Steven Gerrard dan Kursi Panas Manajer Liga Inggris
Proses adalah sebuah kata yang sangat langka bagi para manajer Liga Inggris. Tugas mereka saat ini lebih mirip seperti seorang pesulap, dibandingkan peracik strategi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Kurang dari tiga bulan Liga Inggris berlangsung musim 2022-2023, sudah empat manajer yang menjadi korban pemecatan klub. Korban terbaru adalah Steven Gerrard. Gelandang legendaris kebanggaan Inggris itu dipecat dari posisi manajer Aston Villa, saat belum genap setahun menukangi klub tersebut.
Gerrard yang menggantikan Dean Smith pada November 2021, dipecat hanya dalam rentang 11 bulan. Tugasnya sudah berakhir bahkan belum menjalani satu musim penuh di Villa. Dia memimpin 27 laga pada musim lalu dan 11 laga pada musim ini.
Dari 38 pertandingan Liga Inggris, Gerrard hanya menang 12 kali dan kalah 18 kali. Pemicu pemecatan itu adalah hasil musim ini. Villa berada di peringkat ke-17, satu posisi di atas zona degradasi, dengan hanya dua kali menang dari 11 laga (9 poin).
Nasib Gerrard kurang baik. Selain petinggi klub yang ingin perubahan, para pendukung Villa juga sudah tidak percaya terhadapnya. Kombinasi itu pun menjadikannya manajer ke-4 yang dipecat musim ini, setelah Scott Parker (Bournemouth), Bruno Lage (Wolves), dan Thomas Tuchel (Chelsea).
Manajer Newcastle Eddie Howe berkata, pemecatan Gerrard bukan soal kualitas. Mantan kapten Liverpool itu sudah membuktikan kualitasnya saat bersama Glasgow Rangers. Dia mengantar Rangers juara Liga Skotlandia sekaligus menyudahi dominasi Celtic yang juara 10 musim beruntun.
“Dia adalah manajer yang bagus. Saya pikir (pemecatan) itu memperlihatkan bagaimana pemikiran dan reaksi dalam jangka pendek. Kami (manajer) punya pekerjaan sangat sulit karena penuh ketidakpastian, juga karena banyaknya yang ingin hasil instan,” jelas Howe kepada BBC Sport.
Jika dilihat dari tiga pemecatan manajer sebelumnya, memang tidak ada satu pun yang masuk akal. Parker dipecat Bournemouth hanya setelah empat pertandingan musim ini. Padahal, dia adalah sosok yang membawa Bournemouth ke kasta tertinggi kompetisi tanah Inggris.
Lage dipecat Wolves pada awal Oktober, sekitar 16 bulan setelah direkrut. Wolves sempat terjebak dalam rentetan hasil buruk pada awal musim. Namun, hasil itu merupakan dampak dari aktivitas transfer yang cukup masif. Adapun Lage berhasil membawa Wolves finis di papan tengah musim lalu.
Kami (manajer) punya pekerjaan sangat sulit karena penuh ketidakpastian, juga karena banyaknya yang ingin hasil instan.
Pemecatan Tuchel adalah yang paling tidak wajar. Dia diberhentikan saat musim 2022-2023 baru mulai sebulan. Hasil Chelsea juga tidak terlalu buruk, tiga menang dari enam laga. Namun, manajer yang mengantar “Si Biru” juara Liga Champions pada 2021 itu tetap dipecat oleh pemilik baru Todd Boehly.
“Kami (manajer) berada di industri yang seolah lima laga selanjutnya adalah sebuah proyek jangka panjang. Itulah bisnis di mana kami berada. Sangat kejam dan sangat sulit,” kata manajer Crystal Palace Patrick Vieira yang juga pernah bermain bersama Arsenal pada 1996-2005.
Serba instan
Tren pemecatan manajer musim ini kembali memperlihatkan, sangat jarang klub yang masih percaya terhadap proses di era sekarang. Hal tersebut juga tercermin dari daftar manajer di 20 klub Liga Inggris.
Berdasarkan data BBC Sport, hanya lima manajer yang sudah bertahan lebih dari tiga tahun. Mereka adalah Juergen Klopp (Liverpool/7 tahun), Josep Guardiola (Manchester City/6 tahun), Thomas Frank (Brentford/4 tahun), Ralph Hasenhuttl (Southampton/3 tahun), dan Brendan Rodgers (Leicester City/3 tahun).
Penyebab utamanya adalah klub ingin mendapatkan sukses instan. Liga Inggris, sebagai kompetisi paling komersial, menghasilkan uang yang sangat besar untuk para klub. Saat bersamaan, klub berlomba mendapatkan uang itu dengan prestasi konsisten.
Terlebih lagi, mereka sudah mengeluarkan investasi dengan jumlah banyak untuk membeli pemain pada jendela transfer. Klub tidak mau investasi besar itu terbuang percuma. Adapun memberikan manajer waktu lama punya risiko lebih besar untuk klub.
Lihat saja aktivitas transfer Liga Inggris dalam satu dekade terakhir. Jumlah pengeluaran bersih meningkat tajam, dari 374 juta euro pada 2013 menjadi 1,3 miliar euro pada 2022. Jumlah itu sangat timpang jika dibandingkan salah satu kompetisi terbaik di Eropa, Liga Spanyol, hanya 55 juta euro pada musim ini.
Total pengeluaran seluruh klub Liga Spanyol bahkan masih kalah dari Wolves, 79,5 juta euro. Adapun Chelsea merupakan tim kedua dengan pengeluaran bersih terbesar, 225 juta euro. Wajar saja jika klub-klub itu menuntut hasil instan.
Tujuan mereka membeli pemain mahal memang untuk perbaikan instan. Model lama, pembinaan pemain dari akademi, yang sempat digunakan banyak klub sebelum era 2010-an sudah tidak relevan lagi.
Adapun proses instan itu terbukti berhasil di beberapa klub, seperti Chelsea. “Si Biru” punya sembilan manajer dalam 10 tahun terakhir. Meskipun begitu, mereka tetap mampu meraih banyak gelar dalam rentang waktu tersebut. Bahkan dua trofi Liga Champions mereka dipersembahkan oleh manajer pengganti tengah musim, Tuchel dan Roberto Di Matteo.
Di sisi lain, situasi saat ini menjadi sangat tidak adil untuk para manajer. Mereka dikontrak klub sebagai manajer bukan pesulap. Manajer perlu waktu untuk menyatukan pemain dan menanamkan sistem bermain ke dalam tim.
Lihat saja Arsenal, pemimpin klasemen sementara musim ini. Mereka menjadi salah satu klub yang percaya dengan proses manajer Mikel Arteta. Tren positif Arsenal baru bisa terlihat pada musim keempatnya melatih, sejak ditunjuk pada Desember 2019.
Bayangkan jika “Si Meriam” memakai pendekatan instan juga. Arteta mungkin sudah dipecat pada musim keduanya. Adapun manajer asal Spanyol itu belum pernah mengantar Arsenal finis di zona Liga Champions, seperti target dari petinggi klub.
Dampak prinsip serba instan itu, mungkin tidak akan ada lagi sosok seperti Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger pada masa mendatang. Ferguson melatih Manchester United selama 26 tahun, sementara Wenger menukangi Arsenal selama 22 tahun. (AP/REUTERS)