Sadio Mane ibarat sebuah mutiara di tengah lautan. Sifat rendah hati dan sederhananya adalah sebuah pemandangan yang langka di dunia sepak bola nan glamor saat ini.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
Dengan mengenakan keyfa, baju tradisional Senegal, berwarna abu-abu, Sadio Mane menerima trofi Socrates pada malam penganugerahan Ballon d’Or 2022, Selasa (18/10/2022) dini hari WIB, di Theatre du Chatelet, kota Paris, Perancis. Sekitar 12 juta warga Senegal pun tersenyum melihat apresiasi yang diberikan untuk Mane, pahlawan sepak bola dan kemanusiaan mereka.
Secara khusus, sekitar 2.000 warga Desa Bambali, yang berjarak sekitar 402 kilometer arah selatan Dakar, ibu kota Senegal, jauh lebih tersenyum lebar menyaksikan senyum Mane setelah menerima trofi yang diberikan Rai Souza, adik dari Socrates. Adapun Socrates adalah mendiang legenda sepak bola Brasil yang memiliki jiwa sosial tinggi sekaligus pejuang demokrasi di era diktator Brasil pada dekade 1980-an.
Atas dasar itu, France Football, penyelenggara Ballon d’Or, memperkenalkan Penghargaan Socrates yang diberikan kepada pesepak bola yang terbukti memberikan dampak sosial di luar aksi menawan mereka di lapangan hijau.
Mane, yang berada di peringkat kedua dalam ranking Ballon d’Or 2022, amat pantas menerima Penghargaan Socrates edisi perdana itu. Sebagai pemain asal Benua Afrika yang menerima bayaran termahal dalam sejarah, Mane tidak pernah menampilkan kehidupan glamor nan mewah.
Gaji sebesar 22 juta euro atau sekitar Rp 335,13 miliar per musim menjadikan Mane pemain termahal di Bayern Muenchen, raksasa Liga Jerman. Jika diakumulasi dengan bonus performa dan gol, penyerang berusia 30 tahun itu bisa menerima hingga 40 juta euro (Rp 609,6 miliar). Jumlah itu belum termasuk kerja sama sponsor individu dari sejumlah perusahaan, seperti New Balance, Air Senegal, dan Sonatel Orange.
Meski mampu membeli semua barang mahal di dunia, Mane justru lebih senang memperlihatkan telepon genggamnya yang sudah tidak pantas dimiliki pemain bintang karena layarnya sudah retak. Alih-alih hidup bergelimang harta, pemain yang telah dua kali menerima trofi Pemain Terbaik Afrika itu lebih gemar menggunakan uangnya untuk membangun Desa Bambali, tempat kelahiran dan dirinya tumbuh hingga usia remaja.
Pada Juni 2021, Mane menyerahkan dana sebear 500.000 pound (Rp 8,76 miliar) untuk membangun ulang satu-satunya fasilitas kesehatan di desa itu. Dari awalnya hanya berupa klinik kecil, fasilitas kesehatan itu berubah menjadi sebuah rumah sakit daerah berkat kepeduliaan pemain setinggi 1,74 meter itu.
Sebelum memulai proyek rumah sakit itu, Mane terlebih dahulu berkonsultasi dengan Presiden Senegal Macky Sall. Selain melengkapi rumah sakit dengan peralatan kesehatan terkini, Mane juga menyediakan layanan persalinan, fasilitas dokter gigi, dan ruang konsultasi di rumah sakit itu.
Pada 2019, Mane terlebih dahulu memulai proyek renovasi gedung sekolah dasar dan pembangunan gedung sekolah menengah. Ia pun membangun lapangan sepak bola berstandar internasional di desanya. Nilai poyek itu mencapai 250.000 pound (Rp 4,38 miliar).
Di luar proyek besar itu, Sane juga menghadirkan stasiun pengisian bahan bakar pertama di Bambali, tahun lalu. Ia merenovasi juga kantor pos setempat, lalu menghadirkan jaringan 4G di Desa Bambali demi akses internet untuk anak-anak sekolah dan seluruh warga desa.
