Kasus Tragedi Kanjuruhan ditangani Polda Jawa Timur dan mendapat asistensi dari Mabes Polri. Enam orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka belum ditahan.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski telah mengumumkan penetapan enam tersangka dalam tragedi yang menewaskan 131 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang, kepolisian belum menahan para tersangka. Alasannya, penyidikan masih berjalan.
”Belum (ditahan), kasus ditarik ke Polda Jatim,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/10/2022).
Keenam tersangka dimaksud ialah Direktur PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, security officer Suko Sutrisno, Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Wahyu SS, Komandan Kompi III Brimob Kepolisian Daerah Jawa Timur AKP Hasdarman, dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi. Pada Kamis (6/10/2022), Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengumumkan para tersangka itu.
Meskipun penanganan kasus ditarik ke Polda Jawa Timur, Mabes Polri tetap mengawasi penyidikan kasus tersebut. Saat disinggung apakah jumlah tersangka akan bertambah, Dedi mengatakan, tim penyidik masih bekerja. Ia pun meminta seluruh pihak bersabar menanti perkembangan kasus itu. ”Bareskrim (melakukan) asistensi, (saat ini) masih terus proses sidik. Nanti perkembangannya disampaikan lagi,” ujar Dedi.
Selain menetapkan enam tersangka, 20 personel kepolisian diduga juga melanggar etik dan akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Dedi menyampaikan, keputusan tegas dari Kapolri merupakan komitmen dari Korps Bhayangkara untuk mengusut tuntas kejadian tersebut.
Sebanyak 20 personel kepolisian yang diduga melakukan pelanggaran etik ialah enam orang dari personel Polres Malang, yakni FH, WS, BS, BSA, SA, dan WA. Selanjutnya, 14 personel dari Satbrimobda Polda Jatim, yaitu AW, DY, HD, US, BP, AT, CA, SP, MI, MC, YF, TF, MW, dan WAL.
Saat merilis penetapan tersangka dan personel polisi yang diduga melanggar etik, Listyo Sigit menjelaskan, tersangka Akhmad bertanggung jawab untuk memastikan kelayakan fungsi stadion. Ia diduga tidak memverifikasi keamanan stadion dengan benar untuk tahun 2022. PT LIB didapati memakai hasil verifikasi lama, tahun 2020, itu pun dengan sejumlah catatan.
Sementara Abdul adalah pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kejadian itu. Namun, Abdul diketahui tidak membuat dokumen keselamatan dan keamanan. Pihaknya juga mengabaikan permintaan awal dari polisi untuk mengurangi jumlah penonton, yakni tiket yang dijual 42.000 lembar dari 38.000 kapasitas stadion.
Selanjutnya, Suko dijerat karena tidak membuat penilaian risiko di semua laga. Ia juga memerintahkan penjaga untuk meninggalkan pintu gerbang ketika terjadi insiden. Penonton pun berdesak-desakan dan banyak korban yang terinjak-injak serta kehabisan napas saat mencoba melarikan diri keluar stadion.
”Seharusnya steward (penjaga) berjaga di pintu dan berupaya membuka pintu semaksimal mungkin. Kenyataannya, pintu dibiarkan terbuka separuh,” kata Listyo di Malang, Kamis (7/10/2022) malam.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Polri mengakui tembakan gas air mata oleh aparat saat kericuhan tidaklah tepat. Wahyu mengetahui larangan pemakaian alat itu oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). ”Namun, ia tidak mencegah atau melarang pemakaian gas air mata,” kata Listyo.
Hal itu membuat Hasdarman dan Bambang bisa meminta pasukannya menembakkan gas air mata untuk mencegah suporter Arema kian banyak masuk ke lapangan. Gas air mata itu juga ditembakkan ke tribune sehingga penonton panik dan berhamburan.
Dalam kasus ini, keenam tersangka dianggap melanggar Pasal 359 dan 360 KUHP. Sebagian dari mereka juga dijerat Pasal 103 jo Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.