Francesco Bagnaia, Transformasi Penerus Dinasti Italia di MotoGP
Francesco Bagnaia mengakui dirinya sedikit sulit menerima nasihat. Namun, momen-momen sulit di MotoGP mendewasakan dirinya, hingga mau mendengar saran untuk perbaikan. Transformasi itulah yang jadi kunci Bagnaia juara.

Pebalap tim Ducati, Francesco Bagnaia, merayakan keberhasilannya menjuarai MotoGP seusai seri terakhir dalam MotoGP seri Valencia di Sirkuit Ricardo Tormo, Cheste, dekat Valencia, Spanyol, Minggu (6/11/2022).
Francesco Bagnaia mengakui dirinya orang yang sulit menerima nasihat. Namun, momen-momen sulit di MotoGP mendewasakan dirinya, mau mendengar saran untuk perbaikan. Transformasi itulah yang menjadi kunci Bagnaia meraih gelar juara dunia MotoGP.
Bagnaia bukanlah pribadi yang eksplosif. Perasaan yang berkecamuk dalam dirinya tersembunyi dalam senyum dan raut wajah yang kalem. Padahal, mesin kecerdasan di dalam kepalanya sedang bekerja keras mengurai berbagai data untuk bisa menghasilkan formula jitu untuk memperbaiki performanya dalam setiap balapan MotoGP. Dia sosok pemikir, yang dalam babak tertentu dalam hidupnya, sulit menerima masukan untuk memperbaiki kelemahan.
Namun, Bagnaia juga sosok pembelajar, dia gemar mengisi ruang inteligensinya dengan membaca buku, terutama otobiografi atlet-atlet top dunia. Meskipun sudah tidak sekolah formal sejak 2013 karena fokus pada karier balapan, Bagnaia tetap mengembangkan wawasan lain dari buku serta media lain. Satu contoh kecil, dia mengasah kemampuan berbahasa Inggris-nya dengan sering menonton film dengan terjemahan (subtitle) bahasa Inggris.
Olah pikir Bagnaia itu menjadi fondasi krusial untuk mengurai berbagai masalah yang dia hadapi begitu memasuki persaingan super ketat di MotoGP mulai musim 2019. Musim pertamanya bersama tim satelit Ducati, Pramac Racing, itu tidak berjalan mulus. Dia sering terjatuh karena Desmosedici GP sangat sulit dikendalikan. Bagnaia memasuki babak baru yang jauh lebih sulit dari Moto2 yang dia juarai pada musim 2018.
Baca juga: Sosok Rrossi Melampaui MotoGp
”Dalam tes (pramusim MotoGP 2019) saya tanpa beban dan bisa kompetitif, sangat cepat, itu luar biasa, pada saat itu. Tetapi kemudian tiba balapan pertama dan saya tidak kompetitif, saya di belakang, sangat kesulitan, banyak kecelakaan, dan saya menjalani 4 atau 5 balapan dengan poin nol karena kecelakaan terus. Pada saat itu, saya sangat frustrasi, saya sangat marah, saya sangat kehilangan semangat. Saya berusaha menjadi lebih baik dan saat itu saya menjalani pertemuan besar di Ducati untuk memahami kesalahan saya, mengapa saya sangat lambat,” ujar pebalap berjuluk Pecco itu seusai menjuarai MotoGP 2022 di Sirkuit Ricardo Tormo, Valencia, Minggu (6/11/2022).
Pecco pun berjuang keras memperbaiki kemampuannya. Ini bukan masalah tentang kekurangan bakat atau motor Ducati tidak kompetitif. Namun, Desmosedici GP menuntut perubahan gaya membalap yang radikal, dan tidak semua pebalap mampu melakukan itu.
Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo pun berubah menjadi pebalap papan tengah karena kesulitan menemukan kunci pengendalian Desmosedici. Sangat sedikit pebalap yang bisa, itulah mengapa dalam sejarah Ducati di MotoGP, sebelum Pecco juara pada 2022, hanya Casey Stoner yang juara pada 2007.

(Dari kiri) Juara dunia Moto2 Augusto Fernandez, juara dunia MotoGP Francesco Bagnaia, dan juara dunia Moto3 Izan Guevara berpose bersama seusai MotoGP seri Valencia di Sirkuit Ricardo Tormo, Cheste, dekat Valencia, Spanyol, Minggu (6/11/2022).
Pecco yang sangat kuat dalam kecepatan menikung, yang menjadi jurus sakti menjuarai Moto2 pada 2018, tidak bisa begitu saja menerapkan jurus itu pada Desmosedici. Dia pun berjuang keras mengasah pengereman super keras, lebih keras dari Andrea Dovizioso, untuk bisa membelokkan Desmosedici dengan lebih cepat. Dia mengasah itu dengan motor jalan raya Ducati Panigale, dan menerapkan dalam balapan MotoGP. Hasilnya, kadang berujung kecelakaan. Namun, Pecco merasakan peningkatan performa dan terus mengasah teknik pengereman keras itu.
