Agresivitas dari unit kedua Pelita Jaya bisa menjadi penentu hasil final IBL 2022. Tanpa hal itu, Pelita Jaya akan kesulitan mencuri gelar dari sang juara bertahan, Satria Muda.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Final Liga Bola Basket Indonesia (IBL) 2022 antara Pelita Jaya Bakrie dan Satria Muda Pertamina ibarat duel tinju dua raksasa. Layaknya petinju veteran yang kaya pengalaman, Satria Muda ditantang Pelita Jaya yang lincah dan energik dalam pertarungan perebutan gelar.
Derbi dua klub asal Jakarta itu akan kembali memeriahkan partai puncak IBL untuk keempat kali sejak 2016. Final 2022 akan digelar di Arena C-Tra, Bandung, Jawa Barat, 27-30 Agustus, dalam format best of three games. Satria Muda (SM) ingin mempertahankan gelar juara, sementara Pelita Jaya membawa dendam kekalahan, 1-2, pada musim lalu.
Kedua tim raksasa itu sebetulnya terpisah jauh dalam hal pengalaman. Separuh skuad Satria Muda sudah merasakan setidaknya empat kali penampilan di final, antara lain kapten Arki Wisnu. Di kubu sebaliknya, tidak satu pun pemain Pelita Jaya, termasuk Andakara Prastawa, mencapai jumlah penampilan itu.
”Saya tampil di final sudah delapan kali. Tidak grogi karena saya anggap semua laga adalah final. Bagi saya, yang terpenting adalah terus berkembang. Bermain dengan standar SM,” kata Arki.
Seperti petinju veteran, Arki dan rekan-rekan unggul pengalaman. Mereka tahu apa yang harus dilakukan di lapangan, seperti terjadi sepanjang playoff musim ini. Tim asuhan Youbel Sondakh itu adalah satu-satunya tim yang belum pernah kalah di playoff. Efisiensi permainan mereka berada di langit tertinggi.
Efisiensi permainan
Efisiensi itu terutama terlihat di semifinal, melawan tuan rumah Prawira Bandung. Satria Muda membuat akurasi lemparan tiga angka hingga 47 persen dalam dua gim beruntun. Sulit menang melawan tim dengan efisiensi setinggi itu. Bahkan, tidak ada tim yang melebihi 40 persen akurasi di laga playoff selain mereka.
Dengan bermain sabar melalui tempo agak lambat, ”pukulan” mereka bisa mendarat telak di wajah lawan. Senjata itulah yang akan kembali mereka pakai di final. ”Persiapan sudah berada di peak, sudah kami siapkan semua. Jadi, besok tinggal perang saja,” ujar Youbel penuh semangat.
Kedewasaan tim berjuluk ”Pasukan Biru” itu juga terpancar di pertahanan. Meskipun memiliki Most Valuable Player, Abraham Grahita, dan Rookie of The Year, Yudha Saputera, Prawira terperangkap dalam benteng Satria Muda. Pada gim kedua semifinal, Prawira hanya mencetak 54 poin, produksi angka terendah mereka pada musim ini.
Adapun penampilan Pelita Jaya kurang efisien seusai jeda musim reguler selama 4,5 bulan. Tim yang punya banyak penembak tiga angka, seperti Prastawa, itu kesulitan menyarangkan bola. Akurasi tembakan tiga angka mereka di playoff hanya 21 persen.
Menurut guard Pelita Jaya, Yesaya Saudale, timnya kesulitan mencari ritme sejak kembalinya tiga pemain tim nasional, yaitu Prastawa, Muhamad Arighi, dan Vincent Kosasih. Maka itu, mereka akan kesulitan jika harus meladeni tempo lambat Satria Muda.
Pelita Jaya berpeluang menang jika bisa tampil bagai sosok petinju muda yang gesit dan energik. Mereka harus bermain dengan tempo tinggi dan memastikan pertahanan lawan tidak siap diserang. Cara terbaiknya, mereka harus bertahan dengan agresif untuk memaksa lawan kehilangan penguasaan bola (turnover).
Pelita Jaya punya kapasitas merepotkan sang juara bertahan dengan unit keduanya. Mereka punya barisan pemain muda agresif di bangku cadangan.
Cara itulah yang meloloskan Pelita Jaya ke final. Mereka sering memakai strategi bertahan full court press untuk memancing kesalahan lawan. Lewat pertahanan ekstra agresif, mereka bisa mencuri bola dan menyerang secepat kilat. Tim asuhan pelatih Fictor ”Ito” Roring itu rata-rata 10,2 kali mencuri bola lawan dalam setiap gim.
Agresivitas itu berkontribusi besar terhadap raihan angka mereka dari serangan cepat atau fast break yang mencapai 20,2 poin per laga. Maka, Pelita Jaya punya kapasitas merepotkan sang juara bertahan dengan unit keduanya. Mereka punya barisan pemain muda agresif di bangku cadangan, yaitu Yesaya (22), Hendrick Yonga (20), Fernando Manansang (20), dan guard asing, Decardo Day.
Peran unit kedua
Pada dua gim di semifinal, pemain cadangan bermain dan mencetak poin lebih banyak ketimbang skuad inti. Unit kedua tim itu memang ditujukan untuk permainan cepat. Pelita Jaya tidak bisa terlalu agresif saat menggunakan unit pertama karena terdapat center asing raksasa, Dior Lowhorn.
”Pemain muda, saya akui, punya talenta di atas rata-rata. Talenta mereka bukan hanya kata-kata, melainkan juga mampu deliver. Mudah-mudahan, itu bisa dibawa lagi ke final. Saya tak ada pemisahan senior dan yunior. Pasti yang terbaik yang akan dimainkan,” ujar Ito.
Namun, Satria Muda punya Arki dan Hardianus Lakudu, dua pemain yang bisa menjadi jenderal lapangan pada saat bersamaan. Mereka bisa membuat energi yang dikeluarkan pemain muda lawan menjadi sia-sia. Duel pengalaman versus ambisi dan energi besar itu pun akan membuat final sangat menarik.
Pelita Jaya kalah soal pengalaman para pemain, tetapi tidak dari sisi tim pelatih. Ito merupakan mantan pelatih yang mengantarkan Satria Muda juara beruntun pada era 2000-an. Dia juga sempat melatih Youbel. Duel ”guru dan murid” itu akan jadi daya tarik tambahan final itu.