Kala Panjat Tebing Masuk Kompleks
Panjat tebing identik sebagai olahraga ekstrem untuk peminat khusus. Seiring meningkatnya prestasi atlet nasional dan popularitas cabang ini, panjat tebing mulai berkembang sebagai olahraga masyarakat.
Beberapa waktu silam, panjat tebing identik dengan olahraga komunitas pencinta alam yang beraturan ketat dan latihan berat. Seiring meningkatnya prestasi pemanjat Indonesia di pentas dunia, mudahnya akses informasi, dan menjamurnya klub, panjat tebing tak lagi menjadi olahraga minat khusus.
Ditambah faktor melandainya pandemi Covid-19, masyarakat memiliki energi untuk mendobrak sekat dengan aktivitas luar ruangan yang penuh risiko. Kini, panjat tebing digeluti mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang sebelumnya awam dengan kegiatan ekstrem.
Suasana itu yang tampak dari dinding panjat tebing yang dibangun mandiri oleh Alfonso Reno (49) di taman kompleks kediamannya di Neo Permata Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Saat pria asal Malang, Jawa Timur, ini mengabarkan tetangganya untuk latihan bersama di dinding bertinggi 2,4 meter dan lebar 9 meter itu, anak-anak bersama orangtua mereka datang berbondong.
Dua bersaudara, El Shaddai Uli Basa Widianto (10) dan Eliezer Immanuel Hamonangan Widianto (7), tiba lebih dulu. Saat Uli dan Hamonangan sedang pemanasan, tujuh anak lainnya datang dengan empat orangtua. Jadilah dinding panjat itu tempat kumpul warga.
Anak-anak yang mendapat giliran fokus memanjat poin-poin di dinding dengan arahan Reno, yang berpengalaman menjadi atlet panjat tebing tingkat daerah pada 1992-2000. Anak-anak yang belum dapat giliran mengamati temannya atau asyik bergelantungan pada fasilitas pull up di taman. Anak-anak berusia lebih muda berlompatan di matras setebal 25 sentimeter di bawah dinding.
Sementara itu, ayah dan ibu yang hadir bercengkerama sambil mengawasi anak masing-masing. Suasana kian hangat ditemani limun dingin yang dibawa salah satu ibu.
Lihat juga: Bangkitnya Guyub Kompleks dari Dinding Panjat
”Karena pandemi, warga dan anak-anak jarang bertemu. Saya coba cari kegiatan yang bisa memancing kembali kebersamaan itu, terutama untuk anak-anak. Akhirnya, saya ada ide buat dinding panjat sekitar dua bulan lalu,” ujar Reno yang ditemui, Jumat (18/11/2022).
Biaya pribadi
Demi niat mulia menghidupkan guyub warga, Reno mengeluarkan biaya Rp 25 juta dari kocek pribadi untuk membangun dinding panjat itu. Dana terbesar dikeluarkan pria kelahiran 2 Oktober 1973 itu untuk membeli poin atau alat pegangan dan pijakan di dinding, seharga Rp 600.000 untuk enam poin kecil, atau satu poin besar. Terdapat 75 poin disebar di dinding tersebut.
Peralatan lain adalah matras tebal untuk meredam benturan. Dia membeli tiga matras, harganya Rp 2,4 juta per unit.
”Pembangunan ini tidak ada standarnya, yang penting aman. Makanya, saya pilih bangun dinding bouldering karena tidak terlalu tinggi dan tak butuh peralatan pengaman khusus seperti nomor speed dan lead. Warga bisa berlatih tanpa pengawasan kalau saya sibuk. Matras yang disediakan cukup tebal, bahkan masih aman untuk dinding 4-5 meter,” kata Reno.
Niat awal Reno adalah memfasilitasi minat anak keduanya, Bunga Cintaku (12), yang menggemari olahraga tersebut sejak empat tahun lalu. Biasanya, Bunga berlatih di Bremgra Indoor Climbing Gym, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, dua kali sebulan. Namun, jadwal kerja Reno padat sehingga tidak ada waktu menemani Bunga berlatih.
Baca juga: Waktunya Pemanjat "Lead" Indonesia Menari di Pentas Dunia
Untuk itu, Reno berinisiatif membangun dinding panjat di dekat rumah. Selain memudahkan Bunga berlatih, dinding itu menjadi tempat terapi yang baik untuk istrinya, Mimi Supariati (44), yang mengalami skoliosis (kelainan pada tulang belakang).
Reno menilai, panjat tebing bukan lagi olahraga asing. Warga sudah lebih mengenal panjat tebing sejak prestasi pemanjat Indonesia mendunia dan memecahkan rekor dunia nomor kecepatan. Akses mengenal olahraga itu juga sangat mudah, yaitu dengan menonton Youtube atau datang langsung ke klub panjat di kawasan urban seperti Jabodetabek.