Kerja keras yang panjang itu akhirnya menghasilkan kemenangan pertamanya di kelas MotoGP pada musim 2021, setelah bersaing ketat dengan Marc Marquez di Aragon. Marquez menilai, Pecco sangat sulit didahului karena mengerem sangat telat dan sangat keras. Sejak kemenangan perdana itu, Pecco sadar bahwa dirinya bisa menang dengan Desmosedici yang berkembang jauh lebih baik di bawah pengembangan Gigi Dall’Igna.
”Tahun 2021 adalah tahun di mana saya bukan pebalap yang lengkap, tetapi saya memahami bahwa saya bisa menang. Saya bersaing meraih gelar juara, tetapi saya tidak benar-benar bersaing meraih juara karena Fabio (Quartararo) luar biasa tahun lalu. Tetapi saya berusaha menutup kehilangan poin dan saya finis di posisi kedua. Itu sudah sangat bagus,” ungkap Pecco.
Pecco pun mengawali persaingan MotoGP musim 2022 dengan motivasi juara. Namun, motor barunya tidak siap untuk bersaing. Dia bisa cepat, tetapi sering kecelakaan karena ada sesuatu yang tidak sinkron antara gaya membalapnya dan setelan motor. Dia terjatuh lima kali musim ini. Kecelakaan paling mengecewakan terjadi di Sachsenring, Jerman.
Baca juga: Pecco, Waspadai Kejutan di Valencia
”Itu balapan terberat bagi saya, karena seperti di Le Mans, saya memiliki peluang untuk menang, tetapi kemudian saya terjatuh. Pada saat itu saya menyadari kelemahan saya adalah saya pebalap yang sering naik turun, cepat tetapi tidak konsisten, dan untuk bisa menerima itu tidaklah mudah. Sejak saat itu saya mengetahui masalahnya dan berusaha meningkatkan diri saya bersama orang-orang dekat saya dan tim,” ungkap Pecco.
Namun, momen sulit itulah yang mengubah Pecco, sebagai pebalap sekaligus sebagai manusia. Dia menjadi lebih terbuka menerima saran, mau berubah, dan pantang menyerah. Momen kebangkitan itu menghasilkan lima kemenangan, sekali podium kedua, tiga kali podium ketiga, dan sekali terjatuh di Jepang. Pencapaian itu membuat Pecco kokoh di puncak klasemen, unggul 23 poin atas Quartararo. Itu modal besar untuk juara dalam seri terakhir di Sirkuit Ricardo Tormo, Valencia, Minggu (6/11/2022) di mana dia finis di posisi kesembilan.
Gelar juara MotoGP yang diraih Pecco ini bermakna besar karena ini merupakan gelar pertamanya, juga mengakhiri penantian 15 tahun Ducati. Pun, dirinya menandai kesuksesan Akademi VR46 sebagai lulusan pertama yang menjadi juara MotoGP. Selain itu, Pecco menjadi pebalap Italia pertama setelah Giacomo Agostini pada 1972, atau 50 tahun lalu, yang juara level elite grand prix dengan motor buatan Italia. Dia melanjutkan tradisi juara MotoGP yang sempat terhenti setelah Valentino Rossi juara pada 2009.
Awal mimpi juara
Pecco kini merasa bebas seperti motonya #GoFree setelah juara, dan mengembalikan gelar ke Italia. Dia telah mewujudkan mimpi besar yang tumbuh seiring dengan deru mesin motor yang dia pacu sejak kanak-kanak. Dia tumbuh di keluarga pebalap meskipun di level lokal. DNA pebalap sudah tersemai sejak kecil.

Pebalap tim Ducati Francesco Bagnaia memacu motornya pada MotoGP seri Valencia di Sirkuit Ricardo Tormo, Cheste, dekat Valencia, Spanyol, Minggu (6/11/2022). Bagnaia memastikan menjadi juara dunia pada seri itu.
”Kedua paman saya dan ayah saya sering pergi ke sirkuit dengan motor jalan raya mereka dan saat saya bisa ikut, saya ikut mereka. Sungguh luar biasa rasanya bisa melihat mereka berkendara. Saya masih ingat dengan jelas saat ayah menerima motor Aprilia RSV4 dengan dua lampu bulat di bagian belakang, dan saya terkejut betapa indahnya motor itu, sungguh menyenangkan,” kenang Pecco.
”Motor pertama saya adalah Beta 50, motor trail mini. Saya mengendarai itu di kebun nenek dan kakek saya. Mereka sedikit marah karena saya menghancurkan semuanya. Itulah kedekatan pertama saya dengan motor,” ujar pebalap berusia 25 tahun itu.
Perkenalan pertama Pecco dengan motor trail mini itu membuka arah bakat dia di jalan raya. Dia selalu berusaha menikung dengan motor trail seperti balapan di lintasan aspal, lutut keluar menyentuh tanah, bak para pebalap MotoGP yang ”rebah” di tikungan.
