Brasil Memimpin Barisan Spektakuler di Perempat Final Piala Dunia
Babak perempat final Piala Dunia 2022 menghadirkan sejumlah laga "blockbuster", seperti Perancis versus Inggris dan Belanda versus Argentina. Seperti apakah peluang masing-masing tim untuk menang, bahkan juara?
- Didier Dechamps, pelatih Perancis, berpeluang menyamai rekor Vittorio Pozzo sebagai satu-satunya pelatih yang mampu memberikan dua gelar Piala Dunia beruntun, yaitu pada 1958 dan 1962.
- Laga Belanda versus Argentina menandai duel dua pelatih jomplang usia. Louis van Gaal di Belanda adalah pelatih tertua, adapun Lionel Scaloni di Argentina adalah yang termuda.
- Satu-satunya tim yang mengungguli Argentina dalam peluang juara adalah Brasil. Inilah tim yang unggul segalanya di atas kertas, dibandingkan tim-tim lainnya. Peluang Brasil juara kini mencapai 28,3 persen.
Portugal, yang tampil spektakuler dengan menggilas Swiss, 6-1, Rabu (7/12/2022) lalu, melengkapi barisan perempat finalis Piala Dunia Qatar. Beberapa jam sebelumnya, tidak kalah spektakulernya, Maroko menciptakan “keajaiban” dengan menyingkirkan Spanyol di babak 16 besar. Konstelasi tim di perempat final kali ini pun cukup unik. Penuh blockbuster, tanpa mengenyampingkan potensi kejutan.
Barisan raksasa, yaitu Brasil, Perancis, Argentina, dan Inggris, telah lebih dulu menyegel tiket ke perempat final tanpa kesulitan berarti atas lawan-lawannya. Tim tradisional lainnya, Belanda, tidak ketinggalan menembus jajaran “elite” dunia, setelah nyaris delapan tahun absen. Finalis musim lalu, Kroasia, sekali lagi memperlihatkan mentalitas bajanya dengan lolos dari “lubang jarum” melawan Jepang.
Hadirnya kuartet raksasa, yaitu Brasil, Perancis, Argentina dan Inggris, tentunya menjanjikan laga menarik dan menghibur. Mayoritas pemain-pemain top yang berkecimpung di klub-klub papan atas Eropa berasal dari keempat negara itu. Tidak heran pula barisan juara dunia yang bisa kita juluki “The Fantastic Four” itu menempati peringkat lima besar dunia di laman FIFA.
Baca juga : Ulasan Lengkap Piala Dunia Qatar 2022
Hanya Belgia satu-satunya “top five FIFA” yang absen di perempat final setelah disingkirkan dua tim kuda hitam, Kroasia dan Maroko, di penyisihan grup. Bahkan, sejak sebelum Piala Dunia 2022 dimulai, Fantastic Four telah dijagokan bakal melangkah jauh, bahkan menjuarai turnamen akbar sepak bola itu.
Opta, penyedia layanan data sepak bola terkemuka sejagat, pada pertengahan November lalu, telah memprediksi keempat negara itu memiliki peluang terbesar untuk masuk delapan besar. Hanya satu prediksi mereka yang meleset, yaitu Spanyol. Bak deja vu, juara dunia 2010 itu kembali tersingkir di fase gugur lewat cara tragis yang sama, yaitu drama adu penalti.
Upaya “serba 1.000” Spanyol, yaitu rekor 1.000 operan dan 1.000 simulasi tendangan penalti, pun menjadi sia-sia. “La Roja” tersandung masalah yang sama. Padahal, konon, keledai pun tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Empat tahun lalu, di Rusia, Spanyol disingkirkan tuan rumah dengan cara yang sama. Serupa Rusia, Maroko menerapkan taktik swarm the box yang membuat “tiki-taka” ala Luis Enrique tak ubahnya permainan monoton dan membosankan.
Operan-operan rumit dari berbagai arah bak jaring laba-laba ala Spanyol tidak mampu mengancam, apalagi menerkam, mangsanya. Maroko pintar, tidak ingin menjadi santapan empuk Spanyol seperti halnya Kosta Rika yang tampil naif dengan bermain terbuka. Pasukan “Singa Atlas” mereplikasi hal yang dilakukan Jepang, yaitu bergerilya bersembunyi di balik bentengnya dan sesekali melancarkan serangan balik.
Portugal, juara Eropa 2016, adalah realita besar yang kini harus dihadapi Maroko di fase berikutnya. Skuad Portugal saat ini adalah yang terbaik.
Keteguhan Maroko pun terbayar. Pada adu penalti, mereka tampil lebih percaya diri dan menyerap semangat pendukungnya yang jumlahnya lima kali lebih banyak ketimbang fans Spanyol di Stadion Education City. Maroko, tim Arab atau Afrika Utara pertama yang melaju ke perempat final Piala Dunia, menjungkirbalikkan odds atau prediksi. Mereka adalah tim yang sungguh odd, janggal.
