Berjalan kaki adalah satu kebiasaan baru sebagian jurnalis Indonesia selama meliput laga Piala Dunia di Qatar. Meski awalnya berat, perlahan manfaatnya terasa bagi tubuh yang jarang berolahraga.
Oleh
M Yuniadhi Agung dari Doha, Qatar
·4 menit baca
Perjalanan Piala Dunia 2022 sebentar lagi bakal berada di muara. Minggu (18/12/2022) malam, Argentina dan Perancis akan berlaga di laga puncak di Stadion Lusail, Qatar. Bagi wartawan Indonesia yang meliput perhelatan sepak bola terbesar di bumi itu, kebiasaan berjalan kaki menjadi salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik bila kembali ke Tanah Air kelak.
Menjelang Piala Dunia, Qatar tidak hanya membangun banyak stadion baru. Mereka juga getol membangun infrastruktur transportasi massal. Salah satu yang menonjol adalah Metro, moda transportasi kereta. Keberadaannya melengkapi bus umum di Doha. Setidaknya ada tiga jalur Metro yang dibuat, yaitu merah, hijau, dan emas.
Hasilnya menggembirakan. Metro menjadi transportasi paling efektif menuju stadion-stadion yang menggelar pertandingan Piala Dunia. Lima dari delapan stadion di Qatar berada dekat stasiun Metro.
Tiga stadion lainnya, yaitu Al Bayt, Al Thumama, dan Al Janoub, masih memerlukan bus pengumpan dari stasiun Metro terdekat. Namun, hal itu masih lebih ideal ketimbang menggunakan mobil pribadi. Selama Piala Dunia, tidak mudah mencari lahan parkir di sekitar stadion.
Hanya saja, bisa dicapai dari stasiun Metro, bukan berarti calon penonton bisa langsung tiba di stadion. Pihak penyelenggara telah mengatur rute pejalan kaki dari stasiun Metro menuju pintu masuk stadion.
Bangunan stadion yang sudah ada di depan mata harus ditempuh dengan jalan berkelok-kelok. Ada barikade di kanan kiri untuk mengendalikan alur penonton menuju stadion. Nekat melompati pagar pembatas untuk memotong rute, bakal berujung teguran relawan di sepanjang rute masuk ke stadion.
Dengan penataan itu, jaraknya yang harus ditempuh calon penonton tidak pendek. Calon penonton rata-rata harus berjalan kaki sekitar 1 kilometer dari stasiun Metro hingga pintu masuk. Sejauh ini, metode itu efektif. Belum tercatat ada laporan kekacauan di sekitar pintu masuk stadion.
Program jalan kaki
Seperti banyak orang yang hendak menyaksikan laga, saya dan wartawan Kompas M Ikhsan Mahar, juga memilih menggunakan angkutan umum selama meliput Piala Dunia. Dengan gambaran di atas, konsekuensinya kami harus banyak berjalan kaki untuk masuk ke dalam stadion.
"Cocok dengan rencana pribadi yang lama tertunda, rutin jalan kaki," pikir saya.
Demi akses angkutan umum terbaik, sejak awal kami sepakat menyewa apartemen yang bisa dijangkau dari stasiun Metro. Jarak apartemen kami dengan stasiun Metro terdekat, Oqba Ibn Nafie, sekitar 700 meter. Namun, jarak itu bukan satu-satunya rute yang kami tempuh setiap hari. Rutenya dapat lebih panjang bila harus berburu keperluan atau liputan di luar pertandingan.
Ujian sudah kami dapatkan sejak hari pertama tiba di Qatar, Selasa (15/11/2022). Kami harus berjalan kaki kurang lebih dua kilometer. Rutenya, pintu keluar Stasiun Metro Qatar National Library menuju tempat pengurusan akreditasi peliputan Piala Dunia.
Hal itu sangat menguras tenaga. Tubuh dipaksa beradaptasi dengan cepat di tengah panas terik Qatar.
Tantangan lantas berlanjut pada pekan pertama liputan. Saya kewalahan berjalan kaki. Selain jarang olahraga dan melawan panas Qatar, beban barang yang dibawa tidak ringan.
Untuk memotret pertandingan, saya membawa dua bodi kamera, empat lensa, dan laptop. Semua dibawa dalam satu tas punggung dan satu troli. Bila ditotal, beratnya kurang lebih 15 kilogram.
Akan tetapi, saya ternyata tidak kepayahan sendirian. Beberapa jurnalis asal Indonesia lainnya juga merasakan hal serupa. Saat berjumpa di sebuah acara, saya melihat banyak wajah yang kelelahan.
"Saya di Indonesia hampir tiap hari olahraga jalan kali, tapi ini capek banget. Betis pegal," tutur Satya Pandia, jurnalis televisi.
Untuk meredakan kaki yang kelelahan, para jurnalis memiliki amunisi serupa, mengandalkan balsam pereda nyeri otot. Pertolongan pertama itu terbilang efektif. Otot kaki menjadi lebih rileks dan siap untuk diajak jalan di hari berikutnya.
Beruntung, semuanya mulai berubah saat pekan kedua meliput di Qatar. Kaki sudah mulai berkompromi dengan suasana Timur Tengah. Pegal mulai jarang terasa meski kram ringan sesekali masih menganggu.
Pada ujungnya, dinamika berjalan kaki di Qatar harus diakui memberikan manfaat untuk saya. Lebih dari sebulan melakukan aktivitas itu, membuat badan terasa lebih enteng. Bisa jadi, hal itu disebabkan terbakarnya lemak di tubuh karena berjalan kaki. Kalau sudah begini, tidak sabar ingin segera menimbang badan saat kembali ke Tanah Air...