Ancaman Cedera Fisik dan Kesehatan Mental Mengintai Atlet ”E-sport”
Kesadaran akan risiko cedera dan kesehatan mental masih belum mendapat perhatian dari para atlet ”e-sport”. Padahal, rendahnya kesadaran akibat terlalu asyik bermain bisa berakibat fatal, antara lain kerusakan saraf.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS – Aspek kesehatan fisik dan mental termasuk risiko cedera yang kurang diperhatikan para atlet e-sport di Indonesia. Terlalu fokus terhadap gim ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab para atlet kurang memperhatikan kesehatan mereka.
Lius Andre, salah seorang praktisi e-sport di bidang talenta, turut mendukung adanya kampanye kesehatan bagi para atlet e-sport. Berdasarkan pengalamannya yang sudah lebih dari lima tahun berkecimpung di dunia esport, aspek kesehatan fisik dan mental atlet memang kurang mendapat perhatian baik dari sisi atlet maupun tim e-sport.
“Rata-rata jam latihan atlet esport itu kan sekitar minimum 8 jam hingga 14 jam per harinya. Jadi, itu mereka bener-bener main dengan posisi bungkuk dan nunduk. Itu aja bakal mengganggu bagian belakang (punggung). Biasanya, gamers itu jarang makan karena keasyikan main gim dan mereka itu enggak sadar kalau itu dibiarkan bisa fatal,” ucap Luis dalam acara “Main Sehat Bareng Coda” yang diselenggarakan di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Bintaro Jaya, Kota Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/10/2022).
Kurangnya kesadaran atlet e-sport memerhatikan posisi duduk dan durasi ketika bermain gim dapat menyebabkan cedera hingga berpotensi pada kerusakan syaraf di masa mendatang. Adapun para atlet e-sport rata-rata mengalami keluhan cedera pada jari, tangan, pundak, dan leher.
“Setiap 30-60 menit permainan, pastikan pemain (gim) melakukan istirahat minimal selama 5 menit. Lakukan peregangan pada bagian dada, lengan, telapak tangan, serta jari. Selain itu, perhatikan postur tubuh saat bermain dan jangan lupa selalu lakukan pemanasan,” tutur Antonius Andi Kurniawan, dokter spesialis kesehatan olahraga dari RSPI Bintara Jaya.
Andi menambahkan, para atlet juga tetap harus memperhatikan pola hidup sehat, yaitu mulai dari olahraga teratur hingga pola makan seimbang. Terkait gangguan terhadap mata, Antonius merekomendasikan sebuah kiat, yakni ‘twenty twenty twenty rules’. “Setiap 20 menit (melihat layar), arahkan mata kita ke tempat lain sejauh kira-kira 6 meter (20 kaki) selama 20 detik,” kata Antonius.
Adapun terkait kesehatan mental, Antonius menyebutkan beberapa penyakit mental yang bisa dialami oleh atlet e-sport, seperti adiksi, burnout, perundungan siber, intimidasi, diskriminasi, dan psikososial. Untuk menangani hal itu, Antonius biasanya menerapkan latihan fisik seperti gerakan kardio agar terjadi pelepasan stres.
Coda Indonesia ingin mengajak seluruh masyarakat dan pemain esports untuk mulai memiliki kesadaran kesehatan fisik dan mental guna mendukung industri gaming yang berkelanjutan. (Rurie Wuryandari)
Melalui program yang dikembangkannya, Coda Indonesia hendak mengedukasi masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental dalam e-sport. Sebagai salah satu jenama dalam ekosistem industri gim, Coda Indonesia sekaligus ingin menyosialisasikan cara bermain gim yang sehat, seimbang, aman, dan produktif pada masyarakat.
“Coda Indonesia ingin mengajak seluruh masyarakat dan pemain e-sports untuk mulai memiliki kesadaran kesehatan fisik dan mental guna mendukung industri gaming yang berkelanjutan,” kata Direktur Hubungan Eksternal Coda Indonesia Rurie Wuryandari.
Selain mengingatkan para atlet e-sport dan masyarakat akan kesehatan fisik dan mental, Coda Indonesia juga akan melakukan penelitian ilmiah mengenai e-sport medicine dan e-sport science. Hasil kajian ilmiah tersebut diharapkan dapat menjadi rekomendasi dan dasar studi ilmiah e-sport pertama di Indonesia.
Berkembang cepat
Menurut Wakil Ketua Bidang Atlet, Prestasi, dan IT Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) Yohannes Siagian, dunia e-sport di Indonesia telah berkembang amat cepat dan memiliki prospek di masa depan. Namun, perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan pembangunan struktural dari bawah.
“Kita belum punya jalan untuk membina anak-anak muda. Seperti basket dengan sepak bola, ada KU (Kelompok Umur) 10, KU 12, KU 14 pertandingan sekolah, kejuaraan nasional, dan sebagainya. Itu di e-sport tidak ada. Yang ada langsung main, masuk dunia profesional,” kata Yohannes.
Problem e-sport di Indonesia saat ini ialah beberapa liga-liga besar e-sport, seperti adanya liga-liga besar seperti Piala Presiden, Mobile Legend Premier League, PUBG Mobile Premier League, dan lain sebagainya belum terdaftar dalam PBESI. Rencananya, secara bertahap, PBESI akan menampung liga-liga tersebut sehingga nantinya para atlet dapat melalui jenjang atlet layaknya cabang olahraga lain. Langkah ini sekaligus menjadi salah satu upaya untuk menjamin masa depan atlet.
Bagi Yohannes, gerakan edukasi tentang pentingnya kesehatan fisik dan mental bagi atlet e-sport merupakan salah satu langkah untuk membentuk ekosistem e-sport yang berkelanjutan. “Seperti sportscience, di dunia itu sudah diakui. Kesehatan mental, psikologi, belum terlalu masuk di Indonesia,” ungkap Yohannes kemudian.