Pesta Piala Dunia Para Perantau
Bagi pekerja migran, diaspora, perantau, atau apa pun namanya, Piala Dunia 2022 lebih dari sekadar kompetisi biasa. Meski tidak selalu manis, atas nama pesta bola, mereka ikut dibawa pulang pada asal usulnya.

Pekerja migran di Qatar menonton laga penyisihan Grup C Piala Dunia antara Argentina dan Meksiko di Stadion Kriket Asian Town Sabtu (26/11/2022).
Pesta Piala Dunia Qatar 2022 memiliki banyak pesan bagi mereka yang tidak menyerah berjuang mengubah nasib. Ikut dibumbui beberapa isu miring, ajang ini menyiratkan perjuangan keberanian untuk kualitas hidup lebih baik.
Stadion Kriket Asia Town di pinggiran Doha, Qatar, Selasa (29/11/2022), ramai. Ribuan kembali orang memenuhi stadion untuk menonton laga Piala Dunia antara tuan rumah Qatar melawan Belanda.
Akan tetapi, kapten Qatar, Hassan Al-Haydos, tidak hadir langsung di tengah lapangan memimpin kawan-kawannya. Perjuangan mereka membendung agresivitas Cody Gakpo dan Frenkie de Jong tidak bisa dilihat secara langsung penonton yang hadir di sana.
Di tengah lapangan, layar berukuran raksasa dipasang menjadi jembatannya. Semua mata tertuju ke sana. Namun, semuanya tidak mengurangi kegembiraan. Bahkan, saat tuan rumah takluk akibat dua gol tanpa balas, ”pesta” malam itu masih tetap saja meriah.
Banyak orang yang hadir malam itu sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan hasil akhirnya. Sebagian besar dari mereka berasal dari India, Pakistan, Kenya, hingga Nepal. Qatar adalah tempat mereka mencari nafkah.
Baca juga: Mereka Menikmati Sedikit Kemurahan Pesta Bola Qatar

Pekerja tengah memilih buah melon yang baru saja dipanen di Al Sulaiteen Agricultural & Industrial Complex, Sabtu (3/12/2022). Bunga itu didistribusikan untuk kebutuhan taman dan agenda istimewa di Qatar. Itu adalah proses awal pengemasan buah sebelum didistribusikan ke toko swalayan di Qatar.
Omna Rayan (26), tukang listrik dari Nepal yang pindah ke Qatar empat tahun lalu, mendapatkan penghasilan hingga 1.200 riyal Qatar atau sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang bertahan hidup di Nepal. Dengan upah sebesar itu, ia bahkan masih bisa menyisihkannya untuk orangtua di kampung halaman.
Seperti Rayan, banyak orang yang hadir di Stadion Kriket Asia bekerja di bidang konstruksi. Dalam beberapa tahun terakhir, tangan dan keringat mereka ikut bekerja keras membangun berbagai infrastruktur Piala Dunia 2022. Namun, ketika satu per satu sarana penting rampung dibuat, tidak semua bisa menjadi saksi langsung ajang sepak bola terakbar dunia itu.
Ibrahim Gazi (25), misalnya, gagal menonton laga di stadion utama. Pekerja konstruksi dari India ini tidak kebagian tiket. ”Ketika saya mencoba membeli tiket, tiketnya sudah terjual habis,” kata Gazi, yang berpenghasilan 3.000 riyal Qatar atau sekitar Rp 12,7 juta per bulan.
Tidak ingin kehilangan momen penting, Gazi cukup puas mendatangi Stadion Kriket Asia Town. Apalagi, di sana dia tidak hanya bisa menonton pertandingan, tapi juga menuntaskan rindu pada tanah airnya, India.
Selain layar lebar, panggung besar juga disediakan di tengah lapangan. Beberapa pria mengumpulkan keberanian untuk naik ke panggung. Mereka menari mengikuti irama musik Hindi. Bahkan, ada artis juga tampil di panggung yang sama.
”Mereka adalah orang-orang yang membangun stadion dan mengubah Qatar seperti sekarang. Suatu kehormatan bisa menghibur mereka,” kata artis dari India, Lincia Rosario.
Keringat imigran