Peluang Maroko
Sebelum Piala Dunia digelar, tidak ada yang melirik Maroko. Opta bahkan hanya menaruh Maroko di peringkat ke-28 dari 32 peserta di Qatar. Peluang juaranya diperkirakan hanya 0,01 persen, ketika itu. Kini, dalam data AI Stats Perform terbaru, Achraf Hakimi dan rekan-rekannya melesat, masuk peringkat ketujuh dengan peluang 3,1 persen juara. Peluang mereka setara Kroasia.
Pertanyaannya, apakah mereka mampu melanjutkan kejutan di perempat final? Yang pasti, Maroko tidak akan tampil sendirian. Mereka akan didukung jutaan penggemar lainnya dari berbagai negara. Mereka adalah inspirasi bagi negara-negara Arab, Afrika, maupun Asia. Mereka adalah “duta” dari harapan banyak orang bahwa sepak bola bukan semata milik bangsa Eropa ataupun Amerika Latin. Pasukan Singa Atlas sekaligus adalah penjaga adagium sepak bola itu bulat. Apa pun bisa terjadi.
Tentunya tidak salah memiliki mimpi, apalagi itu adalah mimpi kolektif. Namun, jangan dilupakan pula ada hal lain di seberang mimpi yang bernama realita. Portugal, juara Eropa 2016, adalah realita besar yang kini harus dihadapi Maroko di fase berikutnya.
Baca juga : Maroko Berjaya, Afrika dan Arab Larut dalam Sukacita
Konon, sepak bola modern ditemukan Inggris, namun orang Portugis lah yang membuatnya indah. Keindahan itu bahkan dibawa mereka sampai ke Brasil. Meskipun Portugal belum sekali pun jadi juara Piala Dunia, mereka setidaknya bisa bangga, negara jajahannya itu adalah yang paling berjaya lewat lima trofi. Piala Dunia Qatar sekaligus penebusan mereka dalam 16 tahun terakhir.
Skuad terbaik Portugal
Setelah menembus semifinal edisi 2006 di Jerman, “Selecao das Quinas” berkali-kali meraih hasil mengecewakan. Terakhir, mereka kandas di babak 16 besar edisi 2018 seusai disingkirkan Uruguay. Namun, tim Portugal saat ini jauh lebih dewasa dan matang. Mereka pun lebih solid karena dilatih pelatih yang sama sejak menjuarai Piala Eropa 2016, yaitu Fernando Santos.
Skuad Portugal saat ini pun bisa dikatakan sebagai yang terbaik, melampaui era keemasannya pada 2006. Ketika itu, Portugal diisi pemain seperti Luis Figo, Deco, Nuno Gomes, dan Tiago. Tahun ini, kualitas skuad Portugal lebih merata di berbagai lini. Di lini belakang, mereka punya Ruben Dias, Pepe, dan Joao Cancelo, yang sulit ditandingi. Di lini tengah, mereka diperkuat Bruno Fernandes, William Carvalho, dan Bernardo Silva, yang kaya kemampuan teknik.
Lalu, di lini depan, mereka melimpah pemain papan atas. Joao Felix, Andre Silva, Rafael Leao, dan tentunya Cristiano Ronaldo, adalah barisan penyerang yang perlu ditakuti lawan. Mereka bahkan masih punya striker muda menakjubkan, Goncalo Ramos, yang baru saja mengemas hattrick dan rekor. Tak seperti Spanyol, barisan pemain Portugal itu bisa menjadi faktor pembeda dan memiliki teknik maupun kecepatan untuk menembus low block Maroko.
Dengan usia yang masih 23 tahun, Kylian Mbappe adalah satu-satunya manusia yang mungkin bisa menyamai rekor Pele, pemilik tiga trofi Piala Dunia.
Jika mampu menepikan ego barisan bintangnya, Portugal bakal mengerikan, seperti halnya ketika menggilas tim dengan pertahanan kuat, Swiss. Tahun ini adalah peluang terbaik mereka untuk setidaknya menembus final. Tak pelak, oleh Opta, Portugal ditempatkan sebagai unggulan kelima di perempat final dengan kans 10,7 persen untuk juara.
Pembuktian Deschamps
Melihat kualitas pemain dan soliditas tim, hanya Perancis dan Brasil yang lebih baik dari Portugal. Meskipun tidak diperkuat Paul Pogba, N'Golo Kante, dan Karim Benzema, “Les Bleus” terbukti masih menakutkan. Mereka adalah juara bertahan pertama yang mampu menembus babak gugur dalam 16 tahun terakhir. Capaian itu tidak terlepas dari peran pelatih Didier Deschamps yang sangat piawai mengatasi krisis dan pandai menjaga motivasi para pemainnya.
