Final Piala Eropa 2020 dan Piala Afrika 2021 membuktikan masifnya ujaran kebencian di sepak bola. Tidak hanya pemain, seluruh pihak di pertandingan yang dianggap tampil tidak sesuai harapan menjadi target penghinaan.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
AP/POOL/LAURENCE GRIFFITHS
Pemain timnas Inggris, Harry Kane (kedua dari kiri), memeluk dan menghibur Bukayo Saka yang gagal mencetak gol dalam adu penalti pada laga final Piala Eropa melawan Italia di Stadion Wembley, London, Minggu (11/7/2021). Inggris kalah dari Italia pada laga itu. Kane dan Saka menjadi sasaran penghinaan di media sosial karena kekalahan itu.
ZURICH, MINGGU — Dampak kejam media sosial semakin terasa di sepak bola. Para pemain yang dicap gagal memberikan kemenangan bagi timnya menjadi sasaran penghinaan daring yang dilakukan warganet. Skuad tim nasional Inggris dan Mesir menjadi korban utama kekerasan verbal setelah gagal membawa timnya menjadi juara Piala Eropa 2020 dan Piala Afrika 2021.
Hal itu terungkap dalam laporan yang dilakukan FIFA bersama Signify dalam analisis media sosial di final Piala Eropa 2020, Juli 2021, dan Piala Afrika 2021, Februari lalu. Dengan menggunakan Threat Matrix, yang merupakan mesin augmented intelligence yang mengidentifikasi kecenderungan konten penghinaan di media sosial, FIFA menghimpun 406.987 unggahan di Twitter dan Instagram dalam periode tiga hari setelah laga final di dua turnamen kontinental bergengsi itu.
Dari jumlah itu, terdapat 541 unggahan yang berisi pesan penghinaan. Sebanyak 58 persen atau 312 unggahan masih ditemukan di media sosial hingga awal Juni ini.
Dari hasil analisis akun media sosial itu, sebanyak 55 persen atau lebih dari 40 pemain dan ofisial tim keempat timnas itu menerima penghinaan daring. Di Piala Eropa 2022, lima pemain Inggris yang mengeksekusi penalti menerima paling banyak pesan bernada negatif. Mereka adalah Harry Kane, Harry Maguire, Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka.
AP/PA/NICK POTTS
Pemain timnas Inggris, Bukayo Saka, melepas tendangan penalti yang gagal berbuah gol pada adu penalti dalam laga final Piala Eropa melawan Italia di Stadion Wembley, London, Minggu (11/7/2021). Kegagalan Saka membuat Inggris kalah dari Italia dan Saka menjadi sasaran penghinaan di media sosial.
Saka, penendang pamungkas Inggris dalam adu penalti kontra Italia, adalah pemain yang menjadi korban nomor satu serangan verbal itu. Terdapat lebih dari 110 pesan yang berisi penghinaan rasial kepada pemain Arsenal berusia 20 tahun itu. Jumlah itu setara dengan 20 persen dari total unggahan penghinaan daring yang didapatkan FIFA dan Signify.
Selain pesan rasial, sejumlah pesan diunggah untuk menyerang Saka dengan lima jenis hinaan lain yang dianalisis oleh Threat Matrix, seperti makian, serangan berupa ancaman pembunuhan dan kekerasan, cercaan golongan tertentu, serangan homofobia, hinaan xenophobia, dan ableisme.
Kemudian, pemain tim ”Tiga Singa” yang menerima hinaan kedua terbanyak adalah Rashford yang merupakan eksekutor penalti ketiga Inggris sekaligus yang pemain Inggris pertama gagal menaklukkan kiper Italia, Gianluigi Donnarumma. Unggahan bernada rasial juga paling banyak ditujukan kepada penyerang Manchester United itu.
”Serangan rasial di turnamen (Piala Eropa 2020) sangat kecil sebelum adu penalti di final. Itu menunjukkan sebuah turnamen atau pertandingan bisa dihujani penghinaan daring ketika ada momen yang menjadi pemicu,” tulis analisis dalam laporan yang dirilis, Sabtu (18/6/2022) itu.
Reaksi Mohamed Salah dari Mesir setelah timnya kalah pada final Piala Afrika 2022 antara Senegal dan Mesir di stadion Ahmadou Ahidjo di Yaounde, Kamerun, Minggu (6/2/2022).
Dampak serangan rasial yang diterima pemain Inggris itu, kepolisian Inggris melakukan penyelidikan dan menangkap 11 pemilik akun yang menjadi pembuat pesan penghinaan itu, Juli lalu.
Sementara itu, Mohanad Lasheen, gelandang Mesir, menjadi pemain yang paling banyak menjadi sasaran penghinaan daring di media sosial. Ia adalah pemain pengganti dan menjadi penendang terakhir Mesir yang gagal mengeksekusi penalti.
