Kesempurnaan Tarian Indah Federer
Tak ada petenis yang bisa bermain bak penari seperti yang dilakukan Roger Federer. Banyak keistimewaan yang membuatnya dijuluki ”maestro”.

Novak Djokovic, Rafael Nadal, dan Roger Federer, tiga petenis terbaik yang dikenal sebagai "Big Three", pada pembukaan turnamen Piala Laver di O2 Arena in London, 23 September 2022.
Bagi penikmat olahraga tenis, tiada hal yang lebih membahagiakan ketimbang hidup pada era ”Big Three”: Roger Federer, Rafael Nadal, dan Novak Djokovic. Periode mereka dimula pada awal 2003 dan masih tetap mendominasi tenis putra dunia, bahkan setelah dua dekade. Para master itu merebut 63 gelar tunggal Grand Slam dari 79 turnamen (79 persen), dan hanya menyisakan ”remah-remah” sisa gelar bagi sejumlah petenis lainnya. Sampai dengan Wimbledon 2022, Federer mengumpulkan 20 gelar tunggal Grand Slam, Nadal 22 gelar, dan Djokovic 21 gelar.
Sejak tiga atlet luar biasa itu merajai kelompok tunggal putra, muncul perdebatan alot tentang siapa yang paling hebat di antara mereka. Dalam konteks ini, terlalu banal jika hanya berpatokan pada jumlah gelar, terutama ajang Grand Slam. Sebab, sangat muskil untuk menyederhanakan soal jika hanya berpegang pada satu indikator. Sebagaimana lazimnya olahraga individual, kehebatan seorang atlet terlalu kompleks untuk dinilai hanya dari jumlah gelar.
Trio Fe-Dal-Vic masing-masing punya keindahan unik yang tidak bisa dikomparasikan secara sederhana. Dalam skala kecil, Federer, misalnya, sangat sempurna dalam setiap gerakan. Dia memukul bola seolah tanpa usaha (effortless), gerakan-gerakannya bak seorang penari, lembut gemulai, tetapi akurat. ”Tarian” Federer agak berbalikkan dengan Nadal yang penuh tenaga dengan power forehand top spin yang begitu populer berkat gerakan lanjutan (follow through) memutar di atas kepala, bagai seorang koboi yang memainkan tali laso.
Djokovic berbeda lagi. Petenis Serbia yang kurang disukai publik Amerika dan Eropa Barat ini punya staying power tiada tara, tipe pukulannya kombinasi antara Federer dan Nadal, text book groundstroke dengan kombinasi tenaga konsisten, bahkan untuk pertarungan ketat lima set. Salah satu pukulan terbaiknya adalah pengembalian servis. Djokovic tidak pernah kesulitan mengembalikan servis lawan dengan nyaris sempurna, baik arah maupun kecepatannya, bahkan dari seorang big server sekalipun.
Baca juga: Ketika Lawan Menjadi Kawan
Hal-hal di atas baru sebagian kecil ”kesempurnaan” Big Three secara teknis. Belum lagi jika membicarakan hal-hal nonteknis. Contoh-contoh kecil, Federer, misalnya, sangat mencintai tenis, dia selalu tersenyum meski kehilangan poin. Nyaris tidak pernah terlihat petenis Swiss itu kesal atau marah. Nadal adalah pejuang, seorang yang tiada kenal menyerah. Nadal juga ikon perilaku. Dia tidak pernah sekali pun membanting raketnya saat marah. Djokovic seorang atlet dengan sense of humor tinggi. Dia menghibur penonton dengan laku polah konyol sehingga mendapat julukan ”si Badut”.

