Seni Merawat Tubuh Atlet Paralimpiade
Fisioterapis selalu bekerja di balik layar. Akan tetapi, mereka berperan besar membantu atlet disabilitas tampil dalam performa maksimal dan meraih medali di ASEAN Para Games 2022.
Sapto Yogo Purnomo berlari seraya menahan sakit pada paha kirinya begitu memasuki 20 meter terakhir lari nomor 400 meter T37 ASEAN Para Games 2022. Namun, dia menahan rasa panas di paha belakangnya itu untuk menjemput medali ketiganya di ajang olahraga penyandang disabilitas tingkat ASEAN itu.
Sesaat setelah melintasi garis finis, pelari dengan keterbatasan gerak tangan kanan itu mengerang kemudian telentang di lintasan lari. Cedera hamstring, yang dia dapat saat berlomba di nomor lomba yang sama dalam Asian Para Games 2018 Jakarta-Palembang, kambuh.
Nomor 400 meter sebetulnya bukan spesialisasi Sapto. Akan tetapi, di ASEAN Para Games kali ini, dia turun di nomor itu untuk menguji diri apakah bisa bersaing di level Asia Tenggara. Pada Asian Para Games 2018, dia gagal menyelesaikan lomba karena kondisi cedera itu.
Baca juga: Fauzi dari Pengangkut Sampah Jadi Pemungut Medali
Peraih medali perunggu 100 meter T37 Paralimpiade Tokyo 2020 itu kemudian dipapah ke tenda medis. Dia mendapat perawatan dari fisioterapis yang melakukan sentuhan pada kakinya untuk mengendurkan otot-ototnya yang tegang. Pahanya tidak dipijat, melainkan diusap-usap dengan agak kuat, kemudian ditepuk-tepuk dengan tangan. Dia tidak dipijat karena masih akan tampil dalam kelas estafet 4 x 100 meter T11-T54 yang sering dikenal dengan estafet universal.
Fisioterapis tidak akan memijat tubuh atlet yang masih akan menjalani perlombaan atau pertandingan. Penyebabnya, pijatan akan membuat otot lemas dan performa tidak akan maksimal. Itulah mengapa fisioterapis yang menangani Sapto hanya mengusap-usap pahanya. Perlakuan awal itu diikuti dengan relaksasi untuk mempertahankan massa otot dalam mode kompetisi.
”Saya sendiri tidak pernah dipijat sebelum lomba, hanya pelenturan. Kalau dipijat, otot menjadi lemas, tidak ada tenaga. Kalau tampil di lebih dari satu nomor, saya hanya dipijat setelah lomba terakhir. Kalau di antara lomba dipijat, pasti catatan waktu turun jauh,” ungkap atlet berusia 23 tahun itu.
Saat tampil di nomor estafet universal di Stadion Manahan, Surakarta, Jumat (5/8/2020), Sapto akhirnya membantu tim ”Merah Putih” meraih medali emas. Sapto, yang tampil sebagai pelari ketiga di nomor itu, total mendulang empat emas di ASEAN Para Games 2022.
Fisioterapis itu bisa dibilang seni. Unik karena kita harus mempelajari organ gerak manusia, fungsi organ, serta anatomi tubuh. Misalnya, untuk merawat cedera pergelangan kaki, kita harus belajar tentang otot apa saja yang ada di sana. (Nur Agung)
”Fisioterapis sangat membantu atlet dalam mencapai performa maksimal. Mereka membantu pemulihan, juga mencegah cedera. Saat lomba seperti ini, apalagi seperti saya yang turun di empat nomor, fisioterapis sangat besar perannya untuk menjaga tubuh dalam kondisi siap tanding,” ujar Sapto yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.
Dalam ASEAN Para Games di Surakarta, di setiap arena lomba dan pertandingan selalu tersedia fisioterapis dan tim medis. Peran fisioterapis sangat mencolok di arena atletik karena banyak atlet yang mengalami kondisi otot tertarik. Tim atletik Indonesia memiliki delapan fisioterapis yang terbagi di dalam maupun luar arena. Sementara di pelatnas, tim atletik memiliki tiga fisioterapis.
Bagi fisioterapis tim atletik Indonesia, Nur Agung Martopo, pekerjaan itu memiliki tantangan yang menggugah karena ia turut membantu atlet merawat tubuhnya saat berlomba. Apalagi, olahraga paralimpiade memiliki beragam klasifikasi berdasarkan keterbatasan atlet.
