Romansa Roma Runtuh dalam Semalam
Mimpi AS Roma kembali juara Liga Italia masih jauh panggang dari api. Walau sudah mendatangkan sejumlah pemain bintang, permainan Roma belum meyakinkan. Terbukti, di pekan kelima, mereka bisa dihajar 0-4 oleh Udinese.
UDINE, SENIN — Baru saja romanisti, sebutan untuk para pendukung AS Roma, menaruh asa klub kesayangannya bisa mengulang sejarah merengkuh scudetto atau juara Serie A Liga Italia musim 2000/2001. Romansa itu runtuh dalam semalam tatkala Serigala Roma kalah 0-4 oleh tuan rumah Udinese pada pekan kelima Serie A, Senin (5/9/2022)dini hari WIB. Skuad Roma kali ini ternyata masih jauh panggang dari api dengan skuad juara asuhan Fabio Capello 22 tahun silam.
Dalam laga di Stadion Friuli, Udine, Roma datang dengan ekspektasi tinggi. Skuad dari Ibu Kota Italia itu sedang dalam puncak performa dengan rekor tiga kali menang dan satu imbang dari empat laga sebelumnya. Jika menang atas Udinese, mereka akan terbang jauh memuncaki klasemen sementara.
Namun, Udinese mengajarkan Roma agar tetap membumi. Di luar banyak prediksi, tuan rumah menghancurkan Roma dengan skor telak, 4-0. Gol-gol itu dilesatkan sayap kiri Destiny Udogie di menit kelima, gelandang tengah Lazar Samardzic (56’), pemain sayap kanan Roberto Pereyra (75’), dan gelandang tengah pengganti Sandi Lovric (82’). Semua gol itu lahir dari permainan meyakinkan memanfaatkan kecerobohan pertahanan lawan.
Romanisti, para pemain, dan staf pelatih Roma tertunduk lesu usai laga berakhir. Sebagian pemain Roma, seperti Paulo Dybala, Lorenzo Pellegrini, dan Andrea Belotti meminta maaf langsung kepada para penggemar yang setia berada di tribune stadion.
Baca juga: Transfer Cerdik AS Roma yang Menuai Hasil Positif
Kekalahan itu cukup memalukan, terutama bagi pelatih Roma Jose Mourinho yang baru saja dinobatkan sebagai Pelatih Terbaik Serie A pada Agustus 2022. Kekalahan sedikitnya empat gol tanpa balas adalah yang ketiga kalinya dialami The Special One dalam suatu pertandingan liga. Saat melatih Real Madrid, timnya kalah 0-5 dari Barcelona di Liga Spanyol pada 29 November 2010, dan saat mengasuh Manchester United kalah 0-4 dari Chelsea di Liga Inggris pada 23 Oktober 2016.
Khusus bersama Roma, hasil ini menjadi kekalahan terburuk kedua Mourinho.Pelatih asal Portugal itu merasakan kekalahan terbesar sepanjang karier kepelatihannya ketika Roma dilumat 1-6 oleh klub Norwegia, Bodo/Glimt di Liga Konferensi Eropa pada 21 Oktober 2021.
Kendati demikian, Mourinho selalu punya cara menghindar dari penghakiman tersebut. ”Saya lebih suka kalah 0-4 untuk satu pertandingan ketimbang kalah 0-1 di empat pertandingan. Dengan begitu, kami hanya kehilangan tiga poin bukan 12 poin. Memang, sulit bagi kami dan penggemar menerima kekalahan ini. Tetapi, inilah hidup. Kami harus bangkit karena masih banyak pertandingan lain menanti,” ujar Mourinho kepada DAZN dilansir Football-Italia.
Roma layak mendapatkan kekalahan tersebut. Hal itu menjadi peringatan berharga untuk Mourinho bahwa strateginya perlu dibenahi. Dengan formasi 3-4-2-1, dia terlalu naif mengandalkan trio lini depan, Dybala, Pellegrini, dan Tammy Abraham tanpa sokongan berarti dari lini kedua atau gelandang. Ketiganya lebih banyak bekerja sendirian, bahkan cenderung memaksakan diri menembus pertahanan lawan.
Hal itu terjadi akibat Roma tidak memiliki gelandang tengah yang mampu membantu pertahanan dan serangan dengan mumpuni. Bintang asal Belanda, Georginio Wijnaldum, yang dipinjam dari Paris Saint-Germain diharapkan mengisi posisi itu, tetapi dia malah cedera patah tulang kering kaki kanan jelang laga pekan kedua Serie A dan harus menepi 3-4 bulan.
Baca juga: Romansa Dybala Bersama Serigala Roma
Peran gelandang box-to-box sejatinya bisa diisi Pellegrini. Akan tetapi, kapten tim itu harus didorong ke depan untuk mengisi posisi Nicolo Zainolo yang cedera dislokasi bahu kiri dalam laga pekan kedua dan absen sekitar sebulan. Adapun Mady Camara yang dipinjam dari Olympiacos untuk menggantikan Wijnaldum belum beradaptasi dengan sepak bola Italia.
Kini, Roma praktis hanya mengandalkan duet gelandang Nemanja Matic dan Bryan Cristante. Keduanya tidak memiliki naluri tinggi membantu memecahkan kebuntuan lini depan. Matic adalah gelandang bertahan yang lebih banyak berfungsi untuk meredam tekanan lawan. Cristante bertipe deep-lying playmaker, atau playmaker yang ditempatkan jauh ke belakang. Tugasnya lebih banyak untuk memberi umpan jauh dan mengatur ritme permainan.
