Hati adalah kata kunci yang dihidupi kesebelasan Maroko. Dengan kekuatan hati itu, Maroko melanjutkan mimpinya di dunia sepak bola.
Oleh
SINDHUNATA, wartawan
·5 menit baca
Di tengah gegap gempita kemenangan Maroko atas Portugal, Walid Regragui menyelinap pergi. Ia menjumpai Fatima, ibunya yang berkerudung putih. Fatima memeluk anaknya, mencium pipi, dan dahinya. Tak ada orang tahu apa kata-kata mereka. Namun, siapa pun tahu, itulah peristiwa hati di luar bola. Dengan hati macam itulah Maroko bisa melanjutkan mimpinya di dunia bola.
Hati adalah kata kunci yang dihidupi kesebelasan Maroko. Maroko bukan kesebelasan besar dan unggulan. ”Justru karena kami bukan kesebelasan besar, kami harus bermain dengan hati kami,” kata Regragui. Dan bagi Rigragui, hati itu tak lain tak bukan adalah hati Maroko.
Regragui lahir di Perancis. Sebanyak 14 pemain Maroko juga lahir di luar Maroko. Tetapi, betapa pun, asal usul mereka adalah Maroko. Mereka mengalami, darah Maroko semakin mengalir di hati mereka, justru karena mereka tidak hidup di Maroko. Ibaratnya, tanah perantauan justru memanggil mereka untuk pulang. Jika demikian, tak mungkin secara lahiriah mereka pulang ke tanah Maroko. Mereka hanya bisa secara batiniah pulang ke lubuk hati Maroko.
Kata Regragui, ”Saya lahir di Perancis, tetapi tak seorang pun bisa merebut hati Maroko saya.” Dengan keras Regragui berusaha, agar para pemain menemukan kembali hati Maroko-nya. Waktu mengambil alih kepelatihan Maroko, Regragui banyak dikecam kenapa kader kesebelasannya tidak diambil dari pemain-pemain asli Maroko?
Regragui menolak pandangan picik itu. Baginya tidaklah benar, siapa bermain untuk Maroko harus lahir di Maroko. Untuk itu, ia memanggil 14 pemain berdarah Maroko walau tidak lahir di Maroko. ”Saya tidak bekerja atas dasar asal usul, tetapi atas dasar kompetensi,” tegasnya.
Pilihan ini jelas modernis karena bertolak dari visi diversitas, bukan keseragaman yang sempit. Diversitas ini menguntungkan. Karena para pemain Maroko menyumbangkan dirinya sesuai pengalaman yang berbeda-beda, ketika mereka bermain di klub-klub terkenal Eropa.
Dengan pilihan diversitasnya itu, Regragui hendak menunjukkan kepada dunia, bahwa ”setiap orang Maroko adalah orang Maroko”. Maksudnya, di mana pun ia lahir dan berada, asal dia berdarah Maroko, dia adalah orang Maroko. Dan siapa berdarah Maroko, dia pasti mempunyai hati Maroko.
Hati itulah yang membuat Regragui yakin, pemain Maroko pasti akan saling mengerti dan bisa memberikan 100 persen dirinya bila mereka bermain. ”Kedalaman diri kami adalah Marokonis. Itu kami miliki bersama. Tak ada yang berhaluan lain. Masing-masing berbicara dalam tiga bahasa, tetapi satu sama lain bisa saling mengerti,” tutur Regragui. ”Kami telah membuat kesebelasan ini sebuah keluarga. Siapa yang bermain untuk kesebelasan nasional, dia siap berjuang dan mati untuk Maroko,” tambahnya.
Reragui yakin, Marako sulit digulingkan. ”Tanah air, dunia Arab, dan Afrika memberi energi pada kami. Demikian banyak manusia mendukung kami. Dengan sampai ke semifinal ini, kami telah menulis sejarah,” katanya. Memang, Al Jazeera juga sempat melaporkan, sepak bola telah menyatukan negara-negara Arab di bawah bendera Maroko.
Dan diam-diam momen persatuan ini juga memuat pernyataan politik yang menolak superioritas, yang menganggap dunia Arab inferior, lebih-lebih di mata Barat. Sekaligus momen ini membawa kenangan bahwa dulu sepak bola bisa menjadi sarana perlawanan terhadap kolonialisme Barat.
Esklusivisme
Seperti ditulis kolumnis Ronny Blaschke, waktu datang ke Afrika, orang-orang Barat membawa bola ke sana. Di samping sebagai rekreasi, lewat bola mereka juga ingin mengenalkan nilai-nilai Barat, seperti disiplin dan kemajuan. Tetapi selanjutnya, mereka mengeksklusifkan bola melulu bagi mereka. Kalau toh ada penduduk asli boleh bermain, mereka adalah kolobarator-kolabrorator kolonial.
Saya lahir di Perancis, tetapi tak seorang pun bisa merebut hati Maroko saya.
Tentu eksklusivisme bola tak bisa berlangsung lama. Penduduk pribumi mulai bermain bola. Bahkan, mereka mendirikan klub-klub bola sebagai simbol perlawanan, seperti Esperance di Tunisia, Wydad di Casablanca, Maroko, serta Mouludia di Aljazair.
Di Aljazair, timbulnya klub bola ini berbarengan dengan berkembangnya nasionalisme. Di sana, seorang intektual Sunni, Abdelhamid ben Badis, mendirikan klub sepak bola. Lewat klub itu, ia menghimpun anak-anak muda, dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme, disiplin, perlawanan, dan percaya akan kekuatan sendiri. Nilai-nilai itu ditawarkan sebagai nilai yang tak kalah luhurnya dengan nilai-nilai agama. Begitulah bola menjadi simbol perlawanan di negeri-negeri Magribi.
Peristiwa demikian dengan mudah tenggelam dalam sejarah. Kenangan akannya bisa bangkit, bila ada entakan yang membangunkannya. Dan Maroko membuat hal itu, hingga seluruh Arab bangun dengan kesadaran politisnya, bahwa mereka tidak inferior terhadap Barat.
Lewat entakan bolanya, serentak Maroko membangunkan dunia Arab, bahwa mereka mampu melakukan modernitas, yang tak hanya mengenai bola, juga dalam kesadaran mereka. Merubah kesadaran dunia Arab demi modernitas itu sudah lama diidamkan pemikir-pemikir mereka, misalnya Mohammed Sabila (1942-2021), filsuf modernis Maroko.
Dalam karyanya, In Defence of Reason and Modernity (2003), Sabila menuliskan, janganlah berhenti pada modernitas Eropa sebagai model. Semua manusia harus berpartisipasi untuk membangun modernitas itu. Modernitas adalah horizon manusiawi, di mana semua tradisi bisa ambil bagian. Maka dunia Arab pun bisa dan harus ikut menyumbangkan diri dalam membangun modernitas. Untuk merealisasikannya, orang-orang Arab harus menggunakan rasio mereka secara seimbang.
Modernitas adalah karya akal sehat dan upaya keras manusia. Regragui telah membuktikan hal itu di lapangan sepak bola. Maka ia menolak anggapan, lebih-lebih di Eropa, bahwa prestasi Maroko adalah keajaiban. ”Ini bukan keajaiban, tetapi hasil kerja keras,” tegasnya.
Melawan Perancis nanti, Maroko juga tidak akan bersandar pada keajaiban. Mereka akan bekerja keras untuk menang. Apa pun hasilnya, sejarah telah mencatat jasa Maroko yang luar biasa di bidang sepak bola bagi Afrika dan dunia Arab.