Cara Manusia Urban Membebaskan Diri Seusai Isolasi Pandemi Covid-19
Saat pandemi Covid-19 berangsur mereda, masyarakat urban mulai mengekspresikan kebebasannya. Salah satu cara adalah aktivitas di luar ruangan, seperti berjalan kaki melintas alam atau bersepeda di alam terbuka.
”Wuah, semuanya semringah di sini. Kayaknya kita lebih cocok hidup di alam dibandingkan di kota,” ujar Jeferson Petonengan (41), salah satu peserta trekking jalur Bukit Ilalang Sentul, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (19/11/2022).
Pernyataan Jeferson itu disambut antusias rekan-rekannya. ”Betul itu, bila perlu seminggu sekali kita ke sini,” kata Totok Sutartok (52), yang membuat suasana semakin ceria.
Jeferson dan Totok termasuk 18 anggota tim legal salah satu perusahaan peternakan terbesar di Indonesia yang mengikuti trekking, pagi itu. Mereka berasal dari sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, dan Surabaya. Ada pula yang datang dari Vietnam dan India seusai mengikuti pertemuan tim legal perusahaan itu sepekan terakhir.
Hari itu, mereka memilih jalur Bukit Ilalang Sentul berjarak sekitar 3 kilometer dari Kampung Cilaya, Desa Karang Tengah, Babakan Madang, hingga Kampung Wangun Landeuh di desa yang sama. Mereka menggunakan jasa pemandu lokal, Trekking Sentul Mas Mul.
Jalur itu sebenarnya tergolong ringan. Rutenya sebagian besar melalui perkampungan, perkebunan, persawahan, dan hamparan alang-alang dengan elevasi cenderung datar. Hanya ada beberapa ruas jalan menanjak dan menurun di perbukitan, tetapi tidak curam.
Baca juga: Olahraga Lintas Alam di Sentul Diminati Berbagai Kalangan Masyarakat
Rute itu dikondisikan sedemikian rupa sehingga aman dan nyaman dilalui peserta, yang mayoritas pemula dalam aktivitas luar ruangan. Tidak ada rute yang memaksa peserta menyeberangi sungai berarus deras dan merangkak naik dan turun tebing curam. Tidak ada pula jalanan becek berlumpur.
Oleh karena itu, rombongan yang sebagian besar berusia di atas 40 tahun dan kurang terlatih kegiatan fisik itu mampu menuntaskan perjalanan tanpa insiden dalam waktu sekitar 2 jam 30 menit. Bahkan, di tengah perjalanan, perempuan peserta trekking masih bisa bersolek membenahi riasan wajah. Di beberapa lokasi yang berlatar belakang perbukitan, lembah, atau sawah, mereka menyempatkan diri berfoto bersama.
Feni Intan (45), peserta asal Bogor yang sempat terpeleset di jalanan agak licin, masih bisa tersenyum lebar sesampai di di Kali Cigede (Sungai Ciherang), lokasi akhir perjalanan. Feni mengaku, ini pengalaman pertamanya ikut trekking dan sempat ingin berhenti di tengah jalan karena kelelahan.
Namun, semangat teman-temannya menulari Feni untuk menuntaskan perjalanan tersebut. ”Ini pengalaman luar biasa, bisa meniti jalan berlika-liku, lewat ilalang seperti hutan, dan mendaki bukit berasa naik gunung. Sebenarnya, capek banget untuk saya. Tapi, semuanya terobati oleh pemandangan alam di sini dan ketemu air (sungai), bikin refresh lagi. Malah, saya pengin seperti ini lagi. Mungkin nanti, saya ke sini lagi bareng keluarga,” ungkap Feni.
Jeferson mengatakan, dia dan teman-temannya sangat puas dengan trekking tersebut. Alam benar-benar ampuh melepas beban pikiran yang menumpuk karena kesibukan kerja dan ruwetnya kota. Alam pun bisa lebih mempererat kekompakan. Di tengah perjalanan, secara tidak langsung mereka saling menguatkan atau memotivasi.
”Di sini, kami bisa melupakan sejenak pekerjaan. Alam membuat jiwa lebih tenang dan pikiran lebih santai. Sebelumnya, aktivitas kami gitu-gitu aja, paling ngopi bareng ke kafe atau jalan-jalan ke mal dan ujung-ujungnya masih kepikiran pekerjaan,” ucap Jeferson, yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara, tetapi bermukim di Bekasi.