Siapa lebih populer?
Kombinasi antara faktor teknis dan perilaku di dalam dan di luar lapangan menjadikan trio Fe-Dal-Vic adalah terbaik dari yang terbaik selama dua dekade (dan masih berlanjut) dan sangat subtil untuk menyatakan siapa ”the greatest” di antara mereka. Maka, perdebatan siapa yang berhak menyandang gelar ”paling agung” jauh lebih baik diserahkan kepada subyektivitas setiap penggemarnya. Tidak ada kata benar atau salah dalam hal ini.
Meski demikian, jika mengamati diskursus global tentang siapa ”the greatest” di antara ketiganya, terdapat kecenderungan Federer mengungguli Nadal dan Djokovic. Kecenderungan ini sekali lagi bukan soal benar atau salah, melainkan lebih pada fenomena global yang sangat dipengaruhi banyak faktor. Secara umum, keunggulan Federer dalam popularitas dan citra global bisa dikatakan lebih karena kombinasi faktor teknis, perilaku, paparan media, strategi humas industri (Federer adalah atlet tenis dengan endorsemen terbesar sepanjang sejarah), dan latar belakang budaya penggemarnya.
Pada sebuah kesempatan, legenda tenis Amerika Serikat, John McEnroe, berujar tentang Federer. ”Pria paling indah dalam permainan tenis yang pernah saya lihat. Gerakannya sangat artistik, cara memegang raket dan penampilannya membuat sebuah kesatuan sempurna,” papar McEnroe.
Baca juga: Federer Tetap Bernilai Besar meski Pensiun
Legenda lainnya, Jimmy Connors, punya analogi unik tentang Federer. Kata Connors, pada era permainan tenis modern, Anda bisa jadi spesialis lapangan tanah liat, spesialis rumput, spesialis lapangan keras atau Roger Federer. Connors hanya ingin mengatakan, Federer berada pada satu level khusus, unik dan tidak terbandingkan secara spesialisasi jenis permukaan lapangan.

Empat petenis terbaik dalam dua dekade terakhir, dari kiri ke kanan Andy Murray, Novak Djokovic, Roger Federer, dan Rafael Nadal, berfoto sebelum sesi latihan jelang partisipasi mereka pada turnamen Piala Laver di O2 Arena in London, 22 September 2022.
Meski demikian, tentu banyak pula pandangan sebaliknya. Kelompok yang meragukan Federer mengatakan, sejumlah gelar Grand Slam-nya (terutama pada periode 2003-2005) diraih karena belum ada lawan setara seperti Nadal atau Djokovic. Para peragu juga mengatakan, dalam head to head, Federer juga tidak unggul atas Nadal dan Djokovic.
Meski demikian, tidak ada keraguan tentang popularitas Federer yang melebihi keduanya. Federer adalah fenomena ketenaran global dengan memenangi ”Favorit Penggemar” ATP setiap tahun sejak 2003. Suami Mirka Vavrinec ini lima kali memenangi Laureus World Sports Award kategori Sportsman of The Year, dan 13 kali memenangi Stefan Edberg Sportsmanship Award.
Faktor teknis
Secara teknis bisa disimpulkan ada beberapa hal yang membuat Federer mendekati kesempurnaan di lapangan tenis.
Pria paling indah dalam permainan tenis yang pernah saya lihat. Gerakannya sangat artistik, cara memegang raket dan penampilannya membuat sebuah kesatuan sempurna.
Pertama adalah genggaman. Federer memegang raket dengan gaya ”eastern grip”. Secara mudah cara menggenggam raket ini mirip orang bersalaman. Meskipun gaya genggaman ini sangat umum, Federer punya keunikan dengan memodifikasi ”eastern grip”-nya. Dia sedikit memutar genggamannya ke arah ”western grip” sehingga memberikan keuntungan waktu dalam transisi dari forehand ke backhand, terutama saat maju ke net melakukan pukulan voli.
Genggaman modifikasi eastern juga memungkinkan Federer dalam menghemat tenaga saat forehand dengan memukul gerakan lanjutan lebih datar, tanpa membuang banyak energi untuk melakukan topspin.