”Saya masih ingat saat berusaha menyentuhkan lutut saya (ke tanah) dengan motor motokros dan itu bukan situasi terbaik sehingga ayah saya berusaha mengatur pengalaman pertama saya di trek. Itu pada 2004, dan saya mengendarai pocket bike sewaan dan ayah saya sering ketakutan karena saya kadang tanpa mengerem, kadang saya kehilangan posisi duduk, dan kemudian dia memutuskan untuk membelikan saya pocket bike bekas, sangat tua. Saya sangat menikmati itu, warnanya merah, nomor 19 punya Alvaro Bautista, saya ingat itu. Itu pengalaman pertama saya dengan motor,” lanjut Pecco.
Pecco kemudian mengasah kemampuan balapnya di ajang CEV yang berlangsung sebagian besar di sirkuit-sirkuit Spanyol. Dia kemudian masuk Akademi VR46. Pada 2013 ia menjalani debut Grand Prix Moto3. Pecco empat musim di Moto3, terakhir pada 2016 bersama Pull & Bear Aspar Mahindra, di mana di luar dugaan dia bisa meraih dua kemenangan. Kemenangan itulah yang membuat dia bisa mencoba motor MotoGP tim Aspar pada akhir musim 2016, yang membuat dirinya bermimpi menjadi juara MotoGP.
”Terkait tes itu, saya melakukan pertaruhan di awal musim (2016) dengan Gino (Borsoi) dari Aspar. Pertaruhannya adalah jika saya meraih dua kemenangan tahun itu, saya akan mengendarai motor MotoGP mereka dan mereka mengatakan ya, karena mereka pikir dengan Mahindra akan sulit untuk kompetitif, tetapi kami melakukan itu,” ungkap Pecco.
Dia merasakan sensasi yang luar biasa. Saat pertama menyentuh motor MotoGP, ia sungguh sulit percaya. ”Saya balapan dengan motor Moto3, motor kecil dengan satu silinder, dan saya beralih ke motor dengan sekitar 300 tenaga kuda, itu sungguh luar biasa, dan saya selalu memimpikan itu (juara MotoGP),” ujarnya.
”Dan mimpi saya terjadi dengan banyak naik turun, dengan banyak masalah, kendala, tetapi saya tidak pernah kehilangan ambisi, tidak pernah kehilangan keinginan itu, karena saya ingin melakukan itu (menunjuk papan gelar juara MotoGP 2022),” kata Pecco.
”Saat ini saya merasa saya telah melakukan sesuatu yang luar biasa, saya merasa sangat bangga pada diri saya, itu sesuatu yang sangat bagus, sesuatu yang rasanya berbeda dibandingkan yang lainnya, dan saya pikir saat ini jika ada ukuran untuk kegembiraan saya ada di level maksimal,” lanjut Pecco.

Mekanik tim Ducati menyiapkan motor pebalap Francesco Bagnaia saat berlangsung sesi latihan bebas kedua MotoGP seri Valencia di Sirkuit Ricardo Tormo, Cheste, Jumat (4/11/2022).
”Ini sungguh luar biasa, saya senang dengan itu, dan enam tahun lalu saya sudah memimpikan ini, tetapi bermimpi dan melakukan adalah dua hal yang sangat berbeda. Saya perlu keberuntungan untuk bisa melakukan itu. Benar bahwa saya mengerahkan kemampuan terbaik saya untuk bisa berada di sini, melakukan ini, tetapi saya juga mendapat keberuntungan karena saya bisa bersama orang-orang terbaik yang pernah saya temui di VR46, dengan tim Aspar yang memberi saya kesempatan untuk bisa kompetitif lagi. Saya mendapat kesempatan di MotoGP dengan tim yang sangat bagus, memiliki kesempatan di tim pabrikan dan menemukan sesuatu yang luar biasa, seperti atmosfer. Jadi dengan keberuntungan dan kerja keras saya bisa meraih ini,” pungkas Pecco.
Francesco Bagnaia
Kebangsaan: Italia
Lahir: Turin, 14 Januari 1997
Tim MotoGP: Ducati Lenovo
Nomor Motor: 63
Tinggi Badan: 176 cm
Berat Badan: 67 kg
Prestasi:
- Juara Moto2 2018
- Juara MotoGP 2022
Karier Grand Prix:
- Moto3 (2013-2016)
- Moto2 (2017-2018)
- MotoGP (2019-sekarang)
Statistik di MotoGP:
- Kemenangan 11
- Podium 20
- Start Terdepan 11
Pencapaian:
- Pebalap Italia pertama dalam 50 tahun setelah Giacomo Agostini yang juara dengan motor Italia
- Pebalap Italia pertama juara MotoGP setelah Valentino Rossi 2009
- Pebalap pertama Akademi VR46 juara MotoGP
- Pebalap pertama dengan kebangkitan terbesar, juara MotoGP setelah sempat tertinggal 91 poin
- Pebalap pertama yang juara MotoGP setelah lima kali gagal finis