Tarian burung merpati Brasil lenyap, dan Brasil tenggelam dalam air mata, setelah disisihkan Kroasia. Brasil dinilai kehilangan fokus dan terlepas dari spirit dan nasib rakyat.
Oleh
SINDHUNATA, wartawan
·5 menit baca
Di Stadion Education City, tarian burung merpati itu lenyap. Bagi Brasil, tarian itu bagaikan pratanda yang meramalkan, sukacita akan berubah menjadi dukacita dalam sekejap. Memang, akhirnya Brasil tenggelam dalam air mata, setelah disisihkan Kroasia.
Dalam bola, semuanya bisa terjadi dengan tak terduga. Waktu melindas Korea Selatan, 4-1, Brasil bagaikan burung merpati yang terbang tinggi dengan harapannya. Tiap kali mencetak gol, pemain Brasil menari-nari, sebisanya meniru gerak burung merpati.
Selebrasi ala ”Selecao” ini mendapat sorotan kritis. ”Saya tidak suka. Juga apabila dikatakan itu kultur mereka. Menurut saya, itu menunjukkan mereka kurang respek pada lawan,” begitu kritik legenda Manchester United, Roy Keane.
Pemain Brasil tidak peduli komentar orang. Mereka bertekad hendak meneruskan selebrasi tari itu. Menurut mereka, begitulah cara mereka meluapkan kegembiraan. Malah kata Raphinha, koreografi burung merpati sudah jauh-jauh dilatih dan dipersiapkan. Dan siap ditampilkan berkali-kali. Artinya, mereka yakin akan menang berulang-ulang.
Korea Selatan jelas bukan sekelas Brasil. Pantas jika Brasil melenggang. Dan mereka pun bergaya dengan skenario mereka: mementaskan koreografi tari setiap kali berhasil menjebol gawang Korea Selatan.
Brasil makin diunggulkan sebagai favorit. Mereka tak menyangka dalam perjalanan menuju ke semifinal mendapat perlawanan begitu sengit dari Kroasia. Baru sekarang terasa, mereka menghadapi lawan yang sesungguhnya. Dan ternyata, Luka Modric dan kawan-kawannya menekuk mereka dalam laga yang sangat dramatis. Di kubu Brasil semuanya jadi senyap. Kegembiraan burung merpati itu pun lenyap.
Brasil adalah juara dunia lima kali. Di Qatar tahun 2022 ini, mereka hendak memburu hexa, juara dunia keenam kalinya. Tetapi, harapan itu kandas di kaki Kroasia. Kata koran Brasil, Folha de Sao Paolo, ”Mimpi buruk perempat final. Generasi Neymar terkena sihir. Mereka terpaku dengan tangan kosong. Bintang keenam tampak tak teraih lagi.”
Dan koran Zero Hora meratapi, kekalahan itu adalah pukulan yang menghunjam di hati Brasil, dan impian mereka akan hexa lebur menjadi debu di Timur Tengah.
Sebelumnya Brasil sangat yakin, laga melawan Kroasia menjadi jalan menggapai bintang hexa itu. Semua pemain optimistis. Lebih-lebih Neymar Jr. Di luar laga, ia masih tertangkap kamera dalam dandanan kemewahannya. Aksesori cincin, kalung, dan hiasan telinga menyertai keceriaannya. Ia tampak yakin.
Datanglah laga melawan Kroasia, dan optimisme itu mulai surut. Neymar tak mengira, Kroasia melawannya dengan demikian dahsyat. Ia tidak sempat menari dengan kebintangannya. Baru dalam perpanjangan waktu, pada menit ke-105, dengan aksinya yang fantastis, Neymar bisa melesatkan bola ke gawang Dominik Livakovic, kiper Kroasia. 1-0 untuk Brasil.
Jika pergi ke Piala Dunia, orang harus konsentrasi ke Piala Dunia, bukan ke model rambut, tari-tarian, atau kendaraan mewahmu.
