Pemanfaatan big data meningkatkan akurasi prediksi laga Piala Dunia Qatar 2022. Namun, sepak bola tidak boleh selalu bisa diprediksi sehingga selalu menarik, mengejutkan, dan menggugah sisi kemanusiaan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemanfaatan maha data atau big data meningkatkan akurasi prediksi terhadap laga sepak bola termasuk Piala Dunia Qatar 2022. Namun, jika prediksi ternyata selalu presisi dengan hasil pertandingan, pesta bola Qatar terasa hambar bahkan sia-sia. Bola yang bulat adalah takdir yang selalu menyisakan ruang misteri tentang masa depan sehingga sepak bola selalu menarik dan menggugah kemanusiaan.
Demikian benang merah acara "Ngobrol Bareng bersama Redaksi Kompas dan Kompas.id serta Opta by Stats Perfom" dalam webinar eksklusif pelanggan Kompas, Senin (12/12/2022). Webinar merupakan bagian dari rangkaian kegiatan serupa untuk membahas Piala Dunia Qatar kurun 20 November-18 Desember 2022. Webinar bertema How Big Data Reshaping Football at Qatar.
Menurut Maria Rowe, Business Development Director, Asia Pacific, Stats Perform, pemanfaatan big data oleh perusahaan tersebut membuat rerata akurasi prediksi sepak bola rata-rata 85 persen. Tidak akan pernah ada data yang bisa memberi prediksi akurat atau presisi sempurna. “Data tidak pernah bisa menjamin akurasi 100 persen,” katanya.
Dalam sepak bola, ada sejumlah elemen yang tidak bisa diukur. Yang terutama unsur psikologis pemain, wasit, ofisial, bahkan eksekusi hukuman selama pertandingan. Contoh terkini, lanjut Maria, kekalahan Inggris 1-2 dari Perancis pada perempat final di Stadion Al-Bayt, Sabtu (10/12/2022) malam. Tiga Singa, julukan Inggris, gagal menyamakan skor karena eksekusi kedua penalti oleh penyerang dan kapten Harry Kane gagal. Satu gol Inggris dicetak juga dari penalti.
Maria melanjutkan, secara statistik, di antara seluruh pemain Inggris, Kane, penyerang Tottenham Hotspur (London) itu teratas dalam persentase eksekusi penalti di seluruh kompetisi. Namun, statistik juga menyatakan Kane jarang mengeksekusi dua penalti sekaligus dalam satu laga. Data yang seolah kontras itu bisa memberikan nuansa mengapa Kane sukses di penalti pertama, tetapi gagal di eksekusi kedua. Kegagalan itu mengakibatkan Inggris yang ditangani Gareth Southgate gagal menyamai capaian di Italia 1990 dan Rusia 2018 ke semifinal apalagi saat menjadi juara 1966 di Tanah Air.
Data juga sulit untuk memastikan terjadinya kejutan di Piala Dunia. Misalnya, pertama kali Argentina kalah dari Arab Saudi dan Maroko ke semifinal. Data pertemuan selama ini menyatakan Arab Saudi tidak pernah bisa mengalahkan Argentina. Sedangkan capaian tertinggi Maroko adalah di perdelapan final. Namun, menurut Maria, data tidak statis melainkan dinamis.
Statistik ada untuk diubah dengan elemen kejutan. Misalnya keberhasilan Arab Saudi mengalahkan Argentina karena kejelian taktik pelatih Herve Renard menerapkan garis pertahanan tinggi untuk jebakan offiside dan permainan ketat dan keras.
Data tentang Maroko selama Piala Dunia sebelum Qatar memperlihatkan penampilan kurang meyakinkan karena selalu kebobolan. Namun, laga-laga saat ditangani Valid Halilhodzic jelang turnamen ada peningkatan yakni kemasukan 12 gol dari 10 laga. Ketika kepelatihan berpindah ke Walid Regragui, pada tiga bulan sebelum turnamen, dari delapan laga yang dijalani termasuk lima laga di turnamen, Maroko hanya kebobolan satu gol bunuh diri.
Sepak bola itu indah karena ada ruang yang tidak terprediksi. Jika semua bisa diramalkan, ya menjadi tidak menarik.
“Data-data terbaru itulah yang kemudian dapat menjelaskan mengapa Maroko membuat kejutan yang mengagumkan di Piala Dunia,” kata Maria. Meski diprediksi akan kurang meyakinkan tetapi perjalanan data Maroko memperlihatkan sebaliknya dan diterima sebagai keniscayaan bahwa bola itu bulat, tidak semua sesuai prediksi.
Peneliti Litbang Kompas Yohanes Mega dan Vincentius Gitiyarko menambahkan, tanpa melihat data, secara sederhana laga sepak bola hanya berakhir dengan kemenangan, imbang, atau kekalahan. Namun, hasil laga akan menjadi kaya ketika disandingkan dengan data-data.
Misalnya, Spanyol kalah adu penalti 0-3 (0-0) dari Maroko di perdelapan final meski pemain sudah diinstruksikan melatih setidaknya 1.000 tendangan penalti. Selain itu, Spanyol kalah meski amat dominan menguasai bola dan unggul jauh dalam jumlah operan. Di sisi lain, kekalahan itu berarti Spanyol tidak bermain efektif ditambah ketangguhan kiper Yassine Bounou yang mayoritas karier profesionalnya membela klub-klub La Liga Spanyol.
“Secara statistik, pemanfaatan data bisa mendorong akurasi suatu prediksi sekitar 80 persen,” kata Yohanes.
“Sepak bola itu indah karena ada ruang yang tidak terprediksi. Jika semua bisa diramalkan, ya menjadi tidak menarik,” ujar Vincentius menimpali.
Ketiganya selaras pandangan bahwa data-data membantu banyak hal terutama penulisan laporan jurnalistik atau pemahaman publik tentang narasi suatu laga sepak bola. Data membantu seseorang menyusun narasi, memahami, dan memiliki sudut pandang terhadap olahraga ini sehingga menjadi tetap manusiawi.
“Ketika melihat sepak bola, sebaiknya jangan melihat prediksi karena mengganggu kenikmatan dan sisi manusiawi kita,” ujar Yohanes.
Meski begitu, Vincentius mengharapkan, publik semakin sadar akan pentingnya data sehingga diharapkan tercerahkan dan bermanfaat bagi kehidupan.