Di Haornas Ke-39, pemerintah mendengungkan capaian terbitnya Desain Besar Olahraga Nasional untuk peta jalan Indonesia masuk lima besar Olimpiade. Nyatanya, itu baru sebatas cita-cita tanpa rencana implementasi jelas.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Anak-anak mengikuti seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (14/7/2022). Hari kedua seleksi terdiri dari tes keterampilan spesifik cabang yang diminati.
JAKARTA, KOMPAS — Dalam peringatan Hari Olahraga Nasional atau Haornas Ke-39, Jumat (9/9/2022), pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga kembali mendengungkan capaian besar terbitnya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional atau DBON yang menjadi roh lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. DBON dijadikan jargon kampanye pemerintah bahwa mereka lebih serius dalam menata prestasi olahraga Indonesia sehingga Haornas kali ini mengambil tema ”Bersama Cetak Juara”.
Angin surga terus diembuskan bahwa DBON adalah keniscayaan Indonesia untuk bisa menjadi ”Macan Asia” dan masuk jajaran elite dunia dalam Olimpiade. Bahkan, berulang kali pemerintah menebar janji ”Merah-Putih” bisa masuk lima besar dunia pada Olimpiade 2044 sebagai kado menyambut 100 tahun usia Tanah Air pada 2045.
”Yang paling penting untuk diketahui, dunia olahraga itu bukan dunia yang instan. Pembinaan itu harus dilakukan dengan fundamental kuat dan butuh waktu panjang bukan 1-2 tahun, tetapi bisa belasan hingga puluhan tahun. Sebab, olahraga ada di alam nyata, bukan alam media sosial yang apa-apa bisa cepat viral (terkenal/sukses),” terang Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PB Percasi) Grand Master/GM Utut Adianto di Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Utut mengatakan, DBON patut dihargai sebagai suatu produk dari niat baik pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk membuat peta jalan prestasi olahraga Indonesia. Boleh jadi Menpora Zainudin Amali ingin meninggalkan jejak nama dari masa periode kepemimpinannya.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (14/7/2022). Hari kedua seleksi terdiri dari tes keterampilan spesifik cabang yang diminati.
Namun, DBON tidak benar-benar produk baru karena sebelumnya sudah pernah ada produk serupa, seperti Program Indonesia Emas pada 2010-2017. ”Jadi, DBON adalah cetak biru (peta jalan), semuanya bisa buat. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah ada Program Indonesia Emas dan lainnya. Itu namanya yang berbeda, tetapi isinya kurang lebih sama,” ujar Utut yang pernah menjadi GM Super atau GM dengan elo rating di atas 2.600 medio 1995-1999.
Menurut Utut, secara keseluruhan, isi DBON baru sebatas cita-cita besar. Utut yang sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR itu menyampaikan, dirinya belum melihat ada strategi implementasi yang jelas dari program tersebut. Untuk itu, dia sangsi program itu bisa lebih sukses dibandingkan program-program lain yang pernah ada.
”DBON itu isinya cita-cita besar. Tetapi, jalanin-nyaseperti apa? Mau pakai apa? Duitnya dari mana? Yang jalanin-nya siapa? Implementasinya tidak jelas seperti apa. Harusnya jelas, ada perekrutan pelatih hebat, uang yang pasti tersedia untuk skala waktu tertentu, dan seleksi atlet bermental baja. Itulah yang paling utama untuk melakukan pembinaan,” tegas Utut.
Belum matang
Pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak pernah mengkritisi implementasi DBON dalam bentuk seleksi Sentra Latihan Olahragawan Muda Potensial Nasional (SLOMPN) di empat perguruan tinggi negeri pada Juli kemarin. Menurut dia, banyak kebijakan fundamental yang ditetapkan untuk SLOMPN itu tidak sesuai dengan kaidah pembinaan atlet belia.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Anak-anak mengikuti seleksi hari pertama sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Rabu (13/7/2022). Hari pertama seleksi terdiri dari tes antropometri, kesehatan umum, serta biomotorik umum dan spesifik.
Saya tidak melihat implementasi DBON itu punya rencana yang matang. Justru tampak tidak siap di mana-mana. Akhirnya, DBON cuma untuk terlihat keren, tetapi kenyataannya tidak sama sekali.
Hal itu bukan saja membuat SLOMPN tidak akan berjalan optimal dalam mewujudkan mimpi berprestasi di Olimpiade 2028 atau 2032, melainkan pula bisa menjerumuskan peserta gagal menjadi atlet dan jalur karier di luar atlet. Bahkan, DBON ataupun SLOMPN dianggap hanya proyek mercusuar untuk terlihat gagah di luar, tetapi bobrok di dalam. ”Saya tidak melihat implementasi DBON itu punya rencana yang matang. Justru tampak tidak siap di mana-mana. Akhirnya, DBON cuma untuk terlihat keren, tetapi kenyataannya tidak sama sekali,” ucap Fritz.
Ketidakmatangan itu, lanjut Fritz, tampak dari tidak adanya konsep siapa yang akan menjalankan dan mengoordinasikan DBON dari tingkat daerah hingga nasional. Padahal, itu akan menjadi fondasi SLOMPN, yakni mulai dari audisi atau seleksi atlet dan pelatih sampai nantinya pengiriman atlet ikut kejuaraan di dalam maupun luar negeri.
Akan tetapi, karena tidak ada konsep jelas, perguruan tinggi atau universitas yang ditunjuk sebagai pelaksana dan pengoordinasi DBON dalam SLOMPN. ”Ini jadi kelemahan yang nyata dan terkesan berantakan. Sebab, perguruan tinggi itu anggarannya dari mana?” kata Fritz.
Belum lagi, Fritz menuturkan, pengurus induk cabang olahraga tidak dilibatkan secara penuh dalam SLOMPN. Padahal, mereka yang paling paham dengan pembinaan olahraga terkait. Mereka pula yang ada wewenang mengikutsertakan atlet dalam kejuaraan di luar negeri.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Anak-anak mengikuti seleksi hari pertama sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Rabu (13/7/2022). Hari pertama seleksi terdiri dari tes antropometri, kesehatan umum, serta biomotorik umum dan spesifik.
Sebelumnya, seorang wali murid asal luar Jabodetabek mengutarakan, dia dan anaknya sepakat tidak jadi bergabung dengan SLOMPN meskipun sudah dinyatakan lolos. Selain sempat dibuat terkatung-katung karena minim informasi dari panitia, memang banyak detail program yang dinilai janggal.
”Kemarin, Selasa (6/9/2022), panitia mengundang Zoom Meeting. Mereka menjelaskan bahwa target program itu menyiapkan atlet untuk Olimpiade 2032. Anehnya, program berjalan dari atlet kelas tujuh hingga kelas XII atau usia 18 tahun. Berarti, program hanya berjalan enam tahun. Kalau saat ini tahun 2022, maka program berjalan sampai 2028. Itu tidak sampai 2032. Kabarnya setelah kelas XII, atlet dikembalikan ke daerah domisili asal. Lalu, empat tahun berikutnya, atlet itu dibina oleh siapa? Itu aneh dan saya tidak mau berjudi untuk anak dalam enam tahun ke depan,” ungkap wali murid itu.