Komnas HAM Tetapkan Adanya Pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM dan indikasi tindak pidana dalam peristiwa Kanjuruhan. Komnas HAM pun menuntut agar pihak-pihak terkait mau bertanggung jawab.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komnas HAM menetapkan adanya pelanggaran HAM dalam peristiwa Tragedi Kanjuruhan saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (2/11/2022). Pelanggaran HAM atas 135 korban jiwa dan ratusan korban luka-luka tersebut terjadi akibat praktik tata kelola sepak bola di Indonesia yang tidak mengedepankan aspek keselamatan dan keamanan.
Dalam konferensi pers itu, Komnas HAM menyebut ada tujuh pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober lalu. Ketujuh pelanggaran HAM itu adalah penggunaan kekuatan aparat yang berlebihan, hak memperoleh keadilan, hak untuk hidup, hak kesehatan, hak rasa aman, hak perlindungan anak, dan pelanggaran atas businessandhumanright atau mementingkan bisnis tanpa mempertimbangkan aspek HAM.
"Kami simpulkan ini bukan pelanggaran HAM berat karena kami tidak menemukan unsur-unsur yang ada di Undang-undang No. 26 tahun 2000, yaitu sistematis atau meluas. Sistematis dilihat dari struktur komando atau ada perintah secara jelas maupun perencanaan," kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara.
Beka menambahkan, pihaknya menemukan adanya perintah di lapangan dalam kejadian di Kanjuruhan seusai laga Liga 1 antara Arema FC versus Persebaya Surabaya. Akan tetapi, perintah itu merupakan bentuk respons cepat atas situasi yang terjadi di lapangan. Ketika itu, sejumlah aparat Polri dan TNI menembakkan gas air mata.
Komnas HAM juga menyoroti kewenangan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam membuat regulasi sepak bola di Indonesia. Terkait pelaksanaan pengamanan pertandingan, mereka menilai PSSI telah menginisiasi perjanjian kerja sama dengan kepolisian.
Maka, dalam temuannya Komnas HAM menilai ada pelanggaran dalam perjanjian kerja sama antara PSSI dan Kepolisian Negara RI. Komnas HAM menyebut perjanjian itu tidak sesuai dengan regulasi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pasal 19 tentang Stadion Safety and Security atau regulasi Keamanan Stadion.
"Tidak hanya melanggar aturan FIFA dan PSSI, tapi secara faktual, itu bisa menjadi pelanggaran terhadap hukum pidana," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam.
Choirul menambahkan, dalam perjanjian tersebut, seluruh rencana pengamanan pertandingan dilimpahkan kepada pihak Polri. Dari perjanjian itu, keterlibatan Brimob, penggunaan gas air mata, pengerahan kendaraan barracuda dan tim Sabhara di arena laga dimungkinkan untuk mengamankan pertandingan.
PSSI juga dinilai tidak memperhatikan standar ketentuan lisensi dan sertifikasi pada komisioner pertandingan. Berdasarkan temuan Komnas HAM, komisioer pertandingan saat itu bahkan tidak memegang lisensi dari Asosiasi Sepak Bola Asia (AFC).
"Ketua Umum dan Sekjen PSSI tidak mengambil langkah konkret sesuai dengan regulasi atas pertandingan berisiko tinggi. Kewenangan yang dimiliki tidak digunakan untuk menjamin keamanan dan keselamatan pertandingan," ungkap Choirul kemudian.
Rekomendasi
Atas berbagai temuannya itu, Komnas HAM mengajukan beberapa rekomendasi terhadap Presiden RI, PSSI, PT Liga Baru Indonesia (pengelola liga), Indosiar selaku pemegang hak siar, aparat, Arema, dan komunitas suporter.
Secara tidak langsung, gas air mata dapat memicu kepanikan hingga berakibat korban berjatuhan. Melalui uji laboratorium, Komnas HAM juga menemukan bahwa gas air mata yang digunakan sudah kadaluwarsa.
Kepada Presiden Joko Widodo, Komnas HAM meminta agar dilakukan evaluasi terhadap tata kelola sepak bola Indonesia secara menyeluruh. Jika dalam waktu tiga bulan tidak ada langkah konkret, Komnas HAM merekomendasikan seluruh aktivitas sepak bola di bawah PSSI dibekukan.
Selanjutnya, Komnas HAM meminta agar aparat penegak hukum menindaklanjuti temuan Komnas HAM. Tindak lanjut tersebut tidak hanya sebatas kode etik, melainkan juga dugaan tindak pidana.
Khusus PSSI, Komnas HAM memberikan rekomendasi agar induk sepak bola nasional itu melakukan evaluasi terhadap regulasi sepak bola di Indonesia. Dari temuan Komnas HAM, PSSI tidak mengedepankan aspek keselamatan dan keamanan dalam regulasinya, termasuk penentuan pertandingan berisiko tinggi seperti laga Arema versus Persebaya pada 1 Oktober lalu.
Adapun kepada PT LIB dan dan pemegang hak siar, Komnas HAM merekomendasikan agar kedua pihak lebih mengedepankan aspek keamanan dan keselamatan ketimbang kepentingan komersial atau sponsor. Komnas HAM juga meminta aremania dan pengurus suporter agar melakukan pembinaan terhadap anggotanya dengan mengedepankan semangat sportivitas.
Faktor utama
Dalam investigasinya, Komnas HAM menemukan fakta bahwa penggunaan gas air mata menjadi faktor utama penyebab jatuhnya korban, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, dalam kondisi tertentu, gas air mata dapat mematikan. Namun, hal itu perlu dikaji lagi dengan pendekatan ilmiah lainnya, seperti otopsi.
Sementara secara tidak langsung, gas air mata dapat memicu kepanikan hingga berakibat korban berjatuhan. Melalui uji laboratorium, Komnas HAM juga menemukan bahwa gas air mata yang digunakan sudah kadaluwarsa.
Selain Beka dan Choirul, dalam konferensi pers tersebut hadir pula Ketua Umum Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.