Situasi kian dilematis karena Roma hanya mengandalkan tiga bek sejajar. Ketiga bek itu sangat riskan karena tidak ada dukungan melekat dari gelandang penghancur serangan lawan atau ball-winning midfielder seperti yang pernah diperankan pemain legendaris tim, Daniele De Rossi.
Dua gelandang sayap yang diharapkan bisa berotasi membantu pertahanan justru sering membuat kesalahan sendiri, seperti yang dilakukan Rick Karsdorp untuk gol pertama Udinese. Dua pemain sayap itu memiliki naluri menyerang, tetapi terlambat kembali ke belakang saat ada serangan balik.
Saya lebih suka kalah 0-4 untuk satu pertandinganketimbang kalah 0-1 di empat pertandingan. Dengan begitu, kami hanya kehilangan tiga poin bukan 12 poin.
Titik lemah strategi Mourinho itu sudah tampak sejak pekan pertama. Hanya saja, Roma beruntung masih bertemu tim-tim dengan kualitas jauh di bawahnya, seperti menang 1-0 atas pada pekan pertama, menang 1-0 atas Cremonese,dan menang 3-0 atas AC Monza. Menghadapi tuan rumah Juventus pada pekan ketiga, Roma bernasib baik bisa menahan imbang 1-1 raksasa Italia tersebut.
Walau demikian, Mourinho ada alasan sendiri mengenai kekalahan dari Udinese. Menurut pelatih berusia 59 tahun itu, kekalahan tersebut akibat timnya kaget dengan intensitas tinggi permainan lawan. ”Anda tidak bisa tertinggal lebih dahulu dalam pertandingan seperti ini. Jika terjadi, lawan akan bertahan dengan sangat baik, melakukan serangan balik, dapat mengontrol tempo, dan melakukan pelanggaran taktis. Jika Anda tertinggal dengan tim seperti ini, Anda sudah dalam masalah,” ungkap Mourinho.
Kekalahan telak 0-4 dari Udinese membuat Roma terlempar dari empat besar klasemen setelah sempat berada di puncak klasemen sebelum turun ke urutan kedua pada pekan keempat. Mereka turun ke peringkat kelima dengan 10 poin dari lima laga.
Roma tertinggal satu poin dari Napoli di puncak klasemen dan AC Milan di urutan kedua. Sejauh ini, Roma memiliki poin yang sama dengan Atalanta di peringkat ketiga dan Udinese di tempat keempat. Namun, Atalanta yang baru bermain empat kali dan berpotensi mengubah peta persaingan jika menang atas AC Monza, Senin pukul 23.30 WIB.
Grafik Roma pada pekan kelima itu seolah menjadi bukti prediksi Mourinho. Pada awal musim, sejumlah pengamat memprediksi Roma bisa berbicara banyak, bahkan bukan tak mungkin meraih scudetto. Akan tetapi, Mourinho menentang semua prediksi yang dianggap berlebihan tersebut.
Baca juga: Badai Cedera Paksa AS Roma dan Juventus Kembali Berburu Pemain
Bagi Mourinho, Roma sama sekali bukan favorit juara. Hal itu tak lepas dari komposisi pemain Roma yang belum benar-benar sesuai keinginannya. Pelatih kelahiran Setubal, Portugal, 26 Januari 1963, itu masih mengidamkan tambahan satu bek tengah, tetapi tidak diwujudkan manajemen tim.
”Hanya Sampdoria dan Lecce yang mengeluarkan dana lebih sedikit daripada kami di jendela tranfer ini. Jadi, bicara tentang peluang juara Roma hanya terjadi jika ada 18 gelar juara yang disediakan di akhir musim ini,” kata Mourinho di awal musim ini.
Mendesak
Kehadiran bek tengah tambahan untuk Roma semakin mendesak karena Marash Kumbulla cedera pada laga pekan keempat. Belakangan, karena keterbatasan anggaran, manajemen Roma justru lebih memilih mencari pengganti Wijnaldum dan Zaniolo.
”Manajer umum (Tiago Pinto) sudah bekerja dengan brilian. Tetapi, dia kemarin mengatakan, jika ada masalah, Cristante bisa bermain sebagai bek. Saya akan menjawab, oke. Tetapi, siapa yang akan bermain di lini tengah? Itulah kami. Saya tidak menangisinya seperti yang dilakukan beberapa orang. Ada pelatih yang banyak menangis tetapi pada akhirnya tersenyum,” sindir Mourinho dalam laman resmi Roma.
Sementara itu, penampilan Udinese terus membaik. Mereka sempat terpuruk karena kalah 2-4 dari tuan rumah AC Milan pada pekan pertama dan imbang 0-0 dengan Salernitana pada pekan kedua. Mereka mulai membaik dengan menang 2-1 atas AC Monza dan menang 1-0 atas tim tamu Fiorentina sebelum menghajar Roma 4-0.
Baca juga: Auman Serigala Roma Jelang Musim Baru Serie A
Berkat grafik positif itu, Udinese beranjak di papan klasemen ke posisi empat. Pelatih Udinese Andrea Sottil memastikan timnya berusaha lebih kompetitif di musim ini setelah hanya berada di urutan ke-12 klasemen akhir musim lalu.
”Kami dalam periode yang bagus, tim terus berkembang dan para pemain dalam kondisi fisik yang baik. Saya mencoba menciptakan identitas untuk para pemain dan berharap mereka terus meningkat dari pertandingan demi pertandingan. Skuad ini sangat kompetitif untuk bersaing, kami memiliki dua pemain di setiap posisi dan semuanya bekerja keras untuk menjadi lebih baik,” tegas Sottil kepada DAZN.