Keberhasilan Maroko bertahan di Piala Dunia Qatar 2022 ditunjang barisan pemain kelahiran mancanegara dengan kultur sepak bola berbeda yang mampu diracik dan menjadi kekuatan hebat tim nasional.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Kemenangan atas Spanyol dalam adu penalti di babak perdelapan final Piala Dunia Qatar di Stadion Education City, Doha, Qatar, Selasa (6/12/2022), memperlihatkan kekuatan tersembunyi Maroko.
Sebanyak 14 dari 26 pemain ”Ousud Al-atlas” atau ”Singa Atlas”, julukan Maroko, termasuk Pelatih Walid Regragui (48), lahir di Benua Eropa atau Amerika. Dari negeri perantauan, mereka pulang untuk mengharumkan Tanah Air di pesta bola Qatar.
Beragam perbedaan, termasuk penggunaan bahasa dan asal-usul, bukan menjauhkan, melainkan menyatukan tim di Afrika Barat Laut itu.
Bek dan kapten Romain Ghanem Paul Saiss (33), misalnya, kelahiran Bourg de Peage, Perancis. Dia bermain untuk Besiktas, klub raksasa Turki.
Penyerang dan wakil kapten Hakim Ziyech (30) kelahiran Dronten, Belanda. Dia kini bermain untuk Chelsea (Liga Inggris). Sementara itu, wakil kapten kedua Sofyan Amrabat (27) dilahirkan di Huizen, Belanda. Gelandang ini bermain untuk Fiorentina (Liga Italia).
Penjaga gawang Yassine Bounou (32), yang bersinar kala menaklukkan Spanyol, kelahiran Quebec, Kanada. Dia bermain untuk Sevilla (Liga Spanyol). Fakta itu jelas menyakitkan bagi pendukung Spanyol, terutama fans Sevilla.
Penentu kemenangan bek sayap Achraf Hakimi (24), kelahiran Madrid di Spanyol. Dia menjadi andalan untuk Paris Saint-Germain (Perancis).
”Mengapa tidak, kita Afrika bermimpi juara Piala Dunia?” kata Hakimi menjawab keraguan berbagai pihak tentang peluang tim dari Benua Afrika.
Sejauh ini, dia dan kawan-kawannya memperlihatkan jawabannya di lapangan hijau. Setelah Spanyol, kini ada Portugal menunggu di babak perempat final.
Di antara pemain-pemain tenar itu, Walid Regragui jelas tidak boleh dilupakan. Perjalanannya panjang untuk tetap tangguh memayungi bakat-bakat besar pemainnya.
Pelatih kelahiran Corbeil-Essonnes, Perancis, itu menghabiskan 11 tahun karier profesional sebagai bek kanan di Liga Perancis. Tiga tahun lainnya dia bermain di Liga Spanyol.
Setelah pensiun bermain, Regragui menjadi asisten pelatih Maroko. Lalu, dia menangani klub domestik, Faith Union Sport (FUS) Rabat dan Wydad AC. Regragui juga memoles Al-Duhail SC (Qatar). Baru Agustus 2022, Regragui dipercaya menangani Maroko.
Terbiasa menjelajah sejumlah negara, semua menjadi bekal bagi Regragui membangun kesatuan tim nasional dari mosaik keragaman. Sempat dikritik karena memanggil banyak pemain kelahiran mancanegara untuk Piala Dunia, ia tetap tenang. Semua menjadi energi bagi dia untuk terus berlaga di Qatar.
”Untuk inilah aku berjuang. Sebelum Piala Dunia, banyak dipersoalkan tentang para pemain kelahiran Eropa bukan Maroko. Juga banyak pertanyaan mengapa tidak memakai para pemain kelahiran Tanah Air?” kata Regragui yang mendapat julukan ”Kepala Alpukat” karena botak dan berewokan.
Regragui mengatakan, setiap orang Maroko akan selamanya menjadi warga Maroko. Saat bergabung dengan tim nasional, semuanya akan berjuang sampai mati. Regragui mencontohkan, dia lahir di Perancis tetapi tidak ada yang bisa mencegahnya berbakti untuk Maroko.
Selain itu, punya memiliki banyak pemain yang lahir di Jerman, Italia, Spanyol, Perancis, Belanda, dan Belgia memberikan modal tersendiri. Setiap negara itu punya budaya sepak bola. Saat berhasil memadukannya, hasilnya memberikan kebahagiaan bagi semua orang.
”Aku berjuang bukan untuk paspor. Bagiku, ini bukan sekadar menjadi orang Arab atau Afrika,” kata Regragui yang merayakan kemenangan atas Spanyol bersama tim dengan membentangkan bendera Palestina.
Regragui mengatakan, ia amat ambisius membawa Maroko merebut trofi perdana Piala Dunia. ”Mungkin ketika aku sudah tua, aku melihat ke belakang, masa lalu, dan tersenyum bangga,” ujar Regragui yang menggantikan peran kepelatihan Vahid Halilhodzic dari Bosnia-Herzegovina.
Lampaui prestasi
Mantan gelandang Maroko dan mantan pelatih AS FAR (Forces Armees Royales), Rabat Abderrazak Khairi, juga memuji keberhasilan tim nasional yang melampaui pencapaian di Meksiko 1986. Padahal, saat itu, Maroko diperkuat barisan yang dijuluki generasi emas dengan hasil menembus perdelapan final meski kalah 0-1 dari Jerman.
Kala itu, di penyisihan, Maroko menahan Polandia dan Inggris 0-0 lalu menang 3-1 atas Portugal. Khairi menyumbang dua dari tiga gol ke gawang Portugal.
Khairi berharap, kemenangan atas Portugal di masa lalu itu bisa menginspirasi Maroko saat menghadapi ”Selecao das Quinas”, tim yang sama di perempat final. Dia menyebut, Maroko ingin selalu berusaha mengubah peta kekuatan sepak bola dunia dengan bermain dan membuktikan di level tertinggi.
”Di Piala Dunia, tiada yang mustahil sebab semakin bermimpi, kita kian ambisius,” kata Khairi, pemegang 14 caps membela Maroko dengan kontribusi 3 gol dan 1 asis.
”Akan menjadi momen bersejarah bagi kami, Arab dan Afrika. Mari terus bermimpi. Apa pun yang terjadi, Maroko telah mewujudkan sebagian pencapaian mimpi,” ujar Khairi yang semasa aktif bermain cuma membela AS FAR. (AFP/REUTERS)