Pemain klub Liga Mesir, Tala’ea El Gaish, itu menerima empat macam jenis penghinaan, seperti homofobia, ancaman kekerasan, pesan bernuansa kesehatan mental, dan ableisme. Secara total, unggahan media sosial yang mengarah kepada Lasheen berjumlah hampir 50 pesan.
Selain Lasheen, Diaa Al-Sayed, asisten pelatih Mesir, adalah satu-satunya individu selain pemain yang masuk dalam enam besar penerima penghinaan daring di final Piala Afrika 2022. Al-Sayed menggantikan posisi pelatih di sisi lapangan karena Carlos Queiroz, Pelatih Mesir saat itu dilarang mendampingi timnya akibat menerima kartu merah di laga semifinal kontra Kamerun.
Reaksi kekalahan para pemain Mesir seusai pertandingan final Piala Afrika 2022 antara Senegal dan Mesir di Stadion Ahmadou Ahidjo di Yaounde, Kamerun, Minggu (6/2/2022).
Tiga penendang penalti Mesir lainnya juga menerima penghinaan, yakni Ahmed Sayed, Mohamed Abdelmonem, dan Marwan Hamdi. Adapun satu-satunya pemain Senegal yang masuk dalam daftar penerima penghinaan tertinggi ialah Kalidou Koulibaly.
”Penghinaan daring adalah isu sosial dan sebagai sebuah industri, sepak bola tidak bisa menerima jenis baru kekerasan verbal ini. Penghinaan yang diterima sejumlah pemain itu berdampak kepada kepribadian mereka, keluarga mereka, hingga performa mereka karena itu berimbas pada kesehatan mental,” kata Presiden Federasi Internasional Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro) David Aganzo.
Presiden FIFA Gianni Infantino prihatin dengan meningkatnya fenomena penghinaan daring yang ada di dunia sepak bola. Ia menegaskan, kekerasan verbal yang memanfaatkan media sosial adalah sebuah tindakan kejahatan yang tidak memiliki tempat di sepak bola.
”Sayangnya, ada tren (penghinaan) itu yang tengah berkembang di mana persentase unggahan di kanal media sosial mengarah kepada seluruh insan di pertandingan, mulai dari pemain, pelatih, ofisial pertandingan, dan tim secara keseluruhan,” kata Infantino.
Adapun untuk sebaran asal pesan penghinaan itu berasal dari 21 negara. Ironisnya, mayoritas asal penghinaan itu berasal dari negara pemain yang paling banyak menerima kekerasan verbal itu. Sebanyak 38 persen unggahan itu berasal dari akun yang berbasis Inggris, sedangkan 19 persen unggahan berasal dari akun di Mesir.
Perkuat pencegahan
Lebih lanjut, Infantino mengatakan, FIFA dan FIFPro menjalin kerja sama untuk memperkuat upaya pencegahan penghinaan itu. Kedua lembaga itu akan melibatkan perusahaan teknologi untuk membantu identifikasi pesan bernada ujaran kebencian yang mengarah kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pertandingan di dua hajatan akbar FIFA, yaitu Piala Dunia 2022 di Qatar serta Piala Dunia Putri 2023 di Australia dan Selandia Baru.
”Kami menyadari pentingnya memonitor media sosial yang mengikuti apa yang sedang terjadi di stadion. Ini adalah langkah konkret kami untuk mengantisipasi fenomena ini,” katanya.
Aganzo menambahkan, ”Kerja sama itu tidak hanya untuk melindungi sepak bola dan menghindari efek merusak dari unggahan di media sosial, tetapi bertujuan pula untuk mengedukasi generasi saat ini dan masa depan yang memiliki keterikatan dengan sepak bola melalui media sosial.”
Kami menyadari pentingnya memonitor media sosial yang mengikuti apa yang sedang terjadi di stadion. (Gianni Infantino)
AFP/VALERIANO DI DOMENICO
Ilustrasi : Presiden FIFA Gianni Infantino menyampaikan sambutan secara daring dalam acara The Best FIFA Football Awards 2020 di markas besar FIFA di Zurich, Swiss, Jumat (18/12/2020) dini hari WIB.
Selain FIFA dan FIFPro, fenomena penghinaan daring itu juga menghadirkan keprihatinan bagi sejumlah pihak. Gilberto Silva, mantan gelandang timnas Brasil, mengungkapkan, dirinya memiliki tim yang melibatkan sejumlah pakar untuk menyusun langkah nyata guna menghentikan ujaran kebencian di dunia maya yang mengarah ke sepak bola.
”Hasil dari laporan FIFA itu sulit dipercaya. Saya akan merilis sesuatu segera yang berusaha untuk menghentikan (fenomena penghinaan dari) ini,” kata Silva dilansir Sky Sports. (AFP)