Pekikan Alarm Southgate
Inggris menjauhi gelar juara dunia saat Piala Dunia akan dimulai dua bulan lagi. Pelatih Gareth Southgate dituntut mengeluarkan Inggris dari krisis terbesar saat ini.
MILAN, SABTU – Ribuan pendukung tim tandang memekikkan nada minor kepada pelatih Gareth Southgate seusai Inggris takluk dari Italia. Pekikan itu adalah bentuk rasa khawatir sekaligus alarm peringatan terhadap Southgate. Dua bulan jelang Piala Dunia Qatar 2022, mereka tampak menjauhi slogan “Football’s Coming Home”.
Inggris masih berkutat dalam krisis. Tim berjuluk “Tiga Singa” itu kembali kalah dari Italia 0-1 di Stadion San Siro, Milan, pada Sabtu (24/9/2022) dalam laga Grup A3 Liga Nasional Eropa. Akibatnya, mereka dipastikan menjadi juru kunci grup sekaligus terdegradasi ke Divisi B.
Baca juga : Krisis Berkelanjutan Inggris
Inggris, finalis Piala Eropa 2020, tidak tampak seperti penantang gelar juara dunia. Mereka tidak mampu menang dalam lima laga teranyar, yang merupakan rentetan hasil terburuk selama delapan tahun terakhir.
Mirisnya lagi, tim yang dipimpin penyerang kawakan Harry Kane itu mulai dibandingkan dengan negara urutan terakhir dalam ranking FIFA, yaitu San Marino. Keduanya sama-sama tidak mampu mencetak satu gol pun dari permainan terbuka selama gelaran Liga Nasional.
Saya memahami reaksi para pendukung karena pada akhirnya itulah hasil yang kami dapatkan di kompetisi ini. Reaksi emosional itu sangat bisa dimengerti. Berada dalam tekanan adalah bagian dari pekerjaan saya.
Wajar jika sekitar 4.000 pendukung tandang Inggris geram. “Saya memahami reaksi para pendukung karena pada akhirnya itulah hasil yang kami dapatkan di kompetisi ini. Reaksi emosional itu sangat bisa dimengerti. Berada dalam tekanan adalah bagian dari pekerjaan saya,” kata Southgate.
Hasil Liga Nasional memang tidak berhubungan langsung dengan nasib Inggris di Piala Dunia. Namun, kekhawatirannya adalah tren buruk itu bisa terbawa hingga Qatar. Sejarah mencatat, pemenang ajang besar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa nyaris selalu berbekal laju hasil positif sebelum turnamen.
Baca juga : Harapan Sumber Terkaman Baru ”Tiga Singa”
Lihat saja Italia ketika merajai Piala Eropa pada tahun lalu. Mereka tidak terkalahkan dalam 27 laga sebelum turnamen dimulai. Bahkan, Italia mampu memenangi 8 laga terakhir sebelum laga pembuka turnamen. Tren positif itu menjadi modal besar tim asuhan pelatih Roberto Mancini.
Perancis juga punya modal serupa saat Piala Dunia 2018. Mereka hanya kalah sekali dalam 12 pertandingan sebelum gelaran itu. Di antaranya, tim berjuluk “Si Ayam Jantan” itu memenangi laga besar ketika bertemu Belanda, Italia, dan Inggris.
“Angin” kemenangan itu yang mungkin menjadi pertanda buruk untuk Inggris. Adapun anak asuh Southgate menggapai final pertama dalam 55 tahun terakhir, di Piala Eropa 2020, dengan modal enam kemenangan beruntun sebelum laga pembuka turnamen.
Southgate belum menemukan jawaban penyebab tren buruk itu. Namun, dia memahami masalah utamanya adalah paceklik gol. “Sulit dijelaskan mengapa kami tidak bisa mencetak gol. Kami bisa menciptakan momen penting, tetapi tidak mampu mengakhirinya saat umpan terakhir,” jelasnya.
Baca juga : Balada Maguire di MU dan Tim ”Tiga Singa”
Di sisi lain, eksperimen Southgate terasa tidak tepat di laga Italia. Dia mengubah formasi 4-3-3 menjadi 3-4-3. Sistem itu membuat Inggris lebih kokoh dalam bertahan, tetapi tidak saat menyerang. Terbukti mereka mampu menjaga gawang tanpa kemasukan selama sejam lebih, sebelum kesalahan bek Kyle Walker yang berujung gol Giacomo Raspadori.
Penempatan pemain juga kurang tepat. Pemain sayap Bukayo Saka ditempatkan di posisi kiri, di belakang Raheem Sterling. Dia sejajar dengan dua gelandang Inggris. Adapun Saka, di Arsenal, lebih berbahaya ketika bermain di kanan. Saka juga tampil sebagai penyerang sayap kanan saat membawa Inggris ke final tahun lalu.
Ketika paceklik gol, biasanya Kane dan rekan-rekan diselamatkan lewat bola mati. Namun, tendangan sudut dan tendangan bebas “Tiga Singa” belum mampu mengancam seperti biasanya. Hal itu mungkin pengaruh dari tidak dimainkannya pemain spesialis bola mati, seperti Kieran Trippier dan Trent Alexander-Arnold.
Gelandang Inggris Declan Rice menjamin, mereka akan lebih baik di Piala Dunia. “Kami bukannya tidak bisa menciptakan peluang, hanya saja gol itu belum datang. Percaya kepada saya, kami akan bermain bagus nanti. Terbukti melawan Italia kami bermain lebih baik,” ujarnya.
Baca juga : ”Roh” Berbeda Laga Ulangan Final Piala Eropa
Ketangguhan Belanda
Berbeda dengan Inggris, Belanda justru sedang menikmati masa-masa indah di bawah asuhan pelatih Louis van Gaal. Mereka memperpanjang rekor 14 kali tidak terkalahkan seusai menang di pertandingan Grup A4 atas Polandia 2-0.
Dengan koleksi 13 poin, Belanda berpeluang besar lolos ke final four sebagai juara grup. Mereka hanya perlu hasil imbang dalam laga terakhir grup lawan Belgia di Johan Cruijff Arena, pada Senin dini hari WIB.
Van Gaal sangat puas dengan tren penampilan anak asuhnya. Pemain veteran dengan pemain muda bisa menyatu dengan sempurna. Di lini serang, mereka mengombinasikan Memphis Depay (28) dan Cody Gakpo (23). Sementara itu, terdapat Virgil van Dijk (31) dan Justin Timber (21) di garis akhir pertahanan.
Sang pelatih hanya khawatir dengan ancaman cedera jelang Piala Dunia. Kekhawatiran itu terasa nyata dalam laga terakhir, Frenkie De Jong dan Depay ditarik pada awal babak kedua. “Kami mengganti De Jong sebagai tindak pencegahan. Untuk Depay, cederanya tampak lebih serius. Mungkin dia tidak bisa tampil melawan Belgia,” ucap van Gaal. (AP/REUTERS)