”Panjat tebing telah menjadi gaya hidup. Orang telah mengenal dan bisa mencoba. Di sini, warga menyambut antusias saat saya mengabarkan rencana bangun dinding,” ujar Reno, alumnus Himpunan Mahasiswa Teknik Pecinta Alam Institut Teknologi Nasional Malang.
Pembangunan ini tidak ada standarnya, yang penting aman. Makanya, saya pilih bangun dinding bouldering karena tidak terlalu tinggi dan tak butuh peralatan pengaman khusus.
Reno biasa melatih panjat tebing di dindingnya setiap Sabtu atau Minggu pukul 08.00-10.00 Pesertanya 4-15 orang, sebagian besar anak-anak, yang termuda berusia empat tahun. Ada pula peserta berusia 50-an tahun, orang dewasa yang penasaran dengan panjat tebing. Peserta adalah warga kompleks meski sesekali datang teman dari luar kompleks.
Peserta nyaris tidak perlu membawa apa pun karena sepatu juga dipinjamkan oleh Reno. ”Saya tidak menarik biaya kepada warga atau anak-anak yang mau berlatih. Saya sudah senang kalau ada yang mau memanjat. Minimal, anak-anak bisa kenal dahulu dengan panjat tebing. Syukur-syukur ada yang berbakat dan bisa jadi atlet,” terang Reno yang juga menggemari sepeda motor trail, sepeda gunung, menyelam, dan mendaki gunung.
Balas dendam pandemi
Saat anak-anak bergelantungan di dinding panjat, tak tampak raut cemas di wajah orangtua mereka. Orangtua justru mengarahkan anaknya mengulangi gerakan atau mencoba gerakan yang lebih sulit.
Sofyan Dwi Noviar (46) salah satunya. Dia tidak khawatir melihat anaknya, Devandra (4), melompat dan terjatuh dari dinding. Sebagai peserta termuda, Devandra malah paling lincah di antara teman-temannya yang bertubuh lebih besar. Gerakan Devandra tampak cukup terlatih. Dia tak takut ketika diarahkan ke mana pun, termasuk ke poin tertinggi yang jaraknya nyaris tiga kali tingginya. Dia juga berani bergelantung dengan satu tangan dan dua kaki layaknya gaya khas karakter pahlawan fiksi, Spider Man.
Menurut Sofyan, dia tidak takut Devandra menekuni panjat tebing di kompleks dan klub karena perlengkapan keamanannya memadai, antara lain ada matras tebal dan orang dewasa yang mengawasi. Justru dia senang Devandra berminat dengan panjang tebing. Energi anak bungsu dari empat bersaudara itu cukup besar, tetapi tidak tersalurkan dengan baik selama pandemi.
Saat pandemi, Sofyan bersama istri dan empat anaknya nyaris tidak pernah beraktivitas di luar ruangan. Situasi itu sangat mencemaskan untuk perkembangan anak-anak. Karena lebih banyak di depan gawai, anak-anak jarang bergerak dan kurang interaksi sosial. Karena tidak tahu melepaskan energi ke mana, Devandra pernah memanjati lemari es, kursi, dan tangga yang lebih berbahaya dan butuh pengawasan ekstra.
”Di sini, Dev bisa meluapkan energinya yang terpendam selama pandemi. Selain bisa kembali berolahraga, Dev bisa bermain bareng lagi dengan teman-teman sebayanya. Saya rasa dua hal itu sangat penting dalam masa perkembangan anak-anak,” ujar Sofyan.
Devandra bercerita, dia sedih tidak bisa bermain di luar rumah selama pandemi. Akhirnya, dia memanfaatkan benda-benda yang ada di rumah sebagai taman bermainnya, seperti kasur tidur yang diimajinasikannya menjadi trampolin.
Baca juga: Raviandi Membuka Jalan Nomor "Lead" Lebih Kompetitif
Ketika keran bermain di luar rumah kembali dibuka, Devandra senang bukan main, terutama meluapkannya di panjat tebing. ”Dev suka panjat karena Dev tidak takut ketinggian dan tidak takut jatuh. Kan Dev mau jadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat) jadi enggak boleh takut,” kata Devandra sembari menunjukkan kaus Kopassus yang dikenakannya.
Warga Neo Pertama Bintaro lainnya, Banu Andika (38), menyampaikan, keceriaan di dinding panjat tebing itu bukan cuma dirasakan oleh anak-anak. Dengan menemani anak-anak bermain di sana, para orangtua bisa kumpul-kumpul lagi.
”Yang pasti kegiatan luar ruangan seperti ini sangat positif. Untuk anak-anak, mereka bisa kembali bergerak sebagaimana naluri alami mereka. Orangtua pun bisa guyub lagi seperti sebelum pandemi,” ungkap Banu, ayah Rinjani (9) yang menjadi salah satu peserta latihan panjat tebing hari itu.
