Dua medali emas dari nomor estafet 4 x 100 meter T11-13 dan 4 x 100 meter universal jadi penutup yang manis bagi cabang atletik di ajang ASEAN Para Games Surakarta 2022. Catatan waktunya pun mendekati level Paralimpiade.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·5 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS —Cabang atletik menutup perolehan medali pada ajang ASEAN Para Games Solo 2022 dengan dua keping emas dari nomor estafet 4 x 100 meter T11-13 dan 4 x 100 meter universal di Stadion Manahan, Surakarta, Jumat (5/8/2022). Prestasi brilian itu terasa sangat manis karena para atlet mampu menunjukkan performa yang solid di tengah keterbatasan yang mereka alami, bahkan pencapaian itu menjadi emas keempat bagi Saptoyogo Purnomo dan Nanda Mei Sholihah, serta emas ketiga bagi Eko Saputra.
”Ini bukan manis lagi, sebentar lagi diabetes. Kami sudah terlalu manis ditambah manisnya emas tadi, jadinya diabetes,” canda Eko Saputra, sprinter klasifikasi T12 setelah meraih emas estafet 4 x 100 meter T11-13.
Klasifikasi T11-13 merupakan kelas untuk atlet-atlet dengan keterbatasan penglihatan. T11 merupakan kelas untuk atlet buta total, sedangan T12 dan T13 untuk atlet dengan penglihatan sangat terbatas. Pelari pertama hingga keempat pada nomor estafet 4 x 100 meter T11-13 ialah Petrus Alupan (T12) , Eko Saputra (T12), Muammar Habibila (T13), dan Ruli Al Kahfi (T11) dengan pemandu lari Sika Buddin. Mereka meraih medali emas dengan catatan waktu 44,970 detik.
”Alhamdulillah, dengan kerja sama tim, kekompakan, dan komunikasi yang baik, kami memberikan yang terbaik dan tidak mengecewakan Indonesia. Kesulitan di estafet ini adalah menemukan kombinasi pelari, jadi perlu memiliki strategi, termasuk siapa pelari pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Berkat kombinasi dan strategi dari pelatih, kami bisa memberikan yang terbaik,” ungkap Eko yang menjadi juru bicara tim.
Medali emas ini sangat bermakna bagi mereka karena latihan mereka bersama-sama sangat minim. Bahkan, mereka masih mematangkan kekompakan pada pagi hari menjelang lomba.
”Latihannya baru tadi pagi. Memang, sebelumnya, pelatih sudah mengoordinasikan pelari pertama hingga keempat, tetapi ada sedikit perubahan di pelari pertama. Namun, itu tidak mengurangi intensitas lari. Latihan tadi pagi itu membangun kembali chemistry, menyatukan perasaan supaya pas lomba tidak ada masalah,” ungkap Eko.
Meskipun persiapan terbatas, mereka tetap bisa membangun kekompakan dengan cepat karena selama ini sangat akrab dan terbuka selama pelatnas.
”Kami di tim Indonesia diikat silaturahmi, jangan ada musuh, seperti keluarga. Inilah keluarga kedua setelah rumah. Kami pun semangat untuk membanggakan Indonesia,” tegas Eko yang meraih tiga medali emas di nomor 100 meter T12, 200 meter T12, dan estafet ini.
”Harapan kami ke depan adalah bisa memperbaiki prestasi dan memberikan yang super untuk Indonesia, dan untuk itu kami harus ekstra latihan,” pungkas Eko yang akan memanfaatkan bonus prestasi untuk memberangkatkan umrah mertua dan orangtuanya.
Muammar Habibila yang berasal dari Sumatera Utara akan memanfaatkan bonus dari dua medali emas yang dia raih di nomor lompat jauh T13 dan estafet ini untuk membangun rumah. ”Saya mau bikin rumah, untuk ibu dan bapak, dan memberangkat umrah orangtua,” ungkap Habibila.
Petrus Alupan juga ingin membantu ekonomi keluarganya termasuk mebiayai adik-adiknya menuntut ilmu. Demikian juga dengan Ruli Al Kahfi yang akan menabung bonus untuk biaya pendidikan anaknya kelak. ”Saya ingin menggunakan bonus untuk masa depan anak supaya mendapat yang terbaik,” ungkap Ruli yang buta total.