”Sejak pertama menjadi fisioterapis di tim Paralimpiade Tokyo 2020, saya menemukan sesuatu yang sangat menantang dan unik. Saya harus belajar lagi tentang klasifikasi karena perlu memodifikasi perlakukan bagi atlet sesuai klasifikasi. Keterbatasan (atlet) pada tangan dan kaki beda perlakuannya,” ungkap Agung yang sedang mengambil magister Sains Olahraga di Universitas Sebelas Maret.
Baca juga: Emas Penutup Atletik nan Manis
Pengalaman Agung sebagai fisioterapis atlet-atlet disabilitas melengkapi motivasi awalnya saat mengambil studi diploma dan sarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
”Fisioterapis itu bisa dibilang seni. Unik karena kita harus mempelajari organ gerak manusia, fungsi organ, serta anatomi tubuh. Misalnya, untuk merawat cedera pergelangan kaki, kita harus belajar tentang otot apa saja yang ada di sana, apa penyusun ligamennya, dan metabolismenya seperti apa. Seru pokoknya, dan semakin seru dalam olahraga paralimpiade ini,” ungkap Agung.
Peran fisioterapis sangat penting dalam ajang seperti ASEAN Para Games karena ada beberapa atlet yang sebenarnya belum pulih dari cedera. Mereka lalu mendapatkan penanganan khusus supaya bisa tetap berlomba. Lalu, setelah itu, bisa langsung dirawat kembali.
Rica Oktavia, pelompat jauh di kelas T20 atau tunagrahita, misalnya, berlomba dengan cedera lutut kanan. Namun, dia bisa melakukan lompatan menyamai rekor personalnya, 5,25 meter, yang akhirnya berbuah medali emas.
Ketika berlomba, lutut Okta diberi tapping semacam plester karet untuk menahan lutut supaya tidak bergeser. Namun, saat berusaha memecahkan rekornya menjadi 5,30 meter, otot paha belakang dan depannya justru tertarik. Seusai lomba itu, dia langsung mendapatkan perawatan medis serta penanganan fisioterapis.
Kondisi serupa juga banyak terjadi di nomor lari. Sejumlah atlet mengalami cedera ligamen lutut. Setelah dilakukan pemeriksaan dan dinyatakan cederanya tidak parah, mereka bisa melanjutkan perlombaan.
”Jika ada yang kena (cedera) ACL (ligamen lutut), saat itu kami lakukan tapping untuk menahan lutut. Penahanan lutut hanya dilakukan saat tanding dan kemudian dilakukan perawatan. Itu hanya sementara dan sering terjadi,” ungkap Agung kemudian.
Membangkitkan motivasi
Fisioterapis juga memerlukan kecakapan komunikasi untuk menghadapi atlet-atlet yang cedera agar tetap bisa tenang dan kepercayaan dirinya bangkit dalam kondisi yang sulit itu. Agung sering menjumpai atlet yang terlalu khawatir, bahkan takut tidak bisa bertanding lagi akibat cedera. Fisioterapis juga berperan besar membangkitkan motivasi atlet yang cedera.
”Kami selalu memberikan motivasi dan meyakinkan mereka bahwa cedera bukanlah gangguan besar. Itu hal yang biasa terjadi saat latihan. Atlet juga perlu berpikir positif bahwa cederanya pasti bisa sembuh,” ujar Agung.
”Saya selalu mengatakan supaya mereka rileks, cederanya biasa saja. Tidak perlu terlalu memikirkan cedera yang dialami. Kami di sini menangani dengan profesional. Jadi, atlet juga yakin,” ungkap Agung menambahkan.
Baca juga: Lara Maria Goreti Berbuah Prestasi
Peran fisioterapis untuk menenangkan atlet itu dirasakan oleh Fauzi Purwolaksono, atlet nomor lempar di atletik yang sempat cedera otot dada. Dia sempat khawatir dan takut tidak bisa maksimal saat ASEAN Para Games 2022 digelar.
”Awalnya saya khawatir, tetapi penanganan yang cepat dan fisioterapis membuat saya yakin bisa pulih. Ternyata benar. Saya bisa tampil dan meraih emas di tolak peluru. Jadi, peran fisioterapis ini sangat penting bagi atlet. Bukan hanya membantu pemulihan, tetapi juga membuat kita tenang,” ungkap Fauzi, atlet Kalimantan Barat yang sehari-harinya berprofesi sebagai petugas kebersihan daerah.