Panggung sportivitas yang seharusnya menjadi tontonan yang menghibur berakhir menjadi tragedi memilukan. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan agar insiden yang menyebabkan 125 korban jiwa ini tak terulang.
Oleh
JOHANES WASKITA UTAMA
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pil sangat pahit harus ditelan bangsa ini dari arena olahraga, yang seharusnya menjadi tontonan menggembirakan dan panggung bagi nilai-nilai sportivitas. Sebanyak 125 penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, tewas seusai laga pekan ke-11 BRI Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam.
Insiden terburuk dalam sejarah sepak bola Indonesia ini menjadi puncak dari pembiaran sejumlah masalah yang terjadi di tubuh sepak bola nasional, terutama edukasi nilai sportivitas sebagai esensi olahraga, untuk menghargai kemenangan dan menerima kekalahan sebagai bagian dari pertandingan. Selain itu, tentang manajemen keselamatan dan prosedur pengamanan tepat untuk menangani kerusuhan di stadion.
Sebagian pendukung Arema yang tidak puas menyerbu lapangan setelah tim kesayangan mereka dikalahkan Persebaya, 2-3. Saat massa semakin sulit dikendalikan, polisi membubarkan mereka dengan melepaskan gas air mata, yang sesungguhnya dilarang digunakan di stadion menurut Pasal 19 poin (b) Regulasi Keselamatan dan Keamanan Stadion FIFA.
Gas air mata juga dilepaskan ke tribune, menimbulkan kepanikan saat penonton berdesak-desakan mencari pintu keluar. Gas yang biasa digunakan polisi untuk membubarkan kerusuhan itu diketahui bekerja dengan menyebabkan iritasi pada mata, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kulit.
Selain sesak napas, Direktur RSUD Dr Saeful Anwar, Malang, Kohar Hari Santoso mengatakan, sebagian besar korban meninggal karena trauma kepala atau dada, diduga karena berdesakan atau terinjak-injak.
Duka mendalam
Insiden memilukan ini memantik dukacita mendalam dan keprihatinan banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo. Presiden meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk memantau pelayanan medis bagi korban yang sedang dirawat di rumah sakit.
Presiden Jokowi juga telah memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, dan Ketua Umum PSSI M Iriawan untuk mengevaluasi menyeluruh pelaksanaan laga sepak bola dan prosedur pengamanan.
”Khusus kepada Kapolri saya minta melakukan investigasi dan mengusut tuntas kasus ini,” ujarnya.
Kepala Negara juga memerintahkan PSSI untuk menghentikan sementara Liga 1 sampai evaluasi dan perbaikan prosedur pengamanan dilakukan. ”Saya menyesalkan terjadinya tragedi ini dan berharap ini adalah tragedi terakhir sepak bola di Tanah Air,” kata Presiden Jokowi.
Dukungan untuk mengusut tuntas kasus ini juga diserukan banyak pihak, antara lain Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Usman mengatakan, penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Saya menyesalkan terjadinya tragedi ini dan berharap ini adalah tragedi terakhir sepak bola di Tanah Air.
Adapun pengamat olahraga Fritz E Simandjuntak menilai tragedi ini adalah dampak dari manajemen sistem keselamatan di stadion yang rendah. Insiden ini harus menjadi momentum pemangku kebijakan terkait untuk merevolusi manajemen sistem keselamatan dalam laga sepak bola menjadi lebih aman dan modern.
”Terlepas dari faktor penyebab di lapangan, tragedi itu menunjukkan bahwa PSSI, operator liga PT LIB, maupun panitia lokal tidak bisa mengelola manajemen keselamatan dengan baik. Kehadiran aparat baru sebatas keamanan, bukan untuk keselamatan,” ujar Fritz.
Selain itu, indikasi rendahnya manajemen sistem keselamatan terlihat dari penolakan PT LIB atas permintaan kepolisian untuk memajukan waktu pelaksanaan laga dari pukul 20.000 menjadi pukul 15.00. Menurut data PT LIB, pendukung Arema yang menyaksikan laga itu mencapai 42.588 orang atau 102 persen dari kapasitas Stadion Kanjuruhan.
Dorong perbaikan
Insiden ini terjadi 33 tahun setelah tragedi Hillsborough, saat 97 penonton tewas akibat berdesak-desakan di tribune berdiri jelang laga semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest di Stadion Hillsborough, Sheffield, Inggris, 15 April 1989. Insiden itu, antara lain, berdampak pada dihilangkannya tribune berdiri di semua stadion di Liga Inggris, digantikan dengan kursi tunggal untuk penonton.
Oleh karena itu, tragedi Kanjuruhan juga harus bisa menjadi pelajaran bagi PSSI dan penyelenggara liga untuk berbenah. Ketua Umum KONI Marciano Norman menekankan, sepatutnya sepak bola Indonesia berbenah mengarah ke lebih modern. Mencontoh sepak bola Inggris, yang beruntun dihantam kerusuhan suporter pada tragedi Heysel (1985) dan tragedi Hillsborough (1989), mereka mampu bertransformasi menjadi kompetisi yang lebih baik dengan klub dan suporter yang jauh lebih dewasa.
”Semoga tragedi Arema dan Persebaya menjadi bahan evaluasi menyeluruh, dengan harapan tidak mengorbankan kompetisi yang baru dimulai seusai pandemi Covid-19. Penyelenggara, suporter, dan klub harus bekerja sama menciptakan iklim kompetisi yang lebih baik. Euforia yang muncul percuma kalau tidak diimbangi suporter yang lebih dewasa dan kualitas wasit yang lebih baik,” kata Marciano.