Djokovic Maksimalkan Peluang Terakhir
Novak Djokovic memanfaatkan peluang terakhir tampil pada Grand Slam 2022 dengan menjuarai Wimbledon. Gelar itu menambah beberapa catatan dalam buku rekornya.
LONDON, MINGGU - Novak Djokovic memanfaatkan kemungkinan peluang terakhirnya tampil pada Grand Slam 2022 dengan menjuarai Wimbledon. Perjalanan membuat rekor di arena Grand Slam dalam agendanya akan berlanjut tahun mendatang.
Kemenangan atas Nick Kyrgios 4-6, 6-3, 6-4, 7-6 (7/3) pada final di All England Club, London, Inggris, Minggu (10/7/2022), menghasilkan gelar ketujuh bagi Djokovic di Wimbledon, menyamai prestasi Pete Sampras. Empat gelar didapat beruntun dari empat edisi terakhir, yaitu pada 2018, 2019, 2021, dan 2022. Adapun Wimbledon 2020 tidak digelar karena pandemi Covid-19.
Dengan gelar itu, Djokovic hanya tertinggal satu gelar dari Roger Federer sebagai tunggal putra dengan gelar juara Wimbledon terbanyak. Catatan lain yang ditorehkan adalah menyamai Federer, Sampras, dan Bjorn Borg sebagai tunggal putra yang menjuarai Wimbledon empat kali beruntun.
Baca juga: Favorit Juara di Tangan Senior
Sehari sebelumnya, gelar juara tunggal putri didapat petenis Rusia yang tampil untuk Kazakhstan sejak 2018, Elena Rybakina. Dalam laga antara sesama petenis yang belum pernah tampil di final Grand Slam, Rybakina mengalahkan Ons Jabeur (Tunisia), 3-6, 6-2, 6-2.
Tambahan trofi juara Wimbledon, yang merupakan gelar Grand Slam ke-21, membuat Djokovic unggul satu gelar dari Federer, dan hanya tertinggal satu gelar dari Rafael Nadal. Nadal, juara Australia dan Perancis Terbuka 2022, mundur sebelum melawan Kyrgios pada semifinal karena otot perutnya sobek.
Kesempatan Djokovic untuk menyamai Nadal tak akan terjadi tahun ini, meski tersisa satu Grand Slam, Amerika Serikat Terbuka di Flushing Meadows New York, 29 Agustus-10 September. Petenis Serbia itu tak akan bisa mengikuti turnamen itu karena hingga kini, Pemerintah AS mewajibkan pendatang internasional mendapat vaksin Covid-19. Adapun Djokovic bersikap untuk tak menerima vaksin tersebut.
Hal itu pula yang membuatnya dideportasi dari Australia hingga tak bisa mengikuti Australia Terbuka. Djokovic juga tak bisa tampil dalam dua turnamen ATP Masters 1000 di AS, yaitu Indian Wells dan Miami, pada Maret-April. Padahal, dibandingkan dengan Federer dan Nadal, dua rivalnya dalam “Big Three”, Djokovic punya peluang lebih besar meraih gelar Grand Slam lebih banyak karena kondisi tubuhnya paling fit.
Pada akhirnya, ketangguhan mental telah membawa ayah dari dua anak itu pada status juara di Wimbledon. Djokovic dikenal sebagai petenis yang bisa mengeluarkan semua potensi terbaik ketika berada di bawah tekanan.
Baca juga: Robekan Otot 7 Milimeter Menghentikan Semangat Nadal
Hal itu diperlihatkannya melawan Kyrgios di final. Kyrgios memberinya tekanan melalui servis berkecepatan hingga 218 kilometer per jam. Bahkan, servis kedua petenis peringkat ke-40 dunia itu masih bisa mencapai kecepatan 201 km/jam.
Bahasa tubuh juga memperlihatkan Kyrgios bersikap santai dalam melakukan pukulan apapun, meski dia juga sering mengoceh saat kesal melakukan kesalahan. Kyrgios juga memberi tekanan mental ketika memprotes wasit pada set ketiga. Namun, Djokovic, yang mempelajari meditasi dan yoga, tetap bersikap tenang.
Pertemuan Djokovic dan Kyrgios memang menjadi duel dua petenis dengan catatan prestasi, gaya main, dan karakter yang kontras. Djokovic tiba di final dengan bekal 20 gelar juara Grand Slam, sedangkan Kyrgios tanpa pengalaman lolos ke final. Kepastian akan tampil dalam final bahkan,membuatnya sulit tidur.
Kyrgios adalah petenis yang servis kerasnya ditakuti lawan, sedangkan Djokovic dikenal sebagai petenis dengan pengembalian servis terbaik. Kyrgios juga tahu cara mengalahkan Djokovic berbekal dua kemenangan dari dua pertemuan pada 2017, yaitu di perempat final ATP Acapulco dan babak keempat Indian Wells Masters.
