Aturan ”Tiebreaker” Penentu Klasemen Berevolusi dan Diadopsi Beragam
Pelatih Indonesia Shin Tae-yong sempat geram dan menganggap kuno aturan ”tiebreaker” di Piala AFF U-19 tahun 2022. Nyatanya, aturan serupa masih digunakan di Eropa dan Asia. Di sisi lain, FIFA menerapkan aturan berbeda.
Aturan tiebreaker di dalam sepak bola kental dengan kaitannya untuk menentukan tim berada di posisi terbaik pada sebuah klasemen, ketika ada dua atau lebih tim memiliki poin yang setara. Sejak diperkenalkan oleh FIFA pada Piala Dunia 1970, peraturan itu diadopsi Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) untuk musim kompetisi 1975-1976 yang selanjutnya digunakan pula oleh liga-liga Eropa lainnya.
Sebelum Piala Dunia 1970, FIFA menggunakan aturan rerata gol dengan goal ratio (GR). Peraturan itu membagi jumlah gol yang dicetak dengan jumlah gol kemasukan.
Aturan itu diterapkan di Grup 2 Piala Dunia 1966 ketika Jerman Barat dan Argentina mengoleksi poin yang sama setelah menjalani tiga pertandingan, yaitu lima poin. Jerman Barat berhak berada di peringkat pertama berkat rerata GR 7,0 yang berasal dari pembagian 7 gol yang dicetak dengan 1 gol kemasukan. Adapun Argentina mencatatkan GR 4,0.
Mulai pada Piala Dunia 1970, rerata gol dengan GR resmi dihapus dan diganti dengan selisih gol dari seluruh pertandingan di fase grup dan undian oleh Komite Penyelenggara FIFA. Empat tim pertama yang mengalami aturan itu ialah Uni Soviet dan Meksiko di Grup 1, lalu Uruguay dan Swedia di Grup 2.
Uni Soviet dan Meksiko memiliki lima poin dan selisih gol sama-sama +5 sehingga diselenggarakan pengundian untuk menentukan tim yang berada di peringkat pertama dan kedua di grup tersebut. Kemudian, Uruguay menikmati aturan tiebreaker itu berkat catatan selisih gol +1 untuk berada di peringkat kedua Grup 2.
Meski bisa mengalahkan Uruguay, Swedia harus puas gugur di fase grup dengan berada di posisi ketiga. Pasalnya, Swedia mencatatkan selisih 0.
Aturan itu berkembang pada Piala Dunia 1990 di Italia. Jika sebelumnya hanya melihat selisih gol, lalu dilangsungkan undian penentuan, maka sejak Piala Dunia 1990 penetapan peringkat tim dengan poin setara ditentukan dengan lima kriteria.
Pertama, keunggulan selisih gol di seluruh pertandingan fase grup. Kedua, keunggulan jumlah gol yang diciptakan di tiga pertandingan fase grup. Ketiga, poin lebih banyak pada pertemuan dua atau tiga tim dengan poin setara. Keempat, keunggulan selisih gol pada duel melawan tim yang memiliki poin sama. Kelima, keunggulan jumlah gol dengan tim yang poinnya setara. Keenam, undian penentuan.
Baca juga : “Garuda Muda” Alihkan Fokus
Terdapat pula empat tim yang mengalami aturan baru itu di Italia 1990. Mereka adalah Romania dan Argentina di Grup B yang sama-sama mengoleksi tiga poin dari tiga laga serta selisih gol +1. Romania berhak di peringkat kedua karena keunggulan jumlah gol dari seluruh pertandingan dengan mencetak empat gol dan Argentina hanya menghasilkan tiga gol.
Argentina pun berada di posisi ketiga dan lolos ke fase gugur sebagai salah satu tim dengan peringkat ketiga terbaik.
Kondisi lebih rumit dialami Irlandia dan Belanda di Grup F. Mereka memiliki tiga poin, selisih gol 0, dan mencetak dua gol. Pertemuan kedua tim pun di laga terakhir grup itu berakhir imbang 1-1.
Setelah mempertimbangkan lima kriteria head-to-head itu, ternyata belum bisa juga menentukan tim dengan peringkat terbaik di antara keduanya, maka FIFA melangsungkan undian penentuan. Hasilnya, Irlandia berada di peringkat kedua. Adapun Belanda, yang berada di posisi ketiga, tetap lolos ke babak 16 besar sebagai salah satu tim peringkat ketiga terbaik.
Baca juga : Laos Menuju Momen Emas
Perubahan aturan tiebreaker kembali tercipta pada Piala Dunia 2006. Kali ini, FIFA tetap mempertahankan dua aturan utama, yaitu keunggulan selisih gol dari seluruh pertandingan fase grup dan keunggulan jumlah gol di tiga laga grup.
Kemudian, jika dua kriteria itu tetap tidak bisa menentukan tim terbaik, akan dibuat klasemen mini antara dua atau lebih tim dengan poin sama. Klasemen mini itu ditentukan oleh koleksi poin tertinggi di antara tim poin yang setara, keunggulan selisih gol antara tim poin yang sama, dan keunggulan jumlah gol yang dicetak dalam pertemuan tim yang poinnya setara itu. Apabila klasemen mini tetap tidak bisa menenentukan peringkat akhir, FIFA melakukan undian penentuan.