Ruli yang menjadi pelari terakhir mengaku sangat tegang karena tekanan besar sekali sebagai pelari penentu. Namun, dia bisa mengatasi itu dengan dukungan pemandu lari Sika Buddin yang selalu mendampinginya. Sika terus menguatkan mental Ruli dan mendorong supaya dia rileks.
”Tantangan bagi pelari terakhir itu sangat berat. Tekanannya besar sekali karena menjadi penentu akhir. Tadi, untuk meredakan ketegangan, fokus lari saja, hajar ke depan saja,” ungkap Ruli yang setelah finis muntah-muntah karena asam lambungnya naik.
”Itu kebiasaan saya. Setiap kali selesai lari, pasti asam lambung saya naik. Tadi juga, kurang pemanasan, karena ternyata jadwal dimajukan sehingga sedikit kurang siap,” ungkap Ruli.
Sika menilai, tugasnya sebagai guide selain mendorong atlet bisa tampil maksimal, juga untuk menguatkan mental. ”Saya tadi selalu mengatakan supaya dia rileks. Saat lomba, saya juga memberi instruksi untuk bersiap, kemudian saat sudah saatnya lari, saya bilang go, memastikan perpindahan tongkat mulus supaya tidak didiskualifikasi. Menjelang finis, saya katakan sisa jarak 30, 20, 10. Itu untuk menaikkan kecepatan dan mencondongkan tubuh ke depan saat finis,” ungkap Sika.
Estafet universal
Pada nomor terakhir atletik, Indonesia meraih medali emas estafet 4 x 100 meter universal. Nomor ini diperkuat oleh pelari pertama hingga keempat Susan Unggu (T11), Nanda Mei Sholihah (T47), Sapto Yogo Purnomo (T37), dan Jaenal Aripin (T54). Nomor estafet universal ini menggabungkan sprinter dengan keterbatasan pada penglihatan, cerebral palsy, tunadaksa, serta balap kursi roda.
Nomor estafet universal ini wajib diawali oleh pelari dengan keterbatasan penglihatan (T11-13), diikuti atlet dengan keterbatasan fisik atau tunadaksa (T42-47, atau T61-64), pelari ketiga merupakan sprinter dengan masalah koordinasi gerak atau cerebral palsy (T35-38), serta atlet balap kursi roda (T51-54).
Mereka mencetak catatan waktu 48,110 detik, yang lebih baik dari catatan di Asian Para Games 2018 yang masih di 50 detik. Perbaikan waktu ini didukung oleh perubahan komposisi pelari. Susan dan Mei menggantikan Putri Aulia dan Karisma Evi Tiarani yang tampil saat Asian Para Games. Komposisi saat ini dinilai sebagai formasi terkuat, dan mereka pun bertekad meraih prestasi di level Asia.
”Persiapan kami di nomor estafet universal ini baru dilakukan di akhir karena harus menentukan komposisi pelari. Dengan komposisi saat ini, catatan waktu kami lebih baik. Waktu di Jakarta masih 50 detik, sekarang lebih baik. Performa kami di individu juga sedang baik,” ungkap Jaenal yang kini meraih dua emas.
”Ini sesuai target untuk meraih emas, serta pecah rekor tim. Saat latihan, catatan terbaik kami masih 49 detik. Ini bagus karena di Paralimpiade Tokyo medali di kisaran 45 dan 46 detik. Sekarang kami sudah mendapat formasi yang solid, sepertinya ini sudah menjadi formasi tetap,” ungkap Sapto Yogo.
Sekarang kami sudah mendapat formasi yang solid, sepertinya ini sudah menjadi formasi tetap.
Nomor universal ini dilombakan pertama kali di Asian Para Games 2018, kemudian tampil di Paralimpiade Tokyo 2020. Tim Amerika Serikat meraih medali emas di Tokyo dengan catatan waktu 45,52 detik, disusul Inggris Raya yang meraih perak dengan 47,50 detik, dan Jepang peraih perunggu dengan waktu 47,98 detik.
Tim estafet universal ini memiliki peluang bersaing di level Asia dan dunia jika konsisten berlatih untuk memperbaiki catatan waktu. Target mereka ke depan ialah bisa mendapatkan prestasi di level Asian Para Games, baru kemudian melangkah ke level Paralimpiade.