Para pekerja migran nonton bareng laga Piala Dunia 2022 di Stadion Kriket Asian Town di Doha, Jumat (25/11/2022).
Melansir Guardian, dari populasi Qatar sekitar 3 juta, lebih kurang 88 persen di antaranya berasal dari luar negara. Salah satu kelompok terbesarnya adalah tenaga kerja migran.
Peran mereka besar membangun Qatar. Jumlahnya diperkirakan 2 juta. Mereka bekerja di bidang konstruksi dan pekerja rumah tangga. Selain India, ada juga yang berasal dari Filipina dan negara-negara Asia Selatan lainnya, seperti Pakistan dan Bangladesh.
Dalam Piala Dunia pertama di Timur Tengah ini kontribusi mereka semakin nyata. Sedikitnya 30.000 tenaga kerja asing dipekerjakan untuk membangun infrastruktur pendukung acara sepak bola terbesar dunia. Selain membuat tujuh stadion baru dan merenovasi satu stadion lainnya, dilakukan juga pembenahan transportasi umum, jalan, dan gedung pencakar langit, hotel, hingga perumahan.
Akan tetapi, pembangunan itu diiringi isu miring tentang kesejahteraan tenaga migran. Salah satunya banyak nyawa melayang saat pembangunan itu berlangsung.
Salah satu pemicu adalah tantangan bekerja di suhu tinggi melebihi 37,7 derajat celsius. Dugaan bunuh diri akibat tekanan pekerjaan juga menjadi muncul. Hal itu dianggap aktivis kemanusiaan sangat kontras dengan kemewahan banyak fasilitas yang mereka bangun untuk Qatar.
Pemerintah Qatar menyebutkan, 37 meninggal saat menyiapkan Piala Dunia. Tiga di antaranya akibat kecelakaan kerja. Jumlah itu lebih kecil ketimbang laporan perihal ratusan hingga ribuan orang tewas di Qatar selama persiapan Piala Dunia di Qatar sejak 2010.

Pemain timnas Inggris berlatih di Stadion Al Wakrah SC di Al Wakrah, Qatar, Kamis (24/11/2022). AS dan Inggris akan bertemu pada pertandingan kedua Grup B Piala Dunia Qatar 2022, Sabtu (26/11/2022) dini hari WIB.
Tim Nasional Inggris menjadi salah satu peserta Piala Dunia yang memberi perhatian besar terkait masalah ini. Mereka bahkan mengundang pekerja migran untuk datang ke pusat pelatihan timnas. Pemain dan pekerja sempat bermain bola bersama.
”Tidak dapat dipercaya. Luar biasa,” kata salah satu pekerja ketika bersua pemain seperti Raheem Sterling, Marcus Rashford, hingga Bukayo Saka.
Selain melihat tim berlatih dan bermain gim kecil, pekerja juga dipersilakan mendeskripsikan pekerjaan mereka selama menyiapkan Piala Dunia. Pelatih Inggris Gareth Southgate yang mendengarkan kisah yang disampaikan memberikan tiket pertandingan kepada 19 pekerja migran.
”Terima kasih atas semua yang sudah kalian lakukan untuk Piala Dunia,” kata Southgate.
Di tengah berbagai isu miringnya, tidak dapat dimungkiri Piala Dunia kali ini juga berpeluang memanggungkan kesetaraan antarbangsa. Aktor utamanya pesepak bola dengan jejak imigran di tubuhnya.
Mereka menjadi energi utama menekan munculnya isu xenofobia akibat pandemi hingga geopolitik yang masih marak terjadi. Kehadiran mereka semakin bermakna karena banyak di antara mereka punya kontribusi besar bagi negaranya.
Baca juga : Kegemilangan Inggris Bakal Diuji Ketajaman Kylian Mbappe

Pemain Swiss, Breel Embolo, tidak merayakan gol saat melawan Kamerun di Stadion Al Janoub di Al Wakrah, Qatar, Kamis (24/11/2022).
Sikap Breel Embolo yang tidak merayakan golnya saat melawan Kamerun memulai kampanye kebaikan itu di Piala Dunia kali ini. Penyerang AS Monaco itu dilahirkan di Kamerun. Hingga kini, banyak pemain Kamerun adalah sahabat dekatnya.
Calon kuat pemain terbaik edisi kali ini adalah Kylian Mbappe yang juga berdarah Kamerun. Jejak pencetak gol terbanyak sementara Piala Dunia 2022 dengan lima gol ini serupa dengan pemain tidak tergantikan ”Les Bleus” lainnya, Aurélien Tchouameni.
Mengutip Quartz, Perancis menjadi rumah bagi banyak pemain berbagai negara. Bahkan, setengah dari 59 pemain kelahiran Perancis mewakili tim-tim Afrika. Mereka memperkuat tim, seperti Senegal, Tunisia, dan Kamerun.
Negara-negara itu bekas koloni Perancis. Banyak warga punya ikatan budaya kuat dan berbicara Perancis. Secara alami, orang-orang dari negara-negara ini sering bermigrasi ke Perancis.
Keberagaman di Timnas Jerman dilanjutkan Youssoufa Moukoko. Pemain termuda dalam turnamen ini juga lahir di Kamerun. Jejaknya mirip Miroslav Klose. Pencetak gol terbanyak Piala Dunia itu lahir di Polandia.