Deschamps, yang membantu Juventus kembali ke Serie-A setelah mengalami kehancuran seusai skandal calciopoli, berpeluang besar menjadi manusia pertama yang menyamai rekor yang sangat sulit ditandingi siapa pun, yaitu Vittorio Pozzo. “Bapak sepak bola” Italia itu adalah satu-satunya pelatih yang mampu memberikan dua gelar Piala Dunia beruntun, yaitu pada 1958 dan 1962.
Salah satu kepiawaian Deschamps adalah meyakinkan para pemainnya bahwa tim adalah hal utama di atas segalanya. Maka, dia mampu menekan ego salah satu bintangnya, Antoine Griezmann, dan memintanya bermain lebih ke dalam untuk menjadi trequartista. Padahal, sejatinya dia penyerang tengah atau second striker yang bertugas memburu gol. Di Perancis, Griezmann tidak lagi bertugas menjadi pemburu gol, melainkan mengarsitekinya.
Deschamps juga mampu membuat pemain gaeknya, Olivier Giroud, percaya diri dan merasa belum habis. Sang striker itu pun bak terlahir kembali di Qatar dengan mengemas tiga gol. Walaupun tidak setenar Benzema, Thierry Henry, atau Michel Platini, Giroud kini menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang masa Perancis dengan 52 gol. Di Qatar, koleksi golnya hanya kalah dari yuniornya yang banyak disebut “manusia planet”, Kylian Mbappe.
Baca juga : Kegemilangan Inggris Bakal Diuji Ketajaman Kylian Mbappe
Penyerang Paris Saint-Germain itu berada di puncak daftar “predator” di Qatar dengan torehan lima gol. Rekor demi rekor diukirnya. Akselerasi, teknik dribling, dan akurasi tembakannya, jadi momok bagi bek mana pun. Dengan usia yang masih 23 tahun, dia satu-satunya manusia yang mungkin bisa menyamai rekor Pele, pemilik tiga trofi Piala Dunia. Maka, Perancis ditempatkan Opta di peringkat ketiga dengan peluang 15,2 persen menjadi juara.
Kerinduan Inggris
Les Bleus bakal menjadi ujian tersulit Inggris, tim yang sangat merindukan trofi Piala Dunia. Sudah 56 tahun lamanya sejak terakhir kali tim “Tiga Singa” meraih trofi paling didamba itu. Inggris hampir selalu mengecewakan dan berkali-kali terluka di ajang besar. Inggris adalah ironi. Meskipun memiliki liga sepak bola terhebat sejagat, mereka seringkali inferior menghadapi tim-tim besar.
Sebagai contoh, dari delapan kali pertemuan sebelumya dengan Perancis, Inggris hanya bisa sekali menang dan lima kalah. Dalam dua edisi Piala Dunia terakhir, Inggris asuhan Gareth Southgare tak sekalipun menaklukkan tim yang dianggap besar. Di Rusia, mereka dua kali dikalahkan Belgia, yaitu di penyisihan grup dan perebutan peringkat ketiga. Di semifinal, mereka dikalahkan Kroasia lewat perpanjangan waktu.
Banyak beranggapan, kegagalan bertubi-tubi Inggris karena mereka bermain gitu-gitu aja, kick and rush. Meskipun memiliki sejumlah gelandang dan penyerang mumpuni, macam Bukayo Saka dan Harry Kane, mereka tidak punya regista, apalagi fantasista, yang punya visi bermain jernih untuk menjadi pemecah kebuntuan dan mengangkat kualitas permainan tim.
Baca juga : Mesin Kecerdasan Buatan Jagokan Brasil dan Argentina di Piala Dunia
Mereka mengklaim kini sudah punya sosok seperti Jude Bellingham yang mampu menjadi pemberi irama permainan di tim. Penampilan sang debutan sejauh ini memang menjanjikan. Tetapi, ia belum teruji menghadapi barisan bek tangguh, seperti Perancis. Meskipun demikian, banyak pengamat di Inggris menilai, Tiga Singa saat ini jauh lebih kuat dari Rusia 2018 maupun Piala Eropa 2020 ketika mereka dikalahkan Italia di final.
Inggris bisa saja mengungguli Perancis, namun itu harus dilakukan dalam kondisi terbaiknya serta nol kesalahan. Masalahnya, penampilan sempurna itu amat jarang dilakukan Inggris yang acapkali demam panggung, apalagi di ajang sebesar Piala Dunia. Maka, Opta menaruh mereka di peringkat keempat dengan potensi 13,6 persen menjadi juara.
Belanda vs Argentina
Selain Inggris versus Perancis, laga tak kalah spektakuler lainnya adalah Belanda versus Argentina. Laga ini bisa dibilang klasik, ulangan final 1978, perempat final 1998, atau semifinal 2014. Sama-sama menderita patah hati di edisi Rusia—yaitu Belanda absen, sementara Argentina kandas di 16 besar—kedua tim berangkat ke Qatar dengan pendekatan berbeda.