Baca juga: Minat Olahraga Berbasis Wisata Semakin Meningkat
Sama seperti Feni, Jeferson juga berencana kembali mencoba trekking dengan membawa keluarga. Bagi Jeferson, trekking bisa menjadi cara jitu untuk memancing dua anaknya kembali aktif bergerak. Lagi pula, selama pandemi, anak-anak dinilai paling terdampak. Mereka lebih banyak berdiam diri di depan gawai karena ada pembatasan sosial.
Perubahan pola liburan
Totok, yang aktif sebagai pencinta alam semasa kuliah, menduga trekking semakin diminati orang karena terjadi perubahan pola liburan di masyarakat setelah pandemi. ”Mungkin karena orang sudah bosan dengan wisata yang itu-itu saja dan selama pandemi orang tak bisa ke mana-mana,” ujarnya.
Ini pengalaman luar biasa, bisa meniti jalan berlika-liku, lewat ilalang seperti hutan, dan mendaki bukit berasa naik gunung.
Penikmat trekking asal Jakarta, Matthew (31) dan Stella (29), melakukan aktivitas itu untuk berolahraga sekaligus menenangkan pikiran. Aktivitas ini sangat menarik karena tidak membutuhkan biaya besar. Dengan mempelajari rute melalui media sosial, dirinya bisa menentukan perlengkapan sederhana yang akan digunakan.
Kegiatan ini bisa menjadi rutinitas baru karena kemudahan tersebut. Apalagi, dia sudah membeli sejumlah perlengkapan tambahan, seperti kantong tidur, sepatu, tas, dan tongkat gunung. ”Sepertinya, saya akan lebih sering naik bukit dan gunung,” ujar Matthew.
Pendiri Trekking Sentul Mas Mul, Mulyadin (30), menjelaskan, saat pandemi kunjungan tamu trekking melonjak dua kali lipat. Sebelum pandemi antara 2019-2020, jumlah tamu ke semua jasa pemandu di Sentul berkisar 2.000 orang setiap Sabtu-Minggu. Saat pandemi, jumlahnya meningkat hingga 5.000 orang tiap akhir pekan, meski kini mulai kembali ke angka 2.000-an orang.
”Pandemi membuat desa kami tambah maju. Di awal pandemi dampaknya belum terasa. Menjelang akhir 2020 sampai 2021, dampaknya baru terlihat. Jumlah tamu bertambah sekitar dua kali lipat menjadi 5.000-an orang,” katanya.
Menurut Mulyadin, melonjaknya kunjungan tamu boleh jadi karena warga bosan di rumah selama pandemi. Lokasi di Sentul juga tidak terlalu jauh dari Jakarta, dan menawarkan banyak pilihan obyek wisata.
Sedikitnya ada 12 destinasi dengan rute favorit adalah menjuju Curug Leuwihejo, Curug Kencana, Goa Garunggang, Curug Hordeng, Curug Mariuk, dan Puncak Kuta. ”Tamunya beragam, dari individu, keluarga, komunitas, sampai perusahaan,” ujarnya.
Dengan tarif Rp 105.000-Rp 175.000 per orang, pengunjung bebas memilih jenis paket yang diinginkan. Dengan tarif tersebut, pengunjung mendapatkan jasa pemandu, tongkat gunung, obat-obatan, air mineral, hingga biaya parkir kendaraan.
Pilihan rute yang beragam ini memberi banyak pilihan bagi konsumen, termasuk Rustino (43), warga Bekasi, Jawa Barat, yang baru pertama kali mencoba olahraga lintas alam. ”Ambil rute pendek saja, biar olahraga dan rekreasinya dapat sekaligus,” ujar Rustino.
Sepeda
Selain trekking, bersepeda ke luar kota juga menarik banyak peminat semenjak pandemi walau jika terus ditekuni olahraga ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Baca juga: Tren Gowes Terus Berlanjut Walau Pandemi Mereda
Salah satunya, Lukman Hakim (45), pegawai BUMN yang mengatakan ketagihan bersepeda sejak 2021. Pada Sabtu (19/11), dia berangkat sebelum matahari terbit dari Depok ke Sentul untuk bersepeda bersama teman-temannya.
Di titik temu di Taman Budaya, Sentul, Lukman bersama tiga rekannya melakukan pemanasan sebelum mendaki ke Kilometer Nol Sentul, Bojong Koneng.
