Legenda sepak bola Pele pernah diejek karena memprediksi tim Afrika akan menjuarai Piala Dunia 2000-an. Namun, di Piala Duna 2022, Maroko membuktikan bahwa mimpi Pele bisa menjadi kenyataan suatu hari nanti.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
Maroko memang kalah 0-2 dari Perancis pada semifinal Piala Dunia Qatar 2022 di Stadion Al Bayt, Al Khor, Kamis (15/12/2022), tetapi mereka menang di hati penggemar sepak bola dunia. Kegagalan mereka ke final tidak diiringi tangis kesedihan, tetapi haru kebanggaan.
”Singa Atlas” telah menjejakkan inspirasi untuk tim dunia ketiga mengubah peta persaingan yang selama ini dikuasai kekuatan tradisional asal Eropa dan Amerika Latin.
”Kami memberikan segalanya, itu yang paling penting. Para pemain berjuang sampai menit terakhir. Kami memberikan citra yang baik, menunjukkan kepada dunia bahwa sepak bola kami ada dan kami memiliki pendukung yang luar biasa,” ujar Pelatih Maroko Walid Regragui yang memuji upaya timnya seusai laga menghadapi Perancis.
Setelah wasit asal Meksiko Cesar Ramos meniupkan pluit akhir tanda laga berakhir, Regragui menghampiri dan memeluk Pelatih Perancis Didier Deschamps yang membawa ”Les Bleus” ke final Piala Dunia kedua berturut. Kemudian, Regragui mengumpulkan para pemain dan ofisial di tengah lapangan.
Setelah memberikan pidato singkat, Regragui membimbing timnya ke arah tribune di belakang salah satu gawang. Di tribune itu, kerumunan penonton dengan atribut kaus merah dan mengusung bendera Maroko menanti penuh antusias. Para pemain Maroko memberikan tepuk tangan dan lambaian tangan kepada para penonton itu sebelum melakukan sujud syukur berjemaah.
Momen penuh khidmat itu disambut teriakan terima kasih oleh para penonton. Walaupun operator stadion memainkan musik ”Freed from Desire” dari Gala Rizzatto dan ”I will Survive” dari Gloria Gaynor yang berirama mengentak, itu tidak merusak suasana khusyuk antara skuad Maroko dan pendukungnya.
Mereka membawa kegembiraan untuk warga Maroko dan membuat nama negara ini bergaung selama Piala Dunia.
Perdana Menteri Maroko Aziz Akhannouch yang menonton laga Maroko versus Perancis bersama Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden seusai Konferensi Tingkat Tinggi Amerika Serikat-Afrika di Washington, Rabu, menyebut skuad Maroko sebagai pahlawan nasional. ”Mereka membawa kegembiraan untuk warga Maroko dan membuat nama negara ini bergaung selama Piala Dunia,” ujarnya.
Perjalanan Maroko bak sebuah dongeng. Betapa tidak, pada Piala Dunia Rusia 2018, mereka tersingkir dari penyisihan grup. Akan tetapi, empat tahun berselang, performa mereka berubah drastis seolah membalikkan telapak tangan.
Maroko lolos ke fase gugur Piala Dunia 2022, salah satunya dengan menang 2-0 atas Belgia yang bertabur bintang. Keajaiban itu berlanjut saat mereka menyisihkan dua raksasa Eropa, yakni menang adu penalti 3-0 (0-0) atas Spanyol di 16 besar dan menang 1-0 atas Portugal di perempat final.
Bukan hanya orang Maroko, penggemar dari Afrika dan negara-negara lain juga menyuarakan kebanggaan atas prestasi ”negeri magribi” tersebut. ”Saya tidak kecewa sama sekali. Maroko sudah bekerja keras,” ujar Michael Fogang, pencuci mobil di Yaounde, ibu kota Kamerun.
Bahkan, Perancis menaruh rasa hormat kepada Maroko di tengah hubungan diplomatik kedua negara yang kurang sedap terkait Sahara Barat. Adapun Perancis adalah penguasa kolonial Maroko selama 1912-1956.
”Kepada teman-teman Maroko kami, selamat atas perjalanan indah ini. Anda membuat sejarah sepak bola,” tulis Presiden Perancis Emmanuel Macron dalam akun Twitter resminya sehabis laga yang disaksikannya langsung di stadion tersebut.
Belum berakhir
Secara teknis, perjalanan Maroko untuk melanjutkan dongeng besar di Piala Dunia mungkin telah berakhir meskipun menyisakan laga perebutan tempat ketiga melawan Kroasia di Stadion Internasional Khalifa, Doha, Sabtu (17/12/2022). Namun, secara teknis, kisah Maroko belum berhenti.
