Pengubah Atmosfer Pesta Bola Qatar seperti Piala Dunia Argentina
Keberadaan ratusan ribu pendukung Argentina dari Tanah Air, mancanegara, dan pekerja migran di Piala Dunia Qatar 2022 mampu mengubah atmosfer seolah menjadi Piala Dunia Argentina 1978.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Pesta bola Qatar 2022 di jazirah Arab seolah Piala Dunia Argentina 1978 di Amerika Selatan. Atmosfer berubah karena gegap gempita puluhan ribu orang dari mancanegara dan ratusan ribu pekerja migran yang fanatik mendukung tim nasional berjuluk ”La Albiceleste” atau Putih Biru Langit itu.
Kedutaan Besar Argentina untuk Qatar di ibu kota Doha memperkirakan 35.000-40.000 warga ”Negeri Tango” maupun bukan rakyat negara tersebut datang dari seluruh penjuru dunia untuk mendukung perjalanan ”La Albiceleste”. Menurut catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), di Qatar terdapat 1,91 juta jiwa pekerja migran yang didominasi dari negara-negara padat populasi di Asia Selatan, terutama India dan Bangladesh.
Bangsa Asia Selatan belum menjadikan sepak bola sebagai olahraga terpopuler melainkan kriket. Namun, jika menyangkut sepak bola, mereka amat menggandrungi dan fanatik dengan Amerika Latin terutama Argentina. Di Qatar, gabungan pendukung dari Argentina, pengunjung internasional, dan pekerja migran menjadikan kekuatan ”pemain ke-12” La Albiceleste menjadi yang terbesar. Kota-kota di kawasan gurun seolah metropolitan di Argentina seperti, ibu kota Buenos Aires, Cordoba, dan Rosario.
Tidak mengherankan jika penonton yang memenuhi stadion penyelenggara laga Argentina didominasi pemakai jersi atau busana dengan motif garis Putih-Biru Langit. Bahkan, tim asuhan Lionel Scaloni ini seolah mendapat privilese di Qatar. Kapten Lionel Messi dan kawan-kawan yang menembus semifinal menjalani empat dari enam laga di Stadion Lusail, ibu kota Doha.
Lusail berkapasitas 88.966 kursi. Di sini, Argentina menjalani dua laga penyisihan Grup C dengan hasil kalah 1-2 dari Arab Saudi lalu menang 2-0 atas Meksiko. Laga ketiga diadakan di Stadion 974, masih di Doha, dengan menang 2-0 atas Polandia. Fase gugur perdelapan final dengan kemenangan 2-1 atas Australia diadakan di Stadion Ahmad bin Ali, Doha. Selanjutnya, laga perempat final kembali ke Lusail di mana Argentina memecundangi Belanda dalam drama adu penalti, 4-3 (2-2).
Di semifinal, lagi-lagi di Lusail, Rabu (14/12/2022), Argentina akan melawan Kroasia, finalis Piala Dunia Rusia 2018. Jika Argentina, juara Piala Dunia 1978 di tanah sendiri dan Meksiko 1986, maju ke final, partai puncak tersebut juga akan diadakan di Lusail pada Minggu (18/12/2022).
Lusail ibarat Stadion Monumental di Buenos Aires yang selain menjadi rumah kebesaran River Plate juga salah satu istana La Albiceleste saat merengkuh trofi perdana pada 1978. Gelanggang 974 atau Ahmad bin Ali yang juga megah dan mewah ibarat Stadion Gigante de Arroyito di Rosario yang turut menjadi saksi perjalanan Argentina 1978.
Aku lama bermukim di Amerika Serikat, tetapi jika kamu mengiris nadiku, darahku bukan merah melainkan putih-biru langit.
Beto (60) pendukung Argentina mengatakan, telah menabung bertahun-tahun agar dapat menonton kiprah La Albiceleste di Piala Dunia. ”Aku lama bermukim di Amerika Serikat, tetapi jika kamu mengiris nadiku, darahku bukan merah melainkan putih-biru langit,” katanya di Doha.
Menurut Beto, orang Argentina memberi perhatian amat besar terhadap sepak bola. Mereka menderita dalam kehidupan harian karena masalah domestik. Namun, sepak bola seolah selalu memberi energi dan inspirasi untuk berubah dari ketiadaan menjadi segalanya.
”Kami terus bertahan juga karena dukungan dan euforia penggemar di sini, Argentina, dan seluruh dunia,” kata Messi seusai memastikan tempat di semifinal setelah menang atas Belanda. Di Qatar, nama Messi selalu dielu-elukan, diagung-agungkan, seperti nabi. Sepak bola terutama bagi warga Argentina bukan sekadar olahraga melainkan bagian vital dari kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Sepak bola adalah agama bahkan keyakinan hidup. Orang Argentina menganggap diri sebagai yang paling ”sepak bola” daripada bangsa lainnya.
Di Qatar, gairah pendukung Argentina selalu diwujudkan dengan lagu kebesaran ”Muchachos Ahora Nos Volvimos a Ilusionar” atau disingkat ”Mucachos”. Baris pertama liriknya menyebut Argentina tanah kelahiran maestro Diego (Maradona) dan Lionel (Messi).
”Argentina itu kompleks, tetapi retak dalam situasi politik. Beberapa sebab menyatukan bangsa terutama Perang Falkland (dengan Inggris 1982) dan tentunya sepak bola,” kata Edgardo Esteban, Direktur Museum Falklands Buenos Aires.
Mantan penyerang Perancis kelahiran Argentina, David Trezeguet, mengatakan, kualitas tim di Piala Dunia bisa setara meski dengan gaya permainan berbeda. Misalnya, Perancis dan Argentina yang telah bentrok di 12 laga. Hasilnya Argentina menang 6 laga, seri 3 laga, dan kalah 3 laga. Di Piala Dunia, keduanya tiga kali bentrok, yakni 0-1 untuk Argentina pada 1930, 2-1 untuk Argentina pada 1978, dan 3-4 untuk Perancis pada 2018.
”Namun, Argentina mendapat manfaat besar dengan dukungan luar biasa dari orang-orang di sini,” kata Trezeguet.
Di akhir setiap laga, seluruh pemain Argentina akan selalu menyebut bahwa kemenangan yang diraih didedikasikan bagi 45 juta jiwa warga Negeri Tango. Selain itu, juga menyapa seluruh penggemar La Albiceleste di penjuru dunia.
”Apa yang aku perjuangkan untuk 45 juta jiwa,” kata kiper Emiliano Martinez, pahlawan saat menggagalkan dua tendangan penalti pemain ”Ons Oranje”, julukan Belanda.
Martinez, kiper Aston Villa (Liga Inggris), melanjutkan, warga Argentina masih merasakan dampak buruk dalam kehidupan ekonomi akibat pukulan pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019). Rakyat Negeri Tango terpukul karena krisis ekonomi terkait inflasi yang meroket dan belum terkendali. ”Memberikan kegembiraan kepada rakyat dengan kemenangan menjadi yang terbaik kami bisa lakukan setidaknya saat ini,” ujarnya.
Trezeguet sependapat dengan Martinez. Kemenangan tim nasional setidaknya sedikit mengobati luka rakyat akibat krisis enomi. ”Ingatan pertamaku tentang Argentina ketika mereka juara di Meksiko 1986. Saat itu, ada kegilaan di mana-mana tetapi tidak segila saat ini,” kata pencetak 34 gol dari 71 laga bersama Perancis kurun 1998-2008 itu. (AFP)