Dedikasi Tak Terhingga Martina Widjaja kepada Tenis Indonesia
Dedikasi Martina Widjaja terhadap dunia tenis Indonesia diabadikan jadi sebuah buku. Lewat buku itu, dedikasi dan semangat Martina diharapkan bisa menular.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bagi petenis nasional era 2000-an, Martina Widjaja adalah sosok pahlawan dalam kesuksesan karier mereka. Mantan pengurus induk organisasi tenis Indonesia itu punya dedikasi tak terhingga soal pembinaan atlet. Segudang kisah dedikasi itu dituliskan menjadi sebuah buku berjudul For The Love of Tennis.
Kediaman keluarga besar Martina di bilangan Ragunan, Jakarta, ramai didatangi petenis nasional, Jumat (26/8/2022). Mereka datang untuk mengikuti turnamen mini dan meramaikan peluncuran buku tepat pada hari ulang tahun ke-80 Martina.
Martina merupakan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PB Pelti) selama dua periode, 2002-2007 dan 2007-2012. Mulai dari petenis yang masih aktif, seperti Christopher Rungkat, hingga mantan petenis, seperti Wynne Prakusya, turut hadir dalam acara tersebut.
”Kami semua tadi membuat semacam turnamen mini dengan tante (Martina). Ya, ini untuk mengenang masa dulu. Satu dua dekade pada masa kepemimpinan beliau banyak prestasi dari pemain Indonesia. Itu berkat dedikasi beliau,” kata Christo yang berpasangan dengan Martina dalam turnamen persahabatan itu.
Menurut Christo, Martina berkontribusi besar dalam awal kariernya hingga bisa sukses. Mantan ketua umum itu peduli terhadap perkembangan atlet, mulai dari mengikuti saat latihan sampai membiayai untuk tur bertanding ke luar negeri.
Salah satu pengorbanan beliau, ya, mau merelakan dana sendiri. Tidak semua orang, kalau mau jujur, rela mengeluarkan dana pribadi yang besar untuk atlet bisa bertanding.
”Salah satu pengorbanan beliau, ya, mau merelakan dana sendiri. Tidak semua orang, kalau mau jujur, rela mengeluarkan dana pribadi yang besar untuk atlet bisa bertanding. Kecintaan dan dedikasi dengan tenis itu yang kita perlu lagi saat ini,” lanjut peraih emas Asian Games Jakarta-Palembang 2018 tersebut.
Wynne juga berkata, sosok seperti Martina diperlukan untuk menjadi oase di tengah penurunan prestasi tenis nasional saat ini. Sosok itu tidak hanya sebagai pendukung prestasi, tetapi juga berperan layaknya orangtua yang mengerti atlet luar dan dalam.
”Bu Martina memiliki andil paling besar dalam karier tenis saya. Sejak usia 14 tahun. Saya dulu tinggal di sini, besar di sini. Belajar banyak mengenai disiplin dan kehidupan. Juga membantu mencari sponsor dan membiayai. Dia sudah kayak mama saya sendiri,” tutur Wynne yang menjadi pemenang dalam turnamen mini.
Kisah-kisah itu pun diabadikan menjadi sebuah buku sebagai hadiah ulang tahun Martina. Dalam buku itu terdapat banyak cerita dan kesaksian para insan tenis nasional ataupun mancanegara tentang kecintaan Martina terhadap tenis, olahraga yang sudah ditekuni sejak masa kecil.
Penulis buku tersebut adalah wartawan yang pernah berkecimpung lama di dunia tenis, yaitu Amin Pujanto, Bambang Prihandoko, Gungde Ariwangsa, dan Yuliani S Prawiradiredja. Mereka berharap, dedikasi tanpa batas Martina bisa menular dan menjadi pembelajaran untuk pengembangan olahraga Indonesia, tidak hanya tenis.
Martina bercerita, semua dedikasi itu dilakukan karena dia tidak pernah setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu. Ketika sudah masuk ke dunia tenis, dia sebisa mungkin memberikan segalanya untuk tenis. Sikap itu yang membuatnya sangat konsisten dalam mendukung para atlet.
Perempuan yang masih bugar saat bermain tenis ini menilai, kunci perkembangan atlet adalah pertandingan. Petenis tidak akan berkembang tanpa bertanding meskipun punya talenta hebat. Karena itu, fokusnya saat memimpin induk organisasi adalah memberikan kesempatan bertanding untuk para petenis.
”Ketua itu basic-nya cari uang, cari sponsor. Bagaimana caranya biar bisa mendapat uang. Kalau tidak, mereka tidak bisa tur,” ucapnya saat ditanya tentang apa yang dipelajari selama 10 tahun menjadi ketua umum.
Kecintaan dan dedikasi Martina terhadap tenis tampak tidak luntur sedikit pun pada usia kepala delapan. Di lapangan tenis miliknya, dia memperlihatkan itu. Martina, berpasangan dengan Christo, tidak mau menyerah ketika skor sempat tie break. Dia tetap ingin bermain meskipun sang anak, Paquita Widjaja, memintanya untuk berhenti.