Sejak awal, Piala Dunia Qatar 2022 paling berbeda dibandingkan dengan edisi sebelumnya. Perbedaan-perbedaan itu sedikit banyak mengakibatkan timbulnya sejumlah kejutan dalam turnamen.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
DOHA, KOMPAS — Piala Dunia Qatar 2022 sungguh sulit diprediksi ujungnya. Tim unggulan hancur di tengah jalan. Sejumlah kesebelasan tidak dijagokan justru melangkah sangat jauh.
Kekalahan Argentina di laga pertama membuka berbagai fakta ”tidak masuk akal” itu. Tim calon juara dunia takluk di tangan Arab Saudi, 1-2. Lionel Messi menjadi sasaran tembaknya meski mencetak satu gol di laga itu.
Di partai lain, giliran Jepang yang berpesta. Mereka menaklukkan juara dunia empat kali, Jerman, 2-1. Maroko menambah kejutan saat generasi emas Belgia hancur lebur, 2-0.
Ketangguhan Maroko berlanjut hingga ke semifinal setelah menaklukkan Spanyol dan Portugal. Pada saat yang sama, Brasil pulang lebih dulu setelah dijungkalkan Kroasia.
”Ini bukan format Piala Dunia yang normal,” kata Pelatih Belgia Roberto Martinez seusai timnya takluk kepada Maroko.
Martinez tidak keliru. Selain hasil yang mengejutkan, Piala Dunia kali ini juga diwarnai fenomena baru. Besar kemungkinan, hal itu juga yang ikut memicu hasil akhir di setiap laga.
Salah satu perbedaan mendasar adalah waktu penyelenggaraan. Untuk pertama kali dalam sejarah, Piala Dunia Qatar digelar di pertengahan musim atau saat liga-liga terbaik dunia sedang berlangsung. Sebelumnya, Piala Dunia selalu diselenggarakan setelah laga di liga usai.
Penunjukan Qatar sebagai tuan rumah menjadi dasar kebijakan tersebut. Mustahil apabila Piala Dunia digelar seperti ajang sebelumnya. Kala itu, cuaca Qatar sangat panas.
Periode November-Desember atau saat musim dingin lantas dipilih. Saat itu disebut sebagai waktu paling ideal untuk bermain bola.
Keputusan menggeser jadwal Piala Dunia itu awalnya mendapat tentangan. Pesepak bola disebut harus bekerja lebih keras. Di saat liga-liga masih berjalan, mereka harus segera beradaptasi menuju Piala Dunia dalam waktu relatif singkat.
”Biasanya Anda punya waktu lima atau enam minggu untuk bersiap. Kali ini, kami hanya punya lima atau enam hari,” kata Martinez.
Fenomena di dalam lapangan juga tidak biasa. Salah satunya waktu tambahan yang lebih lama diberikan wasit. Kali ini, waktu tambahan bisa lebih dari tujuh menit jelang laga usai.
Hal ini merupakan pangkal kebijakan FIFA untuk membayar setimpal waktu terbuang akibat berbagai hal, seperti pemain cedera. Sudah diterapkan di Piala Dunia Rusia 2018, durasi waktu tambahan yang diberikan di Rusia tetap tidak selama di Qatar.
Pertandingan pada akhirnya berlangsung lebih lama. Banyak hal bisa terjadi. Mulai dari memengaruhi stamina pemain hingga memberi peluang semua tim menang atau kalah lebih besar. Laga Korea Selatan melawan Portugal di laga penyisihan menjadi contohnya.
Kala itu, wasit memberikan tambahan waktu selama enam menit. Hal itu bisa dimanfaatkan penyerang Korsel, Hwang Hee-chan, untuk membuat timnya berbalik unggul, 2-1. Kemenangan atas Portugal membuat favorit juara, Uruguay, tersingkir di fase grup.
Maju menyerang
Banyak yang terkejut, ada juga yang tidak heran Qatar akan memberikan kejutan. Beberapa hari sebelum Piala Dunia digelar, mantan pelatih timnas Jerman, Juergen Klinsmann, misalnya, mengatakan, negara-negara Afrika bisa melangkah jauh.
Selain itu, dia percaya banyak tim akan bermain menekan dan menerapkan garis pertahanan tinggi. Kondisi itu membuat potensi kebobolan atau dijebol lawan menjadi sangat tinggi.
Klinsmann juga yakin sebutan ”kuda hitam” tidak akan berlaku pasif sepanjang laga. Alih-alih bertahan, tim berpeluang terus menekan permainan. Hal itu terbukti, tim-tim kecil dan tidak diunggulkan kemudian mampu mengimbangi lawan yang unggul secara teknis permainan.
”Ini bukan turnamen untuk duduk diam dan bertahan. Ini adalah turnamen yang benar-benar mengundang Anda maju menyerang,” kata Klinsmann.
Kroasia dan Maroko membuktikannya. Saat tertinggal 0-1 dari Brasil, Kroasia tampil menekan hingga menit-menit akhir. Hasilnya, gol Bruno Petkovic terjadi di akhir babak tambahan.
Laga kemudian dilanjutkan dengan adu penalti. Di sini, Kroasia lebih siap. Kiper Dominik Livakovic sedang dalam penampilan terbaiknya.
”Kami kebobolan dan kemudian bangkit. Kami menunjukkan arti tidak menyerah,” kata Pelatih Kroasia Zlatko Dalic.
Penampilan serupa ditunjukkan Maroko yang enggan bertahan menghadapi teror Portugal. Maroko meladeni Portugal dan akhirnya mencetak gol untuk mengukir sejarah bagi Benua Afrika.
Hasil laga mengejutkan itu mengingatkan pada ucapan ilmuwan Albert Einstein. Dia pernah berkata, hanya orang gila yang berharap bisa meraih hasil berbeda, tetapi melakukan cara yang sama berulang-ulang.
Pada akhirnya, saat beragam hal baru terus terjadi, tim bertabur bintang bisa pulang lebih dini. Kesebelasan debutan dapat menjadi juara.
Menarik dinanti siapa yang unggul dalam sepasang laga semifinal saat Perancis melawan Maroko dan Kroasia menantang Argentina. Ujungnya masih sangat sulit diprediksi. (AFP)