Elena Rybakina menjuarai tunggal putri Wimbledon atas nama Kazakhstan, meski lahir di Rusia. Dia tak peduli dengan klaim bahwa gelar itu menjadi milik Rusia.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
“Luar biasa. Saya tak dapat mempercayainya”. Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Elena Rybakina saat menghadiri konferensi pers setelah menjuarai tunggal putri Wimbledon 2022.
Usai mengalahkan Ons Jabeur dalam final di All England Club, London, Inggris, Sabtu (9/7/2022), nama Rybakina tertera pada papan daftar nama para juara yang berada di lorong menuju Lapangan Utama. Dia menjadi bagian dari juara turnamen tenis paling prestisius itu bersama para legenda, seperti Martina Navratilova, Chris Evert, Serena Williams, hingga juara 2021, Ashleigh Barty.
Rybakina, juga, menjadi bagian dari juara baru Grand Slam yang sering terjadi di tunggal putri, setelah Serena terakhir kali menjuarai Grand Slam, yaitu pada Australia Terbuka 2017. Pada 2021, petenis spesialis ganda, Barbora Krejcikova, menjuarai Perancis Terbuka. Pada tahun yang sama, remaja Inggris, Emma Raducanu, menjuarai AS Terbuka dengan status sebagai petenis kualifikasi.
“Mungkin, dalam beberapa hari ke depan, saya akan menyadari bahwa saya telah menjuarai Wimbledon,” ujar Rybakina.
Di All England Club tahun ini, bisa jadi tak pernah ada yang membayangkan Rybakina menjadi juara. Di kalangan komunitas tenis, dia hanya terkenal tak pernah ekspresif merayakan kemenangan. Seperti setelah mengalahkan Jabeur, petenis berusia 23 tahun itu hanya mengangkat tangan dan raketnya, memberi salam pada penonton. Dalam konferensi pers, Jabeur, bahkan, bergurau, “Saya harus mengajarinya cara merayakan kemenangan”.
Rybakina, petenis berperingkat ke-23 dunia, adalah kelahiran Rusia, tetapi bermain untuk Kazakhstan. Hanya saja, dia tak pernah tinggal Kazakhstan untuk waktu yang lama. Dia tetap tinggal di kota kelahirannya, Moskwa, begitu pula dengan orang tuanya.
Rusia memang terkenal sebagai salah satu negara tempat lahirnya bintang tenis dunia, terutama petenis putri. Di Wimbledon, ada Maria Sharapova yang menjuarai Wimbledon 2004 pada usia 17 tahun.
Namun, kedatangan dan munculnya Rybakina sebagai juara Wimbledon terjadi pada momen janggal. Pada tahun ini, petenis Rusia dan Belarus, termasuk jurnalis dari kedua negara itu, dilarang berpartisipasi dalam Wimbledon.
Panitia, atas keputusan pemerintah Inggris, mengeluarkan keputusan itu karena serangan Rusia, yang dibantu Belarus, pada Ukraina. Mereka tak ingin Inggris menyerahkann trofi juara pada petenis Rusia dan Belarus.
Akan tetapi, lambang juara tunggal putri berupa piringan Venus Rosewater diserahkan Kate Middleton, sebagai patron All England Lawn Tennis and Croquet Club (AELTC), pada petenis kelahiran Rusia. Rusia, bahkan, mengklaim bahwa mereka telah menjuarai tunggal putri Wimbledon.
“Kami menjuarai Wimbledon,” kata Presiden Federasi Tenis Rusia Shamil Tarpischev pada media-media di Rusia. Padahal, seperti disebutkan Rybakina, Federasi Tenis Rusia tak pernah membantunya menjalani karier sebagai petenis, hingga dia memilih “berlabuh” di Kazakhstan.
“Saya tak tahu. Saya bermain untuk Kazakhstan sejak lama. Saya bermain di Olimpiade yang merupakan mimpi saya. Saya selalu mendengar berita tentang komentar Federasi Rusia, tetapi saya tak bisa melakukan apa-apa dengan situasi ini,” komentar Rybakina ketika ditanya tentang Rusia yang mempolitisasi kemenangannya.
Kazakhstan membantu saya, termasuk hari ini. Namun, saya tak bisa memilih tempat saya lahir.
“Kazakhstan membantu saya, termasuk hari ini. Namun, saya tak bisa memilih tempat saya lahir,” lanjutnya.
Status sebagai petenis Kazakhstan bermula ketika Rybakina berada di persimpangan jalan untuk memilih menjadi petenis profesional atau melanjutkan studi sambil bermain tenis di level universitas. Dia ingin berkarier di arena profesional, sedangkan ayahnya menginginkan Rybakina kuliah.
“Ayah khawatir ketidakpastian karier saya di arena profesional. Dia tak ingin saya hanya berada di rumah tanpa pendidikan. Dia juga khawatir jika pada suatu saat, anaknya mengalami cedera,” katanya.
Namun, tekad besar untuk menjadi petenis membuat Rybakina menolak 15 tawaran dari universitas di Amerika Serikat. Dalam situasi itu, Federasi Tenis Kazakhstan mengambil peran. Mereka menawarkan fasilitas latihan level elite, termasuk gaji.
“Momen itu terjadi pada waktu yang tepat karena Kazakhstan mencari petenis dan saya memang membutukan bantuan. Jadi, itu adalah kombinasi yang baik. Mereka pun percaya pada saya,” kata Rybakina dalam ESPN.
Rybakina bukan petenis Rusia pertama yang memilih dibantu Kazakhstan. Yaroslava Shvedova, yang bersaing di arena profesional pada 2005-2021, bermain untuk Kazakhstan sejak 2008. Petenis yang juga lahir di Moskwa itu menjuarai ganda putri Wimbledon dan AS Terbuka 2010 bersama Vania King (AS). Selain itu, ada pula Alexander Bublik dan Yulia Putintseva.
“Itu bagus untuk karier saya. Saat di Rusia, saya hanya menjadi petenis nomor sepuluh, tetapi saat pindah ke Kazakhstan, saya adalah petenis nomor satu. Itu membuat saya merinding, tetapi, saya tahu itu membuat saya harus bekerja keras saya menjadi contoh banyak petenis,” tutur Shvedova yang saat ini berusia 34 tahun.
Setelah pensiun sebagai atlet, dia membantu tenis Kazakshtan di bidang pengembangan. Namun, Shvedova berada di All England Club, pada Sabtu, untuk mendukung Rybakina, begitu juga dengan Presiden Federasi Tenis Kazakhstan Bulat Utemuratov yang merupakan seorang miliuner.
Stefano Vukov, pelatih Rybakina, tahu bahwa anak didiknya itu memahami topik yang dibicarakan orang-orang ketika menjuarai Wimbledon, tetapi, itu tidak menjadi beban. “Kami sudah mengalami itu saat pertama kali dia memilih Kazakhstan. Saat itu, Rusia mempertanyakan kenapa dia pindah. Lena (panggilan Rybakina) telah melalui masa ketika orang-orang mempertanyakan keputusannya,” tutur Vukov.
Tak ingin terganggu dengan pembicaraan buruk orang lain atas statusnya, Rybakina kini memiliki bekal untuk menghadapi Grand Slam berikutnya, AS Terbuka, di New York, 29 Agustus-11 September. Bekal itu adalah kepercayaan diri berkat gelar juara Wimbledon. (AP/AFP)