Akan tetapi, rentang lima tahun setelah pertemuan itu melahirkan dua karakter berbeda. Ketika Djokovic semakin matang menjadi salah satu petenis terbaik dalam sejarah, Kyrgios menjadi petenis yang lebih dikenal dengan perilaku buruk di lapangan dan luar lapangan.
Dia punya tipe permainan dan rasa percaya diri. Dia adalah petenis dengan bekal komplet.
Memprotes wasit dalam setiap laga, meludah di depan penonton, adu argumen dengan petenis lain, bermain tanpa upaya terbaik, hingga melanggar peraturan kostum Wimbledon menjadi bagian dari kehidupannya di lapangan yang tanpa prestasi. Hal ini berbeda dengan petenis eksentrik AS, John McEnroe, yang sangat emosional tetapi bisa tujuh kali menjadi juara Grand Slam.
Selama tampil di Wimbledon tahun ini, Kyrgios dua kali didenda. Dendanya dalam turnamen tenis paling prestisius ini mencapai total sekitar 8000.000 dollar Australia (sekitar Rp 8,2 miliar). Dia bahkan, menghadapi tuntutan penyerangan dari mantan pacarnya dan diharuskan menjalani sidang di Australia pada 2 Agustus.
Sempat menjadi harapan baru Australia untuk menjadi penerus Lleyton Hewitt, Kyrgios justru menghadapi tantangan gangguan kesehatan mental, termasuk pernah berpikir untuk bunuh diri. Dia pun tak lepas dari penggunaan obat terlarang.
Perilaku tersebut merusak potensinya di lapangan. Nadal pernah menilai, seandainya Kyrgios benar-benar serius menekuni dunia tenis profesional, dia bisa menjadi petenis besar.
Djokovic pun menilai Kyrgios sebagai petenis berbahaya, apalagi di lapangan rumput. “Dia punya tipe permainan dan rasa percaya diri. Dia adalah petenis dengan bekal komplet,” pujinya.
Turun peringkat
Meski menjadi juara, kontroversi yang terjadi sejak dua bulan sebelum Wimbledon membuat Djokovic akan turun peringkat, dari ketiga menjadi ketujuh.
Baca juga: Wimbledon 2022 Penuh Kontroversi Sejak Awal
Hal ini menjadi konsekuensi dari keputusan ATP dan WTA yang menghilangkan poin peringkat Wimbledon 2022, sebagai penolakan mereka atas keputusan panitia Wimbledon melarang tampilnya petenis Rusia dan Belarus. Bahkan, jurnalis dari kedua negara itu dilarang meliput. Larangan ini terkait dengan serangan Rusia, yang dibantu Belarus, ke Ukraina.
Oleh karena penghitungan poin peringkat dunia didasarkan pada akumulasi poin selama 52 pekan ke belakang, 2.000 poin dari juara Wimbledon 2021 milik Djokovic akan hilang dan tak bisa digantikan dari gelar tahun ini. Semua peserta Wimbledon 2022 hanya berhak atas hadiah uang. Juara nomor tunggal berhak atas hadiah 2,5 juta dollar AS (sekitar Rp 37,4 miliar).
Selain Djokovic, banyak petenis merugi karena tidak mendapat poin. Meski meraih hasil yang lebih baik dari perempat final 2021, Jabeur, yang berperingkat kedua dunia, tak akan mendekati poin milik petenis nomor satu dunia, Iga Swiatek.
Sebelum memastikan lolos ke final, Jabeur mengatakan, semakin baik hasil yang didapat, petenis akan semakin menyesal karena tak berhak atas perolehan poin. Dengan lolos ke final, Jabeur seharusnya mendapat tambahan 1.200 poin.
Jabeur tak hanya berbicara untuk diri sendiri. Dia berpendapat untuk sahabatnya, Tatjana Maria, yang dikalahkannya pada semifinal. “Dia berjuang untuk menaikkan rankingnya. Dia membuat hasil bagus di sini, tetapi tidak berhak atas poin,” kata Jabeur.
Baca juga: Sejarah dari Jabeur atau Rybakina
Maria, petenis Jerman berusia 34 tahun, datang ke All England Club sebagai petenis peringkat ke-103 dunia dan akan tetap berada di sekitar posisi itu. Padahal, jika semuanya berjalan normal, Maria berhak atas posisi barunya di sekitar urutan ke-37.
Mantan petenis spesialis ganda dari Australia, Todd Woodbridge, menilai, situasi ini menyakitkan bagi semua petenis. Dia mencontohkan Kyrgios yang seharusnya bisa naik dari peringkat ke-40 dunia. “Dalam kondisi normal, dia sebetulnya bisa menjadi unggulan pada Grand Slam AS Terbuka. Hasrat dan semua kerja keras pemain dicurahkan untuk turnamen yang menyediakan hadiah dan poin. Ini menyakitkan,” kata Woodbridge pada BBC. (AP/AFP)