Konsep program pembinaan DBON dinilai tidak matang. Banyak kebijakan fundamental yang tidak sesuai dengan kaidah pembinaan atlet belia. Hal itu bisa berdampak negatif untuk target program dan perkembangan peserta.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Anak-anak seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (14/7/2022). Hari kedua seleksi terdiri dari tes keterampilan spesifik cabang yang diminati.
JAKARTA, KOMPAS — Konsep program pembinaan sentra latihan olahragawan muda potensi nasional yang menjadi implementasi Desain Besar Olahraga Nasional atau DBON dinilai tidak matang. Banyak kebijakan fundamental yang ditetapkan untuk program itu tidak sesuai dengan kaidah pembinaan atlet belia.
Hal itu bukan saja membuat program tersebut tidak akan berjalan optimal dalam mewujudkan cita-cita prestasi di Olimpiade 2028 atau 2032, melainkan pula menjerumuskan peserta gagal menjadi atlet dan jalur karier di luar atlet. Bahkan, DBON dianggap hanya proyek mercusuar untuk terlihat gagah di luar tetapi bobrok di dalam.
”Saya tidak melihat program DBON punya rencana yang matang. Justru yang tampak tidak siap di mana-mana. Akhirnya, DBON ini cuma untuk terlihat keren, tetapi kenyataannya tidak sama sekali,” ujar pengamat olahraga, Fritz E Simandjuntak, Senin (1/8/2022) di Jakarta.
Ketidakmatangan itu, lanjut Fritz, tampak dari tidak adanya konsep siapa yang mengimplementasikan dan mengoordinasikan program DBON untuk tingkat daerah ataupun nasional. Itu akan menjadi fondasi dalam menjalankan program, dari mulai audisi atau seleksi atlet dan pelatih hingga nanti pengiriman atlet ikut kejuaraan di dalam ataupun luar negeri.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Fritz E Simandjuntak
Namun, karena tidak ada konsep itu, perguruan tinggi atau universitas yang ditunjuk sebagai pengimplementasi dan pengoordinasi program tersebut. ”Saya prihatin karena tidak ada organisasi yang solid untuk mengimplementasikan dan mengoordinasikan program DBON. Ini yang ditunjuk malah perguruan tinggi. Mereka anggarannya dari mana untuk menjalankan program DBON. Ini menjadi kelemahannya dan terkesan berantakan,” katanya.
Selain itu, kata Fritz, pengurus cabang olahraga (PB) tidak dilibatkan secara penuh dalam program DBON. Peran mereka hanya sebatas mengawasi dan memberi masukan saat atlet menjalani seleksi keterampilan cabang olahraga. Selebihnya, proses pemilihan atlet ataupun pelatih dan pelatihan menjadi wewenang penuh perguruan tinggi masing-masing.
”Bagaimana mungkin PB tidak dilibatkan secara penuh? Pihak yang paling paham dengan pembinaan suatu olahraga adalah PB terkait. Kalau nanti atlet itu pergi ikut kejuaraan di luar negeri melalui PB terkait. Jadi, PB itu harusnya ada di depan dari program DBON. PB itu layaknya chef (perancang), sedangkan perguruan tinggi dalam program DBON sebagai tukang masaknya (pengeksekusi),” katanya.
Bagaimana mungkin PB tidak dilibatkan secara penuh? Pihak yang paling paham dengan pembinaan suatu olahraga adalah PB terkait.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Anak-anak menjalani seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (14/7/2022). Hari kedua seleksi terdiri dari tes keterampilan spesifik cabang yang diminati.
Pendidikan disepelekan
Fritz juga tidak sepakat dengan penyeragaman tingkat sekolah para peserta program DBON, yakni semua yang diterima akan memulai tahap pendidikan dari kelas 1 SMP, tidak terkecuali yang diterima itu sudah berada di kelas 2 atau kelas 3 SMP. Itu adalah aturan yang salah dan dampaknya akan sangat fatal.
”Selain peserta mengorbankan banyak waktu pendidikan yang sudah ditempuh, mereka tetap tidak bisa bertanding dalam kejuaraan kelompok tingkat kelas 1 SMP karena usia mereka tidak bisa dibohongi dengan penurunan kelas tersebut. Justru ini kesannya pendidikan disepelekan,” ucapnya.
Di semua negara maju, tambah Fritz, yang namanya pendidikan dan prestasi itu harus seimbang. Tidak semua atlet yang dibina itu bisa menjadi atlet elite. China, misalnya, mereka menyadari dengan merekrut dan membina sekitar 200.000 atlet, maka yang akan menjadi atlet elite tidak lebih dari kisaran 1.000 atlet.