Mane tak ketinggalan memberikan bantuan sosial sebesar 60 pound (Rp 1.052.000) per bulan untuk seluruh kepala keluarga di desa itu. Ia juga memberikan hadiah uang 350 pound (Rp 6.138.000) dan peralatan olahraga bagi siswa berprestasi di Bambali pada setiap akhir tahun ajaran.
Ketika disinggung aksi sosialnya itu seusai acara Ballon d’Or 2022, Mane enggan membahas itu. Ia amat menahan dirinya menunjukkan sifat ria.
”Saya tidak suka berbicara tentang (proyek amal) itu. Saya melakukan sebanyak mungkin yang bisa saya lakukan untuk masyarakat di desa saya,” kata Mane sembari tersenyum dilansir L’Equipe.
Hidup di garis kemiskinan
Lahir di Desa Bambali, Departemen Sedhiou, Senegal, Mane terbiasa hidup dalam garis kemiskinan sejak kecil. Kedua orangtua Mane sampai menitipkan dirinya ke sang paman karena orangtuanya tidak memiliki cukup uang untuk membiayai Mane dan saudara kandungnya.
Mane sudah terbiasa menendang bola sejak usia tiga tahun. Sepak bola adalah hiburannya di tengah kehidupan yang serba terbatas. Keterbatasan itu membuat Mane tidak bisa melanjutkan pendidikan ke level sekolah menengah.
Pada usia 15 tahun, Mane memberanikan diri pindah ke kota Dakar demi mengejar mimpinya menjadi pesepak bola profesional. Di ibu kota Senegal, Mane ikut serta pada program Generation Foot yang diselenggarakan Akademi Sepak Bola Senegal dan sejumlah pemandu bakat tim Liga Perancis.
Hingga akhirnya pada 2011 atau ketika menginjak 19 tahun, ia direkrut oleh Metz, klub sepak bola Perancis. Setelah bergabung dengan Metz, satu per satu mimpi sepak bola Mane sekaligus harapannya untuk membantu keluarga dan desanya terwujud.
Ia memenuhi mimpinya bermain di Liga Inggris ketika bergabung dengan Southampton pada 2014. Ia meraih trofi di tiga kompetisi paling bergengsi di sepak bola Inggris, yaitu Liga Inggris, Piala FA, dan Piala Liga Inggris, bersama Liverpool. Mane pun telah mersakan gelar Liga Champions pada 2019.
”Mane adalah pemain berbakat yang telah terlihat sejak belia. Ia juga tidak ragu meninggalkan desa dan keluargannya demi mengejar mimpinya menjadi pemain profesional,” kata Moustapha Kamnaye, pelatih pertama Mane di Akademi Jules Counda, Senegal, kepadaCGTN.
Latar belakangnya dari keluarga dan desa yang tidak mampu menjadi penyebab Mane enggan hidup mewah di puncak kariernya saat ini. Kepada media Ghana, Nswemwoha, ia mengungkapkan, keluarga dan semua orang di Bambali memberikan andil bagi kariernya di lapangan hijau, terutama sumbangan bekal materi hingga makanan yang diterimanya ketika hendak merantau ke Dakar.
”Mengapa saya harus menginginkan 10 Ferrari, 20 jam tangan berlian, atau dua pesawat? Saya pernah kelaparan saat harus bekerja di ladang, bermain sepak bola dengan kaki telanjang, saya tidak memiliki bekal pendidikan cukup, dan kondisi sulit lainnya. Saya berterima kasih atas apa yang bisa saya raih dari sepak bola sehingga saya bisa menolong banyak orang yang membutuhkan,” tutur Mane.
Mane ibarat sebuah mutiara di tengah samudra. Sifat rendah hati dan sederhananya adalah sebuah pemandangan yang langka ketika mayoritas pesepak bola, bahkan pemain muda sekalipun, telah terbiasa hidup memamerkan harta di media sosial.