembali.
“Pimpinan orkestra (Argentina) adalah Messi. Tarian mereka dimulai saat Messi memegang bola. Dia tidak pernah begitu cepat, tapi dia lah pakarnya gerakan mengganti arah dan kecepatan. Itu telah ia temukan lagi di Qatar,” ujar mantan manajer Arsenal, Arsene Wenger, di Qatar.
Publik pun kini menanti tarian terakhir Messi, yang sebelumnya sudah menegaskan Qatar menjadi Piala Dunia terakhirnya. Inilah Endgame, seperti sekuel Avengers pada 2019 silam. Messi, yang didukung luar biasa oleh rekan-rekan setimnya, hanya butuh satu lagi rintangan terbesarnya, yaitu Mbappe dan kawan-kawan, untuk meraih Piala Dunia dan melengkapi kariernya yang fenomenal.
Baca juga : Laporan, Analisa, dan Data Eksklusif Piala Dunia Qatar
Penggemar Argentina tentu berharap alur cerita Messi di Qatar seperti Rogers yang lantas memilih pensiun dengan tenang seusai mengalahkan Thanos dan memberikan tongkat estafet kepada Julian Alvarez. Namun, sepak bola kadang tak seindah film. Sangat mungkin Mbappe yang akhirnya bakal tertawa dan menancapkan tonggak hegemoninya sekaligus menyamai Pele dengan torehan dua trofi Piala Dunia beruntun.
Maka, kisah epik, pengorbanan, perjuangan, dan pertempuran sengit yang tentunya dibalut nuansa sentimentil, bakal tersaji di final nanti. Inilah final ideal dan paling spektakuler di abad ke-21...