Untuk itu, China yang menjadi negara elite Olimpiade bukan cuma berpikir mengenai atlet yang berhasil, melainkan juga atlet yang tidak berhasil. ”Atlet yang tidak berhasil masuk ke jajaran elite akan terbantu kelanjutan kariernya oleh pendidikan yang didapat dari pusat pembinaan,” ungkap Fritz.
Anak-anak seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (14/7/2022). Hari kedua seleksi terdiri dari tes keterampilan spesifik cabang yang diminati.
Sebelumnya, seorang wali murid asal luar Jabodetabek mengatakan, dia dan anaknya sepakat tidak jadi bergabung dengan program DBON pada Rabu (27/7/2022). Itu akibat informasi detail mengenai program yang sulit didapat dan panitia yang tidak komunikatif. Di sisi lain, banyak detail program yang dinilai janggal, salah satunya tentang penyeragaman sekolah.
”Katanya anak-anak semua rata, mulai dari kelas 1 SMP semua. Yang sudah kelas 2 dan 3 SMP pun akan masuk jadi kelas 1 SMP lagi. Sementara itu, program ini ada sistem degradasi, ada eliminasi di tengah jalan buat mereka yang tidak bisa catch up dengan program. Kasihan sekali kalau mereka yang sudah turun kelas di tengah jalan malah nanti kena degradasi. Kalau keluar dari program, tidak mungkin balik lagi ke kelas awal sebelum masuk program,” tegas wali murid itu.
Siapkan SDM
Dosen Kelompok Keahlian Ilmu Keolahragaan, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung Tommy Apriantono menuturkan, dia percaya bahwa perguruan tinggi yang ditunjuk untuk menjalankan Program DBON mampu ataupun dibantu untuk membeli atlet-atlet canggih menunjang pendekatan sport science yang didengung-dengungkan. Akan tetapi, dia belum mendapatkan ataupun mendengar informasi bahwa mereka sudah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk menjalankan sport science tersebut.
Padahal, menurut Tommy yang sempat menimba ilmu sport science dari National Institute of Fitness and Sport in Kanoya, Jepang, medio akhir 1990-an sampai awal 2000-an itu, setiap tenaga ahli butuh proses pembelajar mendalam dari negara yang lebih pengalaman untuk menerapkan sport science di negara asalnya. Contohnya terjadi ketika Australia mengirim sejumlah tenaga ahli untuk belajar sport science dari Jerman Timur, Jepang belajar dari Australia, atau Thailand belajar dari Jepang.
Anak-anak menjalani seleksi hari kedua sentra pembinaan Desain Besar Olahraga Nasional di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (14/7/2022). Hari kedua seleksi terdiri dari tes keterampilan spesifik cabang yang diminati.
”Alat itu bisa dibeli, tetapi SDM itu tidak mudah disiapkan. Padahal, SDM adalah komponen penting. Seperti istilah a man behind the gun, alat canggih tidak akan memberi dampak optimal kalau tidak dioperasikan SDM yang kompeten. Pertanyaannya, apakah SDM perguruan tinggi yang menjalankan program DBON itu sudah dimagangkan? Magang itu tidak kalah penting agar mereka bukan hanya bisa menggunakan peralatan atau pengukuran, tetapi juga bisa membuat ide atau gagasan, terutama bagaimana mencari atlet terbaik dan meningkatkan kemampuan atlet,” terangnya.
Ketua Tim Pakar UU No 11/2022 dan DBON sekaligus Ketua Tim Review Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Prof Dr Moch Asmawi mengutarakan, mereka menyadari ada kelemahan di tahap awal program DBON. Namun, program tetap berjalan dengan pertimbangan bisa melakukan pembenahan sambil jalan.
Adapun program DBON dianggap akan mengisi rantai yang terputus dalam jenjang pembinaan nasional yang selama ini banyak dimulai dari tingkat SMA. Panitia telah mendapatkan 112 atlet dari 799 atlet yang ikut seleksi pada pertengahan Juli kemarin.
Program itu akan dijalankan di empat perguruan tinggi, yakni Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Negeri Surabaya. Di setiap perguruan tinggi itu, para peserta bakal mendapatkan fasilitas asrama, latihan, konsumsi, gizi tambahan, sekolah, dan kesempatan ikut kejuaraan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Para peserta akan menjalani program jangka panjang dengan sistem promosi-degradasi. Tujuan utama program itu adalah mencetak atlet belia agar kelak bisa membela Indonesia dan berprestasi di Olimpiade 2028 atau 2032.