Belanda kembali ke gaya lama, pragmatisme, yang mengantarkan mereka ke semifinal 2014 dengan pelatih yang sama, Louis van Gaal. Adapun tim Tango dipimpin pelatih muda, Lionel Scaloni, yang berusaha menjadi sahabat para pemainnya. Inilah duel pelatih tertua dan termuda di Piala Dunia Qatar, yaitu Van Gaal (71) versus Scaloni (44).
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, Argentina lebih diunggulkan. Meskipun skuadnya tidak sementereng beberapa dekade lalu, tim Tango kali ini bermain lebih cair dan punya banyak ragam cara menembus pertahanan lawan. Jika lini tengah gagal, mereka bisa menembus lewat sayap. Yang tak kalah penting adalah peran Lionel Messi. Kali ini, dia tidak lagi merasa figur sentral mengingat usianya yang tak lagi muda.
Dia bermain lebih lepas dan berperan menjadi kreator, bukan sumber gol utama, meskipun berkali-kali menjadi pemecah kebuntuan timnya, seperti saat melawan Meksiko dan Australia. Mengingat Qatar 2022 kemungkinan menjadi the last dance baginya, rekan-rekan setimnya pun kini berupaya sekuat tenaga mengantarkan sang fenomenal meraih trofi yang belum pernah dimenanginya, Piala Dunia. Inilah hal lain yang disebut “faktor Messi”.
Maka, jika ingin mengadang Argentina, pertahanan solid Belanda tidak cukup hanya berfokus pada Messi. Angel Di Maria, Alexis Mac Allister, Julian Alvarez, bahkan bek sayap Nahuel Molina, bisa menjadi kreator gol sewaktu-waktu. Argentina lebih diunggulkan dengan peluang 58,7 persen untuk mengalahkan Belanda. Oleh Opta, Argentina juga ditempatkan di peringkat kedua dengan peluang 16,9 persen untuk juara. Adapun Belanda di peringkat keenam dengan peluang 9,2 persen.
Tarian samba
Satu-satunya tim yang mengungguli Argentina dalam peluang juara adalah Brasil. Inilah tim yang unggul segalanya di atas kertas, dibandingkan tim-tim lainnya. Skuad mereka, mulai dari kiper, bek, hingga striker, sulit disaingi tim manapun. Kedalaman skuad mereka juga mengagumkan. Mereka juga punya pelatih kaya pengalaman sekaligus motivator ulung, Tite.
Baca juga : “Jogo Bonito” Brasil Terlahir Kembali di Qatar
Hal yang tak kalah penting, Brasil telah belajar dari kegagalan di 2014—saat menjadi tuan rumah—maupun di Rusia 2018. Mereka tidak lagi menggantungkan penampilan pada faktor kebintangan, khususnya pada diri Neymar Jr. Tim “Samba” saat ini, meskipun punya banyak pemain bintang dan kaya talenta, adalah unit yang kompak. Kekompakan itu terutama diperlihatkan ketika mengalahkan Korea Selatan, 4-1, di fase 16 besar.
Mereka bermain sangat cair, kompak, dan atraktif. Kehebatan Korsel, yang mengalahkan Jerman dan Spanyol di fase gugur, pun tenggelam. Setiap pemain Brasil seolah menikmati permainan, gol demi gol. Mereka seolah kembali ke jati dirinya, jogo bonito, permainan yang indah dan menghibur. Setiap kali mencetak gol, mereka juga berdansa.
Mereka datang ke Qatar membawa kenangan indah di Jepang-Korea Selatan 2002. Kala itu, ketika terakhir kali sebelumnya Piala Dunia digelar di tanah Asia, mereka berjaya. Jika mampu menjaga kekompakan dan keceriannya, Kroasia bukan lawan yang sepadan bagi mereka di perempat final.
Peluang Tim Samba mengalahkan Kroasia, menurut Opta, mencapai 77,2 persen. Tertinggi di antara tim-tim lainnya. Mereka pun menempati peringkat pertama untuk menjadi juara, yaitu 28,3 persen.
Namun, bagaimanapun, sepak bola adalah pertunjukan, bukan matematika. Sepak bola dimenangi di lapangan, bukan di blanko kosong. Apa pun bisa terjadi, karena itulah sejatinya bola sepak yang bulat.
Jadwal Perempat Final : Brasil vs Kroasia, Jumat (9/12) pukul 22.00 WIB. Belanda vs Argentina, Sabtu (10/12) pukul 02.00 WIB. Maroko vs Portugal, Sabtu (10/12) pukul 22.00 WIB. Inggris vs Perancis, Minggu (11/12) pukul 02.00 WIB.