”Saya bersepeda generasi pandemi, baru aktif 2021. Awalnya diajak teman-teman untuk jaga kesehatan, ujungnya ketagihan. Kalau ke Sentul ini sudah tujuh kali, lewat jalur Bojong Koneng baru sekali ini,” kata Lukman.
Senang sekali pariwisata di sini jadi ramai. Warga sama sekali tidak terganggu, warung, kafe, dan juru parkir juga kebagian rezeki.
Jalur yang mereka tempuh sejauh 10 km, dikenal cocok bagi penyuka tanjakan karena memiliki total lima tanjakan sebelum mencapai titik Km 0 di ketinggian 650 meter di atas permukaan laut.
”Jalur ini lebih menantang, masyarakatnya juga ramah. Kuncinya tidak usah terburu-buru, pintar-pintar mengatur nafas, yang penting sampai atas aman,” tuturnya.
Setiba di Km 0, mereka pun beristirahat di sebuah warung untuk minum dan mendiskusikan tanjakan yang mereka lalui. Tak lupa mereka berfoto di depan spanduk penanda titik Km 0 Sentul, dengan meminta tolong juru parkir untuk memotret mereka.
Bagi Idris, juru parkir itu, kehadiran pesepeda yang meramaikan Bojong Koneng adalah berkah tersendiri. Dia bisa mengantongi sekitar Rp 150.000 pada hari kerja, bahkan mencapai Rp 300.000 pada akhir pekan, dari uang tip yang diberikan pesepeda.
”Senang sekali pariwisata di sini jadi ramai. Warga sama sekali tidak terganggu, warung, kafe, dan juru parkir juga kebagian rezeki,” katanya.
Keindahan alam yang masih asri di Sentul menjadi ”magnet” tersendiri bagi pesepeda untuk berolahraga di sini. Selain lokasi tak jauh dari Jakarta, pesepeda juga bisa menikmati pemandangan hijau yang langka di Ibu Kota.
Indikasi
Indikasi meningkatnya minat masyarakat pada aktivitas terlihat di salah satu toko penyedia perlengkapan olahraga di Jakarta, Decathlon. Omnisport Leader Decathlon, Indra Ipep, mengatakan, tren penjualan selalu naik di atas 5 persen dalam tiga kuartal tahun 2022, didominasi perlengkapan olahraga lintas alam, seperti tenda, sepatu gunung, dan tongkat gunung. Hal ini juga terlihat dari penambahan jumlah cabang baru Decathlon di Jabodetabek.
Baca juga: Pola Olahraga Masyarakat Selama Pandemi akan Berlanjut
”Selama pandemi, 2020-2022, kami membuka tiga cabang baru. Pertumbuhan dua tahun ini hampir sama dengan selama empat tahun Decathlon beroperasi di Indonesia,” kata Indra, dua pekan lalu.
Indra melanjutkan, berdasarkan riset dari internal perusahaan, perlengkapan olahraga lintas alam masih akan diminati hingga tahun depan. Pameran perlengkapan olahraga lintas alam, seperti mendaki, memanjat tebing, dan aktivitas lintas alam lainnya menarik banyak peminat.
Selain olahraga alam, lari masih menjadi pilihan sebagian warga. Dihubungi terpisah, Marketing General Manager MAP Nino Priambodo menambahkan, lari juga masih menjadi favorit masyarakat. ”Lari digemari berbagai kalangan kerena perlengkapan yang diperlukan lebih sederhana ketimbang olahraga lain,” kata Nino.
Pemerhati olahraga Fritz E Simandjuntak menyebut, masyarakat semakin menggemari aktivitas yang menggabungkan olahraga dan kegiatan yang bisa mempererat hubungan sosial. Karena itu, olahraga yang berbasis rekreasi dan bisa diikuti banyak orang menjadi pilihan. Keterlibatan pemengaruh dan pegiat media sosial dengan banyak pengikut turut berpengaruh pada popularitasnya.
Baca juga: Mudah dan Murah, Lari Tetap Jadi Olahraga Primadona Masyarakat
”Fenomena peningkatan olahraga luar ruangan ini dipengaruhi aktivitas media sosial. Saat orang membuat unggahan dengan beraktivitas di tempat yang menarik, hal itu akan memacu orang lain untuk melakukan hal serupa,” kata Fritz.