Petenis Swiss, Roger Federer, bersiap melakukan pukulan forehand saat berlaga di babak keempat AS Terbuka 2017 melawan Philipp Kohlschreiber, 4 September 2017.
Kedua adalah gaya posisi berdiri (stance) yang terasosiasi dengan kesejajaran garis belakang (baseline). Federer menggunakan gaya open stance, yakni kedua kaki paralel dengan garis belakang. Ini adalah gaya yang netral dengan kedua kaki tegak lurus dengan garis belakang yang memungkinkan seorang petenis bergerak lebih cepat dan lentur dibandingkan dengan petenis bergaya close stance. Close stance adalah gaya kaki depan menyilang dengan posisi sedikit lebih di depan daripada kaki belakang.
Gaya Federer hampir sepenuhnya open stance, yang memungkinkan punya sudut pandang luas pada bidang permainan karena posisi bahu yang selalu penuh menghadap lawan. Meski begitu, gaya ini butuh kekuatan otot pinggang yang maksimal saat melakukan pukulan. Dengan keuntungan posisi bahu menghadap lawan, pinggang Federer harus memutar paling tidak 90 derajat saat melakukan ground stroke.
Ketiga adalah forehand yang merupakan senjata pamungkas. Pukulan andalan Federer ini layaknya pedang Katana yang tajam mengoyak pertahanan lawan. Pada jenis pukulan ini, Fed mampu melakukan dengan banyak cara. Kadang dengan kecepatan tinggi, kadang mendatar, kadang melengkung tajam, membuat lawan pontang-panting mempertahankan posisi.
Dalam melancarkan serangan forehand, Federer tidak pernah menggunakan pola baku yang mudah dibaca. Seolah acak, tetapi benar-benar memerhitungkan posisi lawan untuk membuatnya kehilangan keseimbangan.
Baca juga: Tarian Terakhir Roger Federer
Hal terpenting yang membuat forehand Federer sangat mematikan adalah persiapan posisinya sebelum memukul. Pertama, dia memosisikan tubuhnya secara tepat, memastikan pusat-pusat kekuatannya, bahu, dan raket pada posisi yang tepat. Dia kemudian menarik tangannya ke belakang dengan irama lembut diikuti dengan putaran pinggang penuh untuk menghasilkan jumlah energi sangat besar saat perkenaan (impact) raket dengan bola.

Roger Federer melakukan pukulan backhand saat melawan Novak Djokovic pada laga semifinal Australia Terbuka di Melbourne, Australia, 30 Januari 2020. Federer terkenal dengan pukulan backhand satu tangan yang paling elegan di tur.
Menurut sejumlah pelatih kawakan, forehand Federer mencapai akselerasi ekstrem pada 18 inci (sekitar 45 sentimeter) terakhir sebelum kontak raket dengan bola. Hal ini disebabkan oleh posisi pergelangan tangannya yang sepenuhnya berada di belakang raket. Ini membuat efek pecut yang menambah kecepatan laju bola. Posisi pergelangan tangan ini juga membuat Federer lebih efektif dalam melakukan pukukan inside-out dengan laju bola membelah diagonal lapangan lawan.
Keempat adalah efisiensi gerakan. Para pengamat mengatakan, Federer adalah satu dari sedikit sekali petenis elite dengan gerakan yang sangat ekonomis dan efisien dalam penggunaan energi. Salah satu indikatornya adalah dia tetap kompetitif pada usianya yang melewati 35 tahun, jauh di atas usia emas atlet yang sekitar 25-an tahun. Kuncinya adalah pada efisiensi meliput (coverage) lapangan dengan gerakan seminimal mungkin. Situs tennisdrills.tv menulis, pada 2015, Federer meliput lebih sedikit area lapangan dibandingan dengan tiga petenis pesaing (Nadal, Djokovic, dan Andy Murray), yakni hanya 9,7 meter per poin.
Kelima adalah backhand yang sangat kuat. Terkenal dengan backhand satu tangan yang paling elegan di tur, pukulan Federer ini menghasilkan putaran paling tinggi di antara rival-rivalnya, yakni 5.300 putaran per menit (rpm). Nadal dengan backhand dua tangannya hanya menghasilkan putaran 4.300 rpm, dan Djokovic lebih rendah lagi, yakni 2.800 rpm.
Lihat juga: Transformasi Roger Federer
Pukulan backhand Federer sangat akurat. Ini karena matanya fokus pada bola, bukan pada arah sasaran saat memukul. Jika petenis lain rata-rata melihat ke mana bola akan dipukul sebelum perkenaan bola dengan raket, mata Federer benar-benar fokus pada bola pada saat impact. Sepersekian detik setelah impact, barulah dia melihat arah laju bola. Fokus ini membuat bidang perkenaan bola nyaris selalu pada hot-spot raket yang membuat momentum untuk melepaskan energi maksimal pada laju bola.
Gabungan faktor nonteknis, terutama kepribadiannya yang hangat dan aspek-aspek teknis inilah, yang membuat Federer dijuluki ”Sang Maestro”. Federer membuat lapangan tenis layaknya galeri seni strata atas. Federer adalah Vincent van Gogh di lapangan tenis. (ANTON SANJOYO, Penikmat Tenis)