Gol Neymar yang emosional itu tampak membebaskan Brasil dari penderitaan. Namun, dua menit kemudian, pemain Kroasia, Bruno Petkovic, menendang bola dengan keras dan membobol gawang Alisson Becker. Neraka buat Brasil. Dan setelah tendangan penalti Rodrygo dan Marguinhos gagal, pupus sudah harapan mereka meraih hexa. Neymar lemas bercucuran air mata. Tak juga reda air matanya, ketika Dani Alves, Thiago Silva, dan beberapa rekan lain datang menghiburnya.
Air mata Neymar tak dapat reda. Demikian pula air mata rakyat Brasil. Di Brasil, sepak bola adalah simbol harapan. Karena itu, di Brasil, bola nyaris tak terpisahkan dari gerakan sosial politik yang memperjuangkan nasib rakyat, lebih-lebih di saat krisis.
Kita teringat, misalnya, akan Selecao tahun 1986. Di dalamnya ada Socrates dan Walter Casagrande. Keduanya bermain di Corinthians, Sao Paulo. Berdua pula mereka mendirikan gerakan bernama Democracia Corinthiana. Semboyannya, ”Kalah atau menang – tapi takkan pernah tanpa demokrasi”. Aksi mereka jelas ingin mengembalikan demokrasi, yang terancam di bawah diktator militer yang sedang berkuasa.
Menurut Casagrande, sebelum Piala Dunia Qatar, banyak fans Brasil yang tak mau lagi mengenakan kostum kesebelasan nasional. Alasannya, kostum itu telah dipakai dan disalahgunakan oleh pengikut Jair Bolsonaro, mantan Presiden Brasil yang berhaluan kanan, tidak prodemokrasi, dan ingin merebut kembali kekuasaan dengan bantuan militer. Sayangnya, beberapa pemain Brasil, antara lain Neymar, Dani Alves, dan Thiago Silva, dianggap pro-Bolsonaro yang dituduh fasis itu.
Casagrande mengatakan, tim Brasil kali ini adalah tim yang terasing dari permasalahan sosial. Dibandingkan dengan beberapa tim lain, secara sosial politis, mereka tidak mempunyai apa-apa untuk dinyatakan. Bahkan, Neymar, bintang Brasil, pun tak lepas dari sorotan kritis ini.
”Neymar tidak mempunyai akar lagi di Brasil. Di sini orang bicara mengenai 30 juta orang yang kelaparan. Sementara Neymar punya kapal pesiar, jet pribadi, mobil, dan rumah mewah. Dan ia membanggakannya. Ini tentu membuat jarak,” kata Casagrande.
Di mata Casagrande, pesepak bola itu lain dari tokoh selebritas. Namun, Neymar tidak memisahkan keduanya. ”Selama 24 jam Neymar ada sebagai selebritas. Bahkan ketika ia ada di lapangan. Karena itu, ia kehilangan fokus. Jika pergi ke Piala Dunia, orang harus konsentrasi ke Piala Dunia, bukan ke model rambut, tari-tarian, atau kendaraan mewahmu,” ujarnya mengkritik.
Selain itu diingatkan pula, pemain bola adalah idola. Predikat ini bahkan tidak dimiliki seorang menteri pemerintahan. Anak-anak muda menyalakan televisi bukan untuk mendengar pidato menteri, tetapi untuk melihat pertandingan sepak bola, lebih-lebih ketika idolanya sedang bermain. Jadi, pemain bola juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap pembentukan diri anak-anak muda.
Brasil memang tanah bola yang istimewa. Di sana sepak bola hidup dari spirit dan nasib rakyatnya. Jika terlepas dari rakyatnya, mereka akan kehilangan nyawa. Jika kritik Casagrande benar, hilangnya nyawa rakyat itu mungkin menjadi salah satu faktor mengapa burung merpati lenyap dari tangan Brasil.