Claudio Taffarel, Perawat Tangan-tangan Terbaik Penjaga "Jogo Bonito"
Pelatih kiper Brasil Claudio Taffarel adalah salah satu pahlawan yang memenangi Piala Dunia AS 1994. Di Qatar, dia bertugas memastikan ketangguhan Alisson Becker, Ederson, dan Weverton demi piala yang keenam.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Kiper Alisson Becker masih berusia dua tahun saat Tim Nasional Brasil merebut trofi keempat di Piala Dunia Amerika Serikat 1994. Dalam laga yang berujung adu penalti, penjaga gawang Claudio Taffarel berhasil menahan tendangan Daniele Massaro. Momen itu membuat Taffarel menjadi pahlawan kemenangan Brasil atas Italia, 3-2 (0-0).
Hampir tiga dekade atau sekitar 28 tahun sejak kejayaan itu, Taffarel masih berada di belakang "A Selecao", julukan Brasil. Kiper dengan 106 cap yang kini berusia 56 tahun itu sedang membantu timnas memburu trofi keenam di Piala Dunia Qatar 2022.
“Aku seolah ingin berteriak Taffarel ! (Taffarel) Menjadi penanda hidup, bukan sekadar masa kecilku, melainkan kebanyakan orang Brasil,” kata Becker kepada Globo Esporte.
Taffarel dan Becker memang seperti sudah ditakdirkan bersama. Kiper berjulukan AB1 ini tidak pernah lupa dengan masa kecilnya yang menyenangkan bersama idolanya itu.
Dia kerap menonton ketangguhan penjaga gawang legendaris bernama lengkap Claudio Andre Mergen Taffarel itu. Becker bahkan mengawali karier di Internacional, klub yang sama dengan perjalanan mula Taffarel.
Selain bersama timnas, Taffarel sejak November 2021 juga bergabung dengan Liverpool. Di tim itu, nama Becker melambung tinggi. “Aku terkejut dengan kemampuan dan pengetahuannya yang alami, tanpa tekanan. Taffarel berdampak besar terhadap perjalanan karierku sebagai kiper,” kata Becker yang pada 2019 memborong anugerah Kiper Terbaik FIFA, Piala Yashin, Kiper Terbaik Dunia IFFHS, Sarung Tangan Emas Copa America, Sarung Tangan Emas Liga Inggris, Kiper Terbaik Liga Champions, dan Samba Gold.
Manajer Liverpool Jurgen Klopp mengatakan, Taffarel merupakan salah satu kiper terbaik dunia. Bukan sekadar karena kepahlawanan di final AS 1994 melainkan sepanjang karier profesional.
“Taffarel adalah kiper kelas dunia. Kami memerlukannya untuk membentuk filosofi penjaga gawang sendiri,” ujar Klopp.
Tetap tenang
Meski sukses bermain di 18 laga tiga edisi Piala Dunia yakni Italia 1990, AS 1994, dan Perancis 1998, Taffarel memulai karir kepelatihannya bukan di tim kelas satu. Tahun 2005 atau dua tahun setelah pensiun, Taffarel bergabung bersama kawan lama dari Romania, Gheorghe Hagi, untuk menangani Galatasaray, klub Turki.
Di Turki, dia memoles Faryd Mondragon, kiper Kolombia untuk tiga Piala Dunia. “Dia kiper luar biasa, profesional hebat, berkualitas teknik amat tinggi dengan kedua kaki dan posisi. Allison, Ederson, dan Weverton mendapat tangan terbaik,” kata Mondragon. Selain Becker, Brasil diperkuat Ederson Moraes (Manchester City) dan Weverton Pereira da Silva (Palmeiras) di Piala Dunia 2022.
Saat melatih, Taffarel selalu memerhatikan dan mengembangkan peran kiper yang semakin penting dalam sepak bola modern. Taffarel mendorong kiper dapat memosisikan diri dengan baik dan bugar selama pertandingan. Banyak video pelatihan kiper ditonton, dipelajari, diadaptasi, dan dikembangkan.
“Kami bertujuan menyelesaikan laga tanpa kemasukan sehingga kiper akan tetap tenang saat diserang," kata Taffarel di Doha saat mendampingi Brasil.
Taffarel nyaris menepati janjinya. Dalam perjalanan ke pesta bola Qatar, dari 17 laga kualifikasi, Brasil hanya kemasukan lima gol. Padahal, Taffarel menerapkan rotasi pada semua kipernya.
Becker tetap menjadi pilihan utama. Ederson turun di laga ketiga penyisihan saat meladeni Kamerun. Sedangkan Weverton diturunkan sebagai kiper pengganti ketika Brasil jauh unggul atas Korea Selatan.
Akan tetapi, semuanya belum selesai. Tangan dingin Taffarel bakal kembali diuji. Brasil bakal melawan Kroasia di perempat final di Stadion Education City di Ar-Rayyan, pada Jumat (9/12/2022). Jogo bonito yang getol menyerang bakal kembali menjadi andalan tim "Samba".
Sektor penjaga gawang dituntut menjadi penyeimbang sempurna bagi permainan jogo bonito. Meski menghibur dan mematikan, jogo bonito rawan menjadi pisau bermata ganda. Lengah di lini belakang adalah bumerang yang berbahaya.
Mengutip dari Historyofsoccer, Taffarel mengatakan, Piala Dunia adalah kompetisi padat dan tidak menoleransi kesalahan kecil. Ketika tim berbuat kekeliruan, yang ada hanya kegagalan. Brasil pernah merasakannya saat kalah telak 0-3 di Perancis 1998. Di tahun 2014, Brasil hancur lebur digilas Jerman 1-7.
“Itulah yang terjadi ketika kalah. Itulah bagian dari sepak bola. Namun, harus disadari kekalahan itu bukan karena Brasil buruk melainkan tim lain jauh lebih baik setidaknya selama laga,” kata Taffarel. (AFP)