Banyak yang menilai, itu baru awal dari petualangan Maroko yang lebih panjang. Setidaknya, mereka sudah memulai tatanan baru sepak bola dunia. Mereka membangun harapan untuk membalikkan hegemoni Piala Dunia yang hampir seabad dikuasai tim-tim ”darah biru” dari Eropa dan Amerika Latin.
Sejak edisi perdana Piala Dunia di Uruguay 1930, cuma delapan negara dari Eropa dan Amerika Latin yang menjuarai ajang empat tahunan tersebut. Dari 88 tim yang mencapai semifinal dalam 22 edisi Piala Dunia, Maroko menjadi negara Afrika dan tim Arab pertama, serta negara mayoritas Islam kedua sesudah Turki pada Piala Dunia Korea Selatan-Jepang 2002 yang menembus semifinal.
Secara keseluruhan, Maroko menjadi negara ketiga di luar Eropa dan Amerika Latin yang lolos ke semifinal Piala Dunia setelah AS pada 1930 dan Korsel pada 2002. ”Terima kasih telah membuat kami bermimpi,” kata Lamia Mssedi, perempuan penonton laga Maroko dan Perancis di Tunisia, sesama negara Afrika Utara.
Maroko dianggap sebagai tim yang memberikan perlawanan paling luhur kepada tim-tim elite dunia. Mereka melakukannya dalam sepak bola modern dan di luar negaranya. Sementara itu, AS mencetak prestasi ketika sepak bola belum berkembang dengan merata. Korsel mengukir sejarah di negara sendiri yang penuh dengan unsur kontroversial.
Regragui mampu menyatukan tim yang sempat terpecah oleh sikap keras pelatih sebelumnya, Vahid Halilhodzic, dan mengoptimalkannya menjadi skuad yang kompak serta disiplin. Maroko memainkan sepak bola yang solid dengan cara transisi bertahan ke menyerang yang baik, umpan-umpan berpresisi tinggi, dan skill individu fenomenal dari sejumlah pemainnya.
Untuk mewujudkan tim yang bermain melebihi batas kemampuannya, Regragui tak hanya berpikir secara teknis, tetapi pula psikologis. Itu tampak dari kebijakan pelatih kelahiran Perancis itu menghadirkan kerabat para pemain ke Qatar, mulai dari istri, pacar, hingga orangtua.
”Anda tidak bisa memenangi Piala Dunia dengan keajaiban. Anda harus melakukannya melalui kerja keras dan itulah yang akan kami lakukan,” ungkap Regragui dilansir ESPN, Kamis.
Tak dimungkiri, kesuksesan Maroko pun dipengaruhi oleh kualitas para pemain yang sebagian besar menimba ilmu dari Eropa. Paling tidak, 14 orang dari 26 pemain Maroko di Piala Dunia ini lahir di luar negeri dan menjalani pembinaan sepak bola di luar negeri. Akan tetapi, di dalam negeri, Maroko tidak tinggal diam.
Sejak 2009, Federasi Sepak Bola Maroko (FRMF) membuka Akademi Sepak Bola Mohammed VI dengan fasilitas canggih berkiblat dari Perancis dan Inggris untuk mengembangkan generasi pesepak bola masa depan berkualitas. Pelan tetapi pasti, Maroko menapaki prestasi dari level klub ataupun timnas.
Itu ditandai dengan keberhasilan Maroko mengangkat trofi Kejuaraan Afrika beruntun pada 2018 dan 2020. Kejuaraan itu merupakan kompetisi kontinental Afrika yang dihelat perdana pada 2009, berbeda dengan Piala Afrika yang bergulir sejak 1957.
Hal itu menandakan bahwa prestasi Maroko di Piala Dunia 2022 tidak terjadi secara kebetulan. Boleh jadi, Maroko dan tim dunia ketiga lainnya tidak bisa memutus hegemoni kekuatan tradisional begitu saja dalam waktu singkat. Namun, Maroko sudah menancapkan fondasi yang mempersempit kesenjangan dengan tim-tim elite tersebut.
”Untuk mencapai level yang sangat, sangat tinggi, untuk memenangi Piala Dunia, kami masih harus bekerja, tetapi kami tidak terlalu jauh lagi,” kata Regragui.
Legenda sepak bola dunia asal Brasil Pele pernah diejek karena memprediksi tim Afrika akan menjuarai Piala Dunia pada 2000-an. Prediksi itu dinilai sebagai angan-angan belaka dan cenderung berunsur fantasi serta kebodohan. Namun, di Piala Dunia kali ini, Maroko membuktikan mimpi Pele bisa menjadi kenyataan suatu hari nanti. (AFP/REUTERS)