Meningkat
Tren peningkatan minat berlatih panjat tebing terekam oleh Federasi Panjat Tebing Indonesia. FPTI mencatat jumlah pemanjat tebing yang terdaftar pada federasi meningkat dari ratusan orang pada 2018 menjadi lebih dari 1.200 orang saat ini, dari kelas amatir hingga profesional. Jumlah pemanjat yang belum terdaftar diperkirakan lebih dari 4.000 orang.
Titik baliknya mulai kami rasakan sejak Asian Games 2018. Antusiasme masyarakat untuk olahraga panjat tebing itu tinggi.
”Titik baliknya mulai kami rasakan sejak Asian Games 2018. Antusiasme masyarakat untuk olahraga panjat tebing itu tinggi. Di Pulau Jawa hampir merata, banyak sekolah mendirikan fasilitas dinding panjat. Fasilitas umum seperti di mal juga mulai tumbuh. Ini sangat membantu memasyarakatkan panjat tebing,” kata Dewan Penasihat FPTI Sapto Hardiono, Selasa (15/11/2022).
Saat Asian Games, panjat tebing menjadi olahraga kedua setelah pencak silat yang paling banyak menyumbangkan emas untuk Indonesia, yakni tiga emas. Tiga emas itu diraih tim putra dan putri di nomor kecepatan estafet, serta Aries Susanti Rahayu di nomor kecepatan putri.
Federasi Olahraga Memanjat Dunia (IFCS) juga mencatat Leonardo Veddriq sebagai atlet panjat tebing terbaik di nomor kecepatan putra dan Katibin Kiromal di posisi kedua. Di bagian putri, Desak Made Rita Kusuma Dewi berada di peringkat ke-10.
Sapto berharap, tingginya animo masyarakat bisa menjamin regenerasi atlet panjat tebing. Dia mengatakan, panjat tebing adalah olahraga yang sangat aman dan baik untuk membentuk mental pemanjat, khususnya untuk anak-anak.
”Semoga dengan ramai peminat ini regenerasi terus berjalan. Sekarang ada 10 atlet junior usia 15 tahun di pelatnas yang kami siapkan untuk Olimpiade 2028 dan 2032. Hal ini sudah mulai kita siapkan dari sekarang,” tuturnya.
Tingginya animo masyarakat terhadap panjat tebing tergambar di sejumlah klub yang mulai kebanjiran peserta. Klub IndoClimb di Mal FX Senayan, Jakarta, misalnya, jumlah anggtoanya meningkat 100 persen pada 2022. Kini ada sekitar 7.000 orang dewasa dan 1.000 anak-anak menjadi anggota.
Michael Ming (25), misalnya, bergabung dengan IndoClimb pada akhir Agustus 2022. Pegawai swasta di Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta ini rela mengeluarkan uang Rp 1 juta per bulan untuk menjadi anggota IndoClimb untuk berlatih panjat tebing. Dia mengaku berlatih minimal tiga kali seminggu, pada sore hari selepas pulang kerja.
Baca juga: Prestasi Atlet Membuat Panjat Tebing Semakin Populer
”Sewaktu kuliah ingin ikut, tetapi sibuk belum sempat bergabung. Sekarang sudah kerja baru bisa ikut mencoba bermain, jadi rutinitas. Tergantung pekerjaan juga. Kalau tidak lembur, seminggu bisa tiga kali,” kata Michael.
Awalnya, Michael belum membeli sepatu khusus panjat dan meminjam sepatu yang disediakan IndoClimb. Ketika sudah nyaman memanjat, dia tidak ragu membeli sepatu khusus panjat tebing seharga Rp 2,5 juta.
”Aku beli sepatunya 1,5 bulan setelah memanjat. Sebenarnya untuk pemula seperti aku disiapkan sepatu. Untuk lead juga disiapkan tali dan sabuk pengaman. Jadi cukup bawa badan saja dan tidak perlu rumit mengumpulkan orang. Berangkat sendiri sudah bisa olahraga,” tuturnya.
Pendiri IndoClimb, Fedi Fianto mengatakan, faktor pandemi Covid-19 juga membuat klub panjat tebing ramai dikunjungi. Panjat tebing dianggap sebagai olahraga individu yang aman dari interaksi orang banyak sehingga aman dari potensi penularan virus Covid-19.
Hal serupa dirasakan di fasilitas panjat tebing Peak To Peak, Alam Sutera, Tangerang. Animo masyarakat untuk bermain meningkat hingga ratusan orang per hari, sedangkan yang membuat kartu anggota sebanyak 50 orang.
”Pandemi cukup mengurangi orang yang datang, tetapi kini mulai ramai lagi,” kata pemilik Peak to Peak, Naldo Japardy. Dia juga berharap, pemerintah bisa fokus membina panjat tebing terutama di nomor lead dan boulder yang sangat populer di dunia.