Bek Inggris, Harry Maguire (kanan), menyundul bola melewati penyerang AS, Timothy Weah, pada pertandingan sepak bola Grup B Piala Dunia Qatar 2022 antara Inggris dan AS di Stadion Al-Bayt di Al Khor, utara Doha, Sabtu (26/11/2022) dini hari WIB.
Keturunan Liberia juga unjuk gigi. Bintang muda Amerika Serikat Timothy Weah membuktikan diri dengan sebiji gol perdana. Ada juga korban perang saudara, Alphonso Davies, yang mencetak sejarah lewat gol pertama bagi Kanada di Piala Dunia. Sementara pemain Belanda yang berpotensi menjadi rebutan banyak klub setelah Piala Dunia, Cody Gakpo, juga lahir dari ayah Togo.
Akan tetapi, tidak ada yang lebih fenomenal ketimbang Maroko. Sebanyak 12 dari 26 pemain lahir di tanah Maroko. Selain Perancis dan Belanda, sebagian pemain lahir di Belgia, Italia, Kanada, dan Spanyol.
Pelatih Walid Regragui, mantan pemain internasional Maroko, lahir di Perancis. Pemain terbaik saat Maroko menundukkan Belgia, Hakim Ziyech, sempat membela tim yunior Belanda. Selain itu, salah satu bek kanan terbaik di dunia saat ini, Achraf Hakimi, dilahirkan di Spanyol.
Pengatur serangan Abdulhamed Sabiri juga lahir di Maroko, tetapi besar di Jerman. Adapun kiper Yassine Bounou punya kesempatan besar membela Kanada karena dilahirkan di Montreal.

Pendukung Maroko di Rabat, Maroko, merayakan keberhasilan tim kesayangan mereka melangkah ke perempat final Piala Dunia Qatar 2022, Rabu (7/12/2022) dini hari WIB. Maroko mengalahkan Spanyol lewat adu penalti di babak 16 besar.
Pada Selasa, tim bertarung di laga 16 besar. ”Singa Atlas” Maroko menantang Spanyol. Hasilnya di luar dugaan. Tanpa mengecilkan peran pemain lainnya, anak-anak Maroko menjungkirbalikkan prediksi. Setelah tanpa gol hingga perpanjangan waktu, Maroko menang 3-0 lewat adu penalti.
Bounou mengagalkan empat pemain Spanyol, sedangkan tendangan Sabiri, Ziyech, dan Hakimi gagal ditahan kiper Unai Simon.
Sujud syukur dilakukan di lapangan menandai untuk pertama kalinya Maroko bakal berlaga di babak perempat final Piala Dunia. Kemenangan mereka tidak hanya milik warga Benua Afrika. Negara Arab pun ikut merayakannya saat sebagian pemain ikut membentangkan bendera Palestina.
Hakimi, yang pernah dipanggil bergabung dengan tim yunior Spanyol, mengatakan, semua pertandingan dan kemenangan dipersembahkan untuk keluarga dan warga Maroko. Ikatan keluarga, kata dia, telah memainkan peran penting dalam setiap laga.
”Dukungan keluarga yang membuatmu terus merasa di rumah sangat penting. Saya selalu berjuang untuk itu dan mereka setiap hari,” katanya.
Cinta itu sejauh ini luar biasa. Maroko membuktikannya. Namun, tidak hanya Maroko dan negera peserta Piala Dunia yang merasakannya.
Semakin nyata, bagi pekerja migran, diaspora, perantau atau apa pun namanya, Piala Dunia kali ini lebih dari sekadar kompetisi biasa. Meski tidak selalu manis, atas nama pesta bola, mereka ikut dibawa pulang menuntaskan rindu pada asal usulnya.
Baca juga : Maroko Luar Biasa