Aturan terkini yang dimulai pada Piala Dunia 2006 itu bertahan hingga kini. Piala Dunia 2022 di Qatar akan tetap menerapkan aturan tiebreaker itu untuk di fase grup.
Berbeda
Pengadopsian hukum tiebreaker itu dilakukan secara beragam oleh anggota FIFA, seperti Asosiasi Sepak Bola Uni Eropa (UEFA) dan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Kedua federasi itu menerapkan sistem penentuan tiebreaker berbeda dibandingkan FIFA untuk setiap turnamen antarnegara dan antarklub yang diselenggarakan.
Baca juga : Pertaruhan Nama Besar “Harimau Malaya”
UEFA dan AFC mengesampingkan keunggulan selisih gol dan jumlah gol di seluruh pertandingan grup. Mereka lebih mengutamakan poin head-to-head dua atau lebih tim dengan poin yang setara. Kemudian, superioritas selisih gol dan jumlah gol di antara tim-tim yang poinnya setara.
Jika dalam tiga kriteria head-to-head itu tidak ditemukan tim yang lebih unggul, UEFA dan AFC baru menerapkan keunggulan selisih gol dari seluruh pertandingan di fase grup dan jumlah gol yang dicetak dari pertandingan babak penyisihan.
Contoh terkini hadir di fase grup Liga Champions Putri musim 2021-2022. Di Grup A, tiga tim, yakni VfL Wolfsburg, Juventus, dan Chelsea, mengumpulkan sama-sama 11 poin setelah merampungkan enam pertandingan.
Untuk menentukan tim ke fase gugur, UEFA membuat klasemen mini yang hanya melibatkan ketiga tim itu. Ketika menghitung jumlah poin dari pertemuan ketiga tim itu, poin kembali setara, yaitu lima poin.
Klasemen akhir ditentukan dari head-to-head selisih gol yang terdiri dari Wolfsburg (+2), Juventus (+1), dan Chelsea (0). Alhasil, Wolfsburg dan Juventus yang melaju ke babak 8 besar.
Kegagalan tim nasional Indonesia U-19 melaju ke babak semifinal Piala AFF U-19 2022 disebabkan kalah head-to-head dengan Vietnam dan Thailand. Vietnam dan Thailand mencetak skor imbang 1-1 dalam pertemuan terakhir di fase grup, sedangkan Indonesia gagal mencetak gol ke gawang Vietnam dan Thailand.
Alhasil, Vietnam dan Thailand memenuhi unsur keunggulan jumlah gol di antara tim-tim yang memiliki poin setara. Aturan itu pun dianggap Pelatih Indonesia Shin Tae-yong sudah ketinggalan zaman.
”Aturan head-to-head seperti itu sudah hilang. Jadi, agak aneh aturan itu masih ada di AFF (Federasi Sepak Bola Asia),” kata Shin.
Mungkin Shin mengatakan itu merujuk pada pengalamannya melatih di tiga ajang akbar sebelumnya bersama timnas Korea Selatan, yaitu Piala Dunia 2018, Piala Dunia U-20 2017, dan Olimpiade 2016.
Dalam tiga turnamen yang melibatkan tim terbaik di dunia itu, aturan FIFA yang berlaku alias lebih mengutamakan performa keseluruhan tim di fase grup alih-alih head-to-head tim yang poinnya setara.
Ketua Komite Kompetisi AFC Tran Quoc Tuan menegaskan, aturan head-to-head itu masih berlaku di banyak turnamen di dunia. Oleh karena itu, kata Quoc Tuan, kecaman Shin itu tidak beralasan.
”Penerapan kriteria tiebreaker itu merupakan hasil dari analisis para ahli dan penyelenggara turnamen. Di setiap turnamen peserta juga akan dimintai persetujuan untuk setiap regulasi sebelum bertanding,” kata Quoc Tuan dilansir media Vietnam, The Thao 247.
Sebagai salah satu anggota AFC, PSSI juga menerapkan aturan head-to-head itu dalam penentuan tim dengan poin yang setara di Liga 1 sejak edisi 2017 hingga 2021-2022.
Penerapan kriteria tiebreaker itu merupakan hasil dari analisis para ahli dan penyelenggara turnamen.
Liga top Eropa
Tiga liga top Eropa, seperti Premier League Inggris, La Liga Spanyol, dan Serie A Italia, menerapkan aturan yang berbeda dalam penentuan aturan tiebreaker.
Inggris, misalnya, tidak memedulikan head-to-head tim yang terkait. Premier League menentukan peringkat tim dengan poin setara melalui selisih gol keseluruhan, jumlah gol yang dicetak di seluruh pertandingan liga, dan jalan terakhir adalah menyelenggarakan pertandingan playoff di tempat netral.
Adapun La Liga dan Serie A mengutamakan head-to-head tim dengan koleksi poin setara. Tim dengan hasil pertemuan dan selisih gol lebih baik akan menduduki peringkat lebih baik. Jika aturan head-to-head itu tetap setara, penentuan klasemen ditentukan oleh selisih gol di seluruh pertandingan.
Dengan revolusi dan keberagaman adopsi itu, masih patutkah pencinta tim ”Garuda Muda” mengecam AFF atas kegagalam timnas U-19 menjadi juara